Kasus Hukum Syamsul dan Samsir adalah Murni Kriminalisasi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Rabu, 26 Mei 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Kasus hukum dugaan penganiayaan yang didakwakan kepada Ketua dan Anggota Kelompok Tani Nipah, Syamsul Bahri dan M. Samsir, diduga kuat merupakan upaya kriminalisasi. Dugaan tersebut dapat dibuktikan dari beberapa fakta persidangan kasus tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat.

Muhammad Alinafiah Matondang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan yang menjadi Kuasa Hukum Syamsul Bahri dan M. Samsir mengatakan, kriminalisasi merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat atas penegakan hukum yang dilakukan bukan untuk tujuan penegakan hukum itu sendiri. Penggunaan kewenangan-kewenangan penegakan hukum yang seolah-olah bertujuan untuk menegakkan hukum namun sebenarnya tidak. Adalah semata-mata hanyalah untuk merugikan Tersangka atau orang yang dikehendaki untuk menjadi Tersangka. Sedemikian terasanya itikad buruk tersebut sehingga penegakan hukum tersebut bukannya mendapatkan dukungan masyarakat, namun justru kecaman dan perlawanan.

"Majelis Hakim Yang Mulia, patut disampaikan proses hukum yang saat ini tengah dihadapi oleh Terdakwa Syamsul dan M. Samsir telah mendapat perhatian dan kecaman dunia internasional yang menghendaki adanya perlindungan dan proses hukum yang adil bagi para Terdakwa, dan apa yang dialami oleh para Terdakwa merupakan sebagai akibat upaya Terdakwa dan kelompoknya dalam melindungi dan melestarikan lingkungan hidup demi kelangsungan peradaban kehidupan manusia," kata Ali, membacakan Nota Pembelaan (Pledoi) dalam sidang kesepuluh kasus ini di PN Stabat, Senin (24/5/2021).

Ali mengungkapkan, kriminalisasi terhadap sepasang bapak dan anak ini dapat dibuktikan dari beberapa fakta persidangan yang terungkap, yakni adanya bukti yang diada-adakan semisal kehadiran saksi-saksi yang seakan-akan mengetahui peristiwa tindak pidana serta terbitnya surat Visum et Refertum secara tidak prosedural sehingga memenuhi bukti permulaan yang cukup.

Ketua dan Anggota Kelompok Tani Nipah, Syamsul Bahri (baju lengan panjang) dan M. Samsir (baju biru), diduga jadi korban kriminalisasi karena merehabilitasi mangrove di desanya./Foto: Betahita.id

"Kemudian kriminalisasi ini biasanya melibatkan penegak hukum khususnya penyidik yang menggunakan kekuasaannya dalam proses hukum pidana, dan hal ini dapat dilihat dari penerbitan visum yang terkesan dipaksakan oleh penyidik tanpa aturan main yang benar serta keterangan para saksi JPU (Jaksa Penuntut Umum) yang sama sekali tidak mengetahui siapa sesungguhnya pemilik kebun sawit namun secara terang menyebut mengetahui pada Berita Acara Pemeriksaan mereka di kepolisian."

Lebih lanjut Ali menguraikan, apa yang menjadi motif kriminalisasi ini dilakukan terhadap para Terdakwa bisa beragam. Mulai dari sekedar merusak reputasi korban (kriminalisasi), menghalang-halangi korban melakukan aktivitasnya, teror kepada pihak lain, kepentingan politik, hingga motif ekonomi. Menurut Ali, pihak yang memiliki motif utama tersebut tidaklah harus aparat penegak hukum, namun bisa saja pihak tersebut adalah pihak lain, seperti pelapor atau orang lain yang menyuruh pihak penegak hukum.

Ali menjelaskan, dahulu telah terjadi abrasi dan menenggelamkan Desa Tapak Kuda Kecamatan Tanjung Pura akibat dari perambahan dan alih funsi kawasan hutan mangrove secara besar-besaran di sepanjang pantai timur, khususnya di Kecamatan Tanjung Pura menjadi perkebunan sawit dan pertambakan. Bercermin dari krisis lingkungan hidup ini, para Terdakwa dan kelompoknya berupaya merehabilitasi dan melestarikan lingkungan hidup di desanya, yaitu Desa Kwala Serapuh.

"Atas kegigihan mereka, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah memberikan izin kemitraan kepada Kelompok Tani Nipah yang diketuai oleh Terdakwa Syamsul Bahri untuk mengelola kawasan hutan seluas 242 hektare dengan Nomor: SK.618/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018, tentang Kulin KK antara Kelompok Tani Nipah dengan KPH Wilayah I Stabat, yang di dalamnya terdapat sekitar 60-14 hektare kelapa sawit ilegal tanpa mengambil keuntungan dan menghalami pihak pemilik sawit atas panen kelapa sawitoleh kelompok tani."

Selanjutnya, selama memegang izin kelola, Kelompok Tani Nipah banyak mendapat ancaman dari oknum-oknum aparat penegak hukum. Di antaranya oknum militer dan oknum kepolisian, baik teror maupun serangan fisik serta sering mendapati tanaman mangrove yang selama ini Kelompok tanam pada kawasah hutan dirusak oleh, diduga pekerja sawit ilegal bernama Manullang, yang merupakan mandor daripada Saksi Korban Harno Simbolon dan saksi lainnya dari JPU.

"Atas apa yang terjadi telah disampaikan pengaduan oleh Terdakwa Syamsul Bahri kepada pihak Polres Langkat namun hingga saat ini sekitar 2 tahun lebuh tidak mendapatkan kepastian hukum akan pengaduan tersebut."

Dalam melaksanakan kewajiban, Ali melanjutkan, para Terdakwa selaku pemegang izin kelola kemitraan kehutanan, telah melakukan penjarangan (pengurangan tegakann) kepala sawit ilegal pada kawasan hutan yang telah berusia tanam 12 tahun, dan atas hal ini menimbulkan reaksi dari pemilik kepala sawit ilegal yang saat itu diduga oleh PT Karitea atau PT Raya Padang Langkat dengan diduga bekerja sama dengan pihak oknum penyidik kepolisian untuk menghalang-halangi aktivitas kelompok dengan memenjahatkan (kriminalisasi) para Terdakwa sehingga tanaman kelapa sawit dapat dikuasai kembali secara utuh dan memperluas tegakan tanaman kelapa sawit.

"Dan dalam waktu 2 bulan para Terdakwa telah ditetapkan sebagai Tersangka dan ditahan di Polres Langkat, serta tidak diberikan kesempatan memajukan saksi-saksi yang menguntungkan bagi Terdakwa saat itu sebagai Tersangka."

Ali bilang, terdapat diskriminasi perlakuan pelayanan hukum oleh kepolisian saat terdakwa Syamsul Bahri sebagai Pelapor terhadap Terlapor Manulang dengan saat Terdakwa sebagai Terlapor atas adanya laporan dari Harno Simbolon anggota kerjanya Manulang. Atas permasalah hukum yang ada para Terdakwa hadapi saat ini, tidak mendapatkan perlindungan hukum dari pihak KPH Wilayah I Stabat sebagaimana hak Kelompok Tani pada perjanjian NKK dan Kulin.

"Pada pertemuan yang difasilitasi Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara yang dihadiri jajarannya serta Kepala KPH Wilayah I Stabat, diketahu pemilik sawit ilegal adalah bernama Immanuel Sibuea, dan dari hasil pertemuan dan hingga saat ini pemilik sawit ilegal tidak mampu membuktikan legalitas kepemilikan kebun sawit yang berada pada kawasan hutan tersebut."

Ali menambahkan, sesuai hasil rekomendasi Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPRD Kabupaten Langkat, hingga saat ini Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara dan KPH Wilayah I Stabat belum memberikan laporan terkait tindakan hukum kepastian hukum legalitas dan keabsahan bukti kepemilikan kebun sawit pada areal hak kelola kawasan hutan milik Kelompok Tani Nipah.

"Dengan disampaikannya kronologis dugaan kriminalisasi terhadap para Terdakwa, mudah-mudahan Majelis Hakim Yang Mulia dapat memutus perkara pidana aquo dengan mempertimbangkan keberlangsungan program dan kewajiban Kelompok Tani Nipah mendukung pemerintah dalam merehabilitasi, menjaga dan melestarikan lingkungan hidup di Kabupaten Langkat, khususnya Desa Kwala Serapuh."