Menyoal HAM di Masalah Biarpetnya Jaringan Internet Papua
Penulis : Sandy Indra Pratama
Hukum
Senin, 24 Mei 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sejak 30 April lalu, koneksi internet di Papua, terutama Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keerom dan Kabupaten Sarmi bermasalah, bahkan sempat mati atau terputus total. Putusnya sistem komunikasi ini dinilai sebagai persoalan serius oleh banyak kalangan terutama organisasi sipil dan organisasi profesi jurnalis.
Meski Kominfo menyatakan jaringan internet tersebut telah pulih pada 21 Mei 2021, namun informasi lapangan dan data yang diperoleh AJI-SAFEnet-LBH Pers menunjukkan sebaliknya: koneksi internet di empat daerah tersebut belum pulih seperti sedia kala.
Berdasarkan informasi dari jaringan dan data yang diperoleh dari Netblocks -organisasi pemantau gangguan internet berbasis di London, Inggris, sebenarnya di Papua secara umum terlihat peningkatan koneksi lewat jaringan satelit, tetapi masih belum pulih.
Koneksi internet di jaringan Telkom di Jayapura masih belum stabil dan pada 21 Mei 2021 mencapai kapasitasnya hanya sekitar 57 persen. Sedang koneksi internet di jaringan Telkomsel di Jayapura mati total.
AJI-SAFEnet-LBH Pers menyatakan dengan tidak kunjung pulihnya jaringan internet sejak 30 April sampai 21 Mei 2021 menimbulkan dampak-dampak yang merugikan warga di wilayah yang internetnya terputus.
Data lapangan yang dikumpulkan AJI Jayapura menyebutkan jurnalis di empat daerah masih kesulitan mengakses internet hingga 21 Mei 2021. Beberapa jurnalis terpaksa mengirim berita ke redaksi menggunakan pesan pendek/SMS. Itupun pengiriman SMS tidak lancar.
Matinya internet selama tiga pekan tersebut menjadi hambatan serius bagi jurnalis di Jayapura dan sekitarnya. Jurnalis tidak bisa memverifikasi informasi dengan cepat. Mereka juga kesulitan mengakses maupun mengirimkan berita ke redaksi. Bahkan Koran Cendrawasih Pos terpaksa harus mengurangi jumlah halaman terbit dari 24 menjadi 16 halaman karena kekurangan bahan berita dari kabar berita nasional. Terhambatnya kerja-kerja jurnalis tersebut berdampak langsung terhadap pemenuhan informasi kepada publik.
Dalam situasi di mana jurnalis tidak bisa melakukan verifikasi serta check and balance, pihak-pihak tertentu dapat mendominasi dan melakukan kontrol atas informasi terkait Papua. Mengingat matinya internet ini terjadi di tengah sejumlah isu krusial: operasi keamanan Satgas Nemangkawi dan evaluasi UU Otonomi Khusus Papua.
Kerugian lain yang dirasakan warga adalah pendidikan jarak jauh tidak bisa berjalan dan membuat proses ujian terhambat. Akhirnya harus tatap muka lagi padahal ini masih masa pandemi. Masyarakst juga harus pergi mencari ATM yang masih berfungsi karena sejumlah mesin transaksi tidak berfungsi.
Matinya jaringan internet tersebut juga memperburuk tingkat pemenuhan akses internet akibat rendahnya tingkat penetrasi internet di wilayah Sulawesi-Maluku-Papua pada tahun 2018 hanya sebesar 10 persen. Pada 2019, Pemerintah pernah memblokir internet di Papua.
Hal yang perlu diingat bahwa tahun 2016, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang menyatakan bahwa akses internet sebagai hak asasi manusia. Oleh karena itu, penguatan terhadap infrastruktur internet berkaitan langsung untuk menjamin akses universal terhadap hak-hak lainnya seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan hak atas kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers.