AMAN: Sudah 50 Warga Jadi Korban Kekerasan Kriminalisasi PT TPL

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Rabu, 26 Mei 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kejadian bentrok antara masyarakat adat Huta Natumingka dan ratusan karyawan PT Toba Pulp Lestari (TPL), hingga menyebabkan sejumlah warga Natumingka mengalami luka serius, Selasa, 18 Mei 2021 lalu, menambah catatan panjang konflik masyarakat adat dengan perusahaan penghasil bubur kertas itu. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak mencatat, setidaknya ada 50 warga yang menjadi korban korban kekerasan dan kriminalisasi karena berkonflik dengan PT TPL.

Biro Advokasi AMAN Tano Batak, Agustin Simamora mengungkapkan, sejak 2013 hingga saat ini, sudah ada 50 orang masyarakat adat dari komunitas adat yang tersebar di Kabupaten Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Toba Samosir dan Simalungun, yang mengalami kriminalisasi oleh PT TPL.

Agus menguraikan, puluhan warga yang menjadi korban kekerasan, kriminalisasi dan intimidasi tersebut, selain 12 orang dari Desa Natumingka, terdapat lima warga anggota Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pamtang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Kemudian dua orang anggota Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun.

Lalu, lanjut Agus, lima orang masyarakat Adat Keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak di Desa Sabungan Ni Huta II Kecamatan Sipahutar Kabupaten, Tapanuli Utara. Lima orang Masyarakat Adat Huta Tornauli, Dusun Tornauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara. Selanjutnya 16 orang warga wilayah tombak haminjon (hutan kemenyan) di Dolok Ginjang, Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan.

Upaya PT TPL melakukan penanaman eukaliptus di wilayah adat Huta Natumingka di Kabupaten Toba berujung bentrok, Selasa (18/5/2021)./Foto: AMAN Tano Batak

"Menurut catatan AMAN Tano Batak, dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Parapat, sudah terdaftar dan terverifikasi 25 komunitas masyarakat adat di Kawasan Danau Toba," kata Agus, Senin (24/5/2021).

Berikut ini data-data masyarakat yang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi oleh PT TPL (sebelumnya bernama PT Inti Indorayon Utama) di Sumatera Utara:

Pertama, Komunitas Adat Huta Natumingka Pomparan Ompu Punduraham Simanjuntak

Ratusan karyawan PT Toba Pulp Lestari (TPL) bentrok kontrak komunitas Ompu Punduraham Simanjuntak Huta Natumingka terkait lahan di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, Sumatra Utara, Selasa (18/5/2021).

Bentrokan dipicu rencana pihak PT TPL menanam eukaliptus di atas tanah adat masyarakat Huta Natumingka. Akibat bentrokan, masyarakat mengalami luka-luka dan pendarahan. Ketua AMAN Tano Batak, Roganda Simanjuntak mengatakan, terdapat 12 orang korban luka. Seorang di antaranya Jusman Simanjuntak, kakek usia 75 tahun. Jusman mengalami luka di bagian wajah dan dilarikan ke Puskesmas.

“Direktur PT Toba Pulp Lestari Tbk Jandres Silalahi mengonfirmasi kejadian. Menurutnya, dua pekerja TPL terluka.”

Warga yang mengalami luka-luka adalah Jusman Simanjuntak (76 tahun, Ompu Leo), Jepri Tambunan (34 tahun), Swardi Simanjuntak (28 tahun), Ricard Simanjuntak (21 tahun), Samson Hutagaol (34 tahun), Hasiholan Hutapea (38 tahun), Hisar Simanjuntak (56 tahun), Setio Minar Simanjuntak (56 tahun), Tiurlan Sianipar (45 tahun), Nursita Simanjuntak (35 tahun), Sabar Sitorus dan Agustin simamora (26 Tahun).

Awal 2021 lalu, tepatnya Januari 2021, pihak PT TPL melaporkan 3 anggota komunitas masyarakat adat Huta Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba dengan tuduhan, perusakan tanaman milik PT TPL. Mereka atas nama Anggiat Simanjuntak, Pirman Simanjuntak, dan Risna Sitohang. Polres Toba menetapkan ketiganya sebagai tersangka.

"Alasan penetapan tersangka oleh Polisi, karena ketiga warga itu dituduh melakukan dugaan tindak pidana pengrusakan di lahan yang diklaim PT TPL," ujar Agus.

Kedua, Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras)

Pada 17 September 2019 tindakan kekerasan dialami masyarakat adat Sihaporas, Desa/Nagori Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Saat itu, warga anggota Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) melakukan aktivitas bertani di wilayah adat mereka.

Saat kejadian, Thomson Ambarita dan Mario Teguh Ambarita (anak usia 3 tahun 6 bulan) menjadi korban dari tindakan kekerasan oleh Bahara Sibuea (Humas Sektor Aek Nauli) dan security PT TPL. Thomson yang menjabat Bendahara Umum Lamtoras dan Sekretaris Umum Lamtoras Jonny Ambarita, dituntut ke muka hukum. Keduanya mendapat vonis 9 bulan tahanan. Adapun Humas TPL Bahara Sibuea, sampai Mei 2021 berstatus tersangka, namun tidak pernah ditahan polisi. Proses persidangan pun belum mulai.

"Sejak 2002, pihak TPL telah mengkriminalisasi lima warga Sihaparoas. Selain Thompson dan Jonny, pada 2002 polisi menangkap Arisman Ambarita. Lalu pada 6 September 2004 pukul 16.00 WIB, personel Brimob Polri Bersama security PT TPL mencokok dua warga, yait Mangitua Ambarita dan Parulian Ambarita. Keduanya juga merasakan persidangan dan divonis bersalah."

Ketiga, Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan

Pada Oktober 2019. PT TPL menurunkan kepolisian dengan membawa senjata dan aparat TNI mengintimidasi aasyarakat adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmonangan, Kecamatan Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun. Saat itu, warga mereka melakukan aktivitas bertani di wilayah adat.

"Setelah itu pihak PT TPL melaporkan 2 orang masyarakat atas nama Hasudungan Siallagan,dan Sorbatua Siallagan dengan tuduhan melakukan aktivitas menduduki hutan negara."

Keempat, Masyarakat Adat Keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak Sipahutar

PT TPL diduga melakukan kriminalisasi terhadap warga masyarakat Adat Keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak di Desa Sabungan Ni Huta II Kecamatan Sipahutar Kabupaten, Tapanuli Utara (Taput). Lima warga dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penggunaan kawasan hutan negara.

Kelima warga dimaksud dilaporkan pada 15 Desember 2020, adalah warga masyarakat adat keturunan Ompu Ronggur, yakni Dapot Simanjuntak, Maruli Simanjuntak, Pariang Simanjuntak, Sudirman Simanjuntak, dan Rinto Simanjuntak.

"PT TPL melaporkan kelima warga ke polisi dengan tuduhan sangkaan penggunaan kawasan hutan negara. Padahal, kelima warga dan masyarakat adat Keturunan Ompung Ronggur lainnya hanya mengusahai wilayah adat titipan leluhurnya dengan aktivitas bertani."

Kelima, Masyarakat adat Tor Nauli Parmonangan

Juni 2020, pihak PT TPL melaporkan 5 orang Masyarakat Adat Huta Tornauli yang berada di Dusun Tornauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara. Mereka adalah Buhari Job Manalu, Manaek Manalu, Nagori Manalu, Damanti Manalu, Ranto Dayan Manalu dengan tuduhan perkebunan tanpa izin di Kawasan Hutan.

Keenam, Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta Humbang Hasundutan

Pekerja PT TPL menanam kayu putih (eucalyptus) di wilayah tombak haminjon (hutan kemenyan) di Dolok Ginjang, Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (Sumut), Senin 25 Februari 2013. Padahal sesuai kesepakatan, harus ‘gencatan senjata’, tidak ada aktivitas. Warga protes hingga terjadi bentrok dengan massa karyawan TPL. Brimob Polri yang menjaga perusahaan menangkapi 31 warga, 16 orang ditetapkan tersangka, 15 dibebaskan.

Akibatnya, lanjut Agus, terjadilah bentrok dan ditandai dengan penangkapan. 16 Warga yang ditangkap dari Desa Sipituhuta adalah, Hanup Marbun (37 tahun), Leo Marbun(40), Onri Marbun (35), Jusman Sinambela (50), Jaman Lumban Batu (40), Roy Marbun (35), Fernando Lumbangaol (30), Filter Lumban Batu (45) dan Daud Marbun (35). Dari Desa Pandumaan Elister Lumbangaol (45) Janser Lumbangaol (35) Poster Pasaribu (32), Madilaham Lumbangaol (32) dan Tumpal Pandiangan (40).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirya mengakui dan menyerahkan Surat Keputusan Pengakuan Hutan Adat kepada 9 Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang tersebar di sejumlah daerah di tanah air, di Istana Negara, Jakarta, Jumat (30/12/2016).

"Satu di antaranya, Hutan Adat Pandumaan Sipituhuta seluas 5.172 hektare. Sayang sekali, realisasinya berkurang menjadi hanya 2.393 hektare, pada Januari 2021."

Tindakan Kekerasan Bukan Budaya Masyarakat Adat di Tano Batak

Agus bilang, kejadian tindak kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi oleh PT TPL ini tidak sesuai dengan adat budaya masyarakat adat Tano Batak yang tidak mengenal cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Karena seluruh masyarakat adat akan melakukan musyawarah mufakat bersama penatua kampung dalam memecahkan suatu permasalahan.

"Tidak dengan tindakan anarkis seperti yang dilakukan PT TPL kepada masyarakat adat Natumingka, dengan mempersiapkan satpam atau karyawan menggunakan benda tajam seperti kayu runcing atau alat tanam lainnya, bahkan ada karyawan PT TPL yang membawa samurai, ada videonya, dan lemparan batu."

Agus yang saat kejadian berada di lokasi dan juga menjadi korban, karena terkena lemparan batu di bagian kepala mengatakan, dalam bentrok antara masyarakat adat Huta Natumingka, polisi yang berada di tempat kejadian hanya menjadi penonton. Seolah mengizinkan kejadian itu berlangsung dan tak berdaya dengan alat-alat yang digunakan PT TPL untuk melakukan kekerasan kepada masyarakat.

"Akan tetapi sejauh ini PT TPL sering sekali melakukan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi. Tidak jeranya PT TPL melakukan kekerasan, intimidasi dan bentuk kekerasan lainnya ialah bukti lemahnya hukum untuk mendindak perusahaan."

Terkait kejadian di Desa natumingka, imbuh Agus, menurut keterangan Kepala Desa Natumingka Kastro Simanjuntak, bahwa tidak pernah pihak PT TPL melakukan sosialisasi terkait rencana penanaman kayu eukaliptus. Buktinya, pada Maret 2020, kepala desa beserta 8 orang masyarakat pergi menemui pihak PT TPL di kantor Sektor Habinsaran. Dalam kunjungan tersebut Kepala Desa Natumingka beserta masyarakat menyampaikan supaya menghentikan penanaman menunggu penyelesaian hukum, serta mencari solusi untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

"Pertimbangan lain, jika pihak PT TPL menarik karyawannya tentu di awal sudah seharusnya ditarik, namun realita di lapangan security dan pekerja memaksa mendorong barisan warga serta melempar warga terlebih dahulu sehingga mengakibatkan 12 warga luka-luka," tutup Agus.