Tambang di Patahan Gempa, Jatam: Tolak Addendum Andal PT DPM
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Jumat, 28 Mei 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dituding memuluskan jalan PT Dairi Prima Mineral (DPM), perusahaan tambang milik keluarga pengusaha Aburizal Bakrie, melakukan perusakan lingkungan di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara (Sumut) hingga Kabupaten Aceh Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Ki Bagus Hadi Kusuma, aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengungkapkan, Kamis (27/5/2021) kemarin, Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali menggelar pertemuan dengan Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) Pusat dengan agenda Penilaian Dokumen Addendum Analisis Dampak Lingkungan (Andal) dan RKL-RPL Tipe A rencana pertambangan PT DPM. Pertemuan ini, menurutnya, jelas menunjukan itikad KLHK untuk terus memuluskan jalan PT DPM untuk menambang di Dairi.
"KLHK yang harusnya menjadi pelindung kawasan tersebut justru memberi jalan pengrusakan kawasan penting tersebut. Tanda-tanda bahwa KLHK bersikukuh untuk memuluskan jalan PT DPM tampak terlihat dari terus dilanjutkannya pembahasan dokumen Addendum (revisi) Andal dan RKL-RPL PT DPM untuk merusak, membongkar dan menghancurkan kawasan serta lingkungan hidup," kata Bagus, Kamis (27/5/2021)
Bagus menjelaskan, melalui Addendum Andal tersebut, PT DPM berencana memindahkan TSF berupa dam tailing dari lokasi semula di kawasan hutan lindung yang berjarak 500 meter dari lokasi pabrik pengolahan, dipindahkan ke Bondar Begu, Dusun Sopokomil, Kecamatan Silima Pungga-Pungga yang berjarak 2 kilometer (Km) dari lokasi semula, dengan status lahan untuk penggunaan lain dan penggunaan lahan pertanian kering dan semak belukar.
Bagus mengatakan, rancangan fasilitas bendungan tailing yang diusulkan dalam Addendum PT DPM jauh di bawah standar internasional dan standar yang disyaratkan oleh hukum Indonesia. Hal tersebut berdasarkan kajian yang dilakukan oleh dua ahli internasional. Salah satunya dilakukan oleh Dr. Steve Emerman, seorang ahli hidrologi dan lingkungan untuk tambang.
"Dalam kajiannya (Dr. Steve Emerman) dikatakan fasilitas bendungan tailing belum dirancang untuk kemungkinan banjir atau curah hujan terbesar. Dia juga menemukan bahwa, jika tambang itu berada di China, itu akan illegal karena karena Negara Tiongkok kini melarang bendungan dibangun begitu dekat dengan pemukiman," kata Bagus, Kamis (27/5/2021).
Lokasi Tambang dan Bendungan Tailing Berada di Patahan Gempa
Lebih lanjut Bagus mengungkapkan, pakar internasional lainnya, Dr. Richard Meehan, juga mengatakan lokasi bendungan tailing yang diusulkan sebelumnya oleh PT DPM telah ditinjau oleh perusahaan teknik Amerika, Golder Associates. Namun situs baru yang diusulkan oleh PT DPM dalam Addendum Andal tampaknya belum ditinjau oleh Golder Associates, karena lokasi peninjauan yang dilakukan oleh Golder Associates pada 2010 berbeda dengan lokasi yang diajukan PT DPM dalam Addendum Andal-nya.
"Hal ini mengindikasikan bahwa PT DPM mencoba menggunakan laporan Golder Associates sebelumnya untuk secara curang untuk mendukung situs fasilitas penyimpanan tailing baru yang mereka usulkan."
Masih berdasarkan hasil tinjauan Addendum Andal yang dilakukan Dr. Richard Meehan, imbuh Bagus, data yang tersedia juga menunjukkan bahwa fasilitas bendungan tailing yang diusulkan PT DPM akan berlokasi di endapan abu vulkanik yang tidak stabil dan itu dinilai sangat berbahaya. Kegagalan fasilitas tailing secara virtual dapat dipastikan, terutama karena fasilitas yang diusulkan terletak di salah satu zona risiko gempa bumi tertinggi di dunia, yang terbentuk dari rangkaian tiga patahan gempa.
"Yakni Patahan Renun, Patahan Toba dan Patahan Bahorok. Lapisan fasilitas dam tailing akan pecah, dan bahan beracun bocor ke air tanah, atau bendungan itu sendiri akan runtuh, mengakibatkan banjir racun. Salah satu skenarionya adalah Dusun Sopokomil akan hanyut oleh gelombang lumpur beracun. Itu bisa terjadi tanpa peringatan," ujar Bagus.
Bagus mengungkapkan, hingga kini Addendum Andal PT DPM juga belum dilengkapi dengan Analisis Resiko Bencana, padahal lokasi tambang PT DPM berada di kawasan rawan bencana gempa dan banjir. Analisis Risiko Bencana merupakan syarat yang harus dipenuhi. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 75 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Pasal tersebut berbunyi, setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan pembangunan berisiko tinggi, yang tidak dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat 3 yang mengakibatkan terjadinya bencana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun atau paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit Rp300 juta atau denda paling banyak Rp2 miliar.
"Pemenuhan syarat analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 itu ditunjukkan dalam dokumen yang disahkan oleh pejabat pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan."
Gudang Peledak PT DPM Hanya Berjarak 50 Meter dari Pemukiman Warga
Bagus bilang, dalam dokumen Addendum Andal RKL-RPL Tipe A tersebut, PT DPM akan membangun gudang bahan peledak sejauh 293 meter sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara No. 309.K/30/DJB/2018 yang menyebutkan, jarak aman yang diizinkan untuk kapasitas gudang bahan peledak PT DPM adalah 293 meter dari bangunan yang didiami manusia, rumah sakit dan bangunan lain/kantor, 244 meter terhadap tangki bahan bakar, bengkel dan jalan utama serta 87 meter terhadap rel kereta api dan jalan umum kecil.
Namun faktanya, sebelum dokumen tersebut disetujui, PT DPM sudah selesai membangun Gudang bahan peledak tersebut di luar Kawasan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dan hanya berjarak 50 Meter dari pemukiman di Dusun Sipat, Desa Longkotan. Langkah PT DPM tersebut merupakan kejahatan lingkungan yang serius serta menjadi alasan yang kuat untuk membatalkan izin PT DPM sekaligus menghentikan pembahasan Addendum Andal tersebut.
"Kabupaten Dairi mayoritas warganya berprofesi sebagai petani yang hidupnya bergantung pada sumber daya alam seperti air, tanah, sungai dan hutan. Kami khawatir dengan berkurangnya ketersediaan air untuk pertanian akibat pencemaran tanah akibat drainase asam tambang."
Bagus menilai, kegiatan penambangan yang akan dilakukan oleh PT DPM akan menjadi penyumbang kerusakan ekologis terbesar. Pencemaran sumber air warga yang salah satu sumber airnya dekat dengan lokasi penambangan, seperti dalam laporan penelitian penyediaan air di sekitar tambang dan daerah hilir yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, YDPK dan bersama warga sekitar. Laporan tersebut, terkait dengan kekhawatiran tentang stabilitas fasilitas tailing, menunjukkan bahwa tambang tersebut berpotensi berdampak pada lebih dari 10 desa di sekitar lokasi tambang, namun Addendum Andal tersebut hanya memperhitungkan dampak pada 5 desa.
"Sesungguhnya kehadiran PT DPM bukanlah menjadi cita-cita dari masyarakat Dairi, apa lagi dengan melihat potensi dampak kerusakan dan bencana yang akan terjadi jika PT DPM beroperasi. Tambang tidak pernah membawa kesejahteraan bagi masyarakat namun membawa kesejahteraan bagi korporasi. Jika KLHK membiarkan PT DPM menambang di Dairi, sama halnya dengan upaya sadar mematikan ruang produksi dan mempertaruhkan keselamatan ribuan warga."
Sekilas tentang PT DPM
PT DPM merupakan proyek pertambangan seng di daerah Sopokomil di Kabupaten Dairi. Selain dari menambang bijih seng sulfida, PT DPM juga akan menambang bijih sekunder, yakni galena yang merupakan bentukan mineral dari timah sulfida, serta perak. 80 persen dari proyek tersebut adalah milik PT Bumi Resources Minerals, Tbk., sedangkan 20 persen lainnya dimiliki oleh PT Aneka Tambang Tbk (Antam).
PT DPM sendiri telah memegang Kontrak Kerja (KK) yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada 18 Februari 1998. Sesuai dengan ketentuan pada KK tersebut, PT DPM mengeksplorasi mineral di daerah seluas 27.420 hektare yang terletak di Provinsi Sumut dan NAD. Perusahaan tersebut memperkirakan bahwa Pemerintah Indonesia akan segera mengeluarkan izin sehingga Perusahaan dapat memulai pengembangan dan produksi tambang tersebut.
Namun, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI memperpanjang Perizinan DPM tahap kegiatan Operasi Produksi Nomor: KK.272. KK/30/DJB/2018, yang berlaku mulai 27 Juli 2018 sampai dengan 29 Desember 2047 pada lahan seluas 24.636 hektare. Lokasi tambang tersebut terletak di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Subulsalam. Perpanjangan ini juga disebut-sebut bertentangan dengan dalam Perda No. 7 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dairi Tahun 2014-2034.