PT DPM Diduga Lakukan Beberapa Pelanggaran
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Lingkungan
Minggu, 30 Mei 2021
Editor : Raden Ariyo Wicaksono
BETAHITA.ID - Jumat (28/5/2021) kemarin, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) dan Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK) merilis laporan berjudul Analisis Hukum Kejahatan PT Dairi Prima Mineral (DPM). Dalam laporan tersebut terdapat sejumlah temuan yang terindikasi merupakan sebuah pelanggaran yang dilakukan PT DPM.
Pertama, dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang dibuat PT DPM, disusun diduga minim partisipasi masyarakat
Dalam sosialisasi Amdal yang diadakan oleh pihak DPM, hanya melibatkan segelintir orang saja yang mewakili 4 desa. Padahal berdasarkan Peta Overlay wilayah proyek DPM yang dikeluarkan oleh Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif Sumatera Utara terdapat 11 desa yang berbatasan atau berada di wilayah lokasi pertambangan DPM, dimana dari desa tersebut berpotensi terkena dampak akibat kehadirannya. Adapun desa tersebut terdiri dari Palipi, Longkotan, Bongkaras, Tuntung Batu, Parongil, Bonian, Siboras, Uruk Mbelin, Sumbari, Bakal Gajah, dan Lae Panginuman.
Kedua, dokumen Amdal PT DPM diduga memiliki kekeliruan secara administratif
Yang mana dalam dokumen Amdal tersebut terdapat temuan untuk proyek pertambangan seng dan timbal, sebagaimana tertuan dalam Kontrak Karya (KK) No. KW.99PK0071 yang berlokasi di Kecamatan Silima Pungga-Pungga Kabupaten Dairi, Sumatera Selatan pada Oktober 2005. Namun faktanya ditemukan perbedaan klasifikasi lapangan usaha (KLH) yang tertuang dalam Surat Keterangan Terdaftar No: PEM-067/WPJ.07/KP.0403/2004 dengan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak No: PEM-025/WPJ.07/KP.0403/2004.
Perbedaan klasifikasi lapangan usaha DPM pertambangan emas dan perak dengan kode 13206 dengan klasifikasi lapangan usaha DPM jasa pertambangan minyak dan gas bumi dengan kode 11200 diduga bentuk kekeliruan, dan ketidakbenaran data.
Ketiga, Pembangunan Gudang Bahan Peledak diduga dibangun di luar Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH)
Berdasarkan IPPKH Berdasarkan IPPKH Gudang Bahan Peledak dibangun di kawasan Hutan Lindung seluas 53,11 hektare yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.387/Menhut-II/2012 tertanggal 23 Juli 2012 tentang IPPHK untuk Kegiatan Penambangan Seng, Timbal, Mineral Pengikutnya dengan Metode Penambangan Bawah Tanah dan Sarana Penunjangnya atas Nama PT Dairi Prima Mineral seluas 53,11 Hektare pada Kawasan Hutan Lindung Di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara.
Sedangkan jika mengacu kepada peta overlay yang dibuat oleh Jatam dan YDPK, tampak terlihat dalam peta bahwa pembangunan gudang bahan peledak ternyata dibangun di lokasi area penggunaan lain (APL) yang berbeda dengan yang terdapat dalam IPPKH. Berdasarkan rincian jarak yang diambil dari Google Earth, jarak Gudang Bahan Peledak dengan rumah penduduk hanya berjarak sekitar 50,64 meter saja, dan perubahan pembangunan Gudang Bahan Peledak yang bergeser dari IPPKH sejauh 2,43 kilometer (Km).
Oleh karena itu, diyakini pembangunan fasilitas penyimpanan bahan peledak PT DPM tidak memiliki izin lingkungan atau dokumen yang setara. Maka dengan ini PT DPM diduga melanggar tindak pidana lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlidungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Informasi di fasilitas penyimpanan bahan peledak PT DPM menunjukkan fasilitas tersebut menyimpan 100 ton Amonium Nitrat, 5000 Kg Dinamit dan 200 buah Detonator. Informasi ini menunjukkan bahwa fasilitas tersebut bukan fasilitas bahan peledak berukuran kecil. Hal ini khususnya sangat memprihatinkan karena di Zambia pada 2005 setidaknya 46 orang tewas dalam ledakan di sebuah pabrik bahan peledak di lokasi tambang NFC.
Keempat, permohonan perubahan Izin Lingkungan, permohonan penilaian dokumen Addendum Analisis Dampak Lingkungan (Andal), RKL-RPL kepada PTSP KLHK tidak menghapus pidana lingkungan hidup PT DPM
PT DPM diketahui telah mengajukan permohonan perubahan keputusan kelayakan lingkungan hidup melalui penyampaian dan penilaian addendum Andal dan RKL-RPL. Andal sendiri merupakan bagian dari dokumen Amdal yang merupakan syarat penting untuk mendapatkan Izin Lingkungan. 27 Mei 2021 kemarin, Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali menggelar pertemuan dengan Komisi Penilai Amdal Pusat dengan agenda Penilaian Dokumen Addendum Analisis Dampak Lingkungan (Andal) dan RKL-RPL Tipe A rencana pertambangan PT DPM.
Jika dalam prosesnya permohonan adendum Andal dan perubahan Izin Lingkungan oleh DPM berhasil dan disetujui perubahan terkait lokasi infrastruktur portal, gudang bahan peledak dan Tailing Storage Facility (TSF), tetap saja Andal dan Izin Lingkungan baru PT DPM hasil addendum tidak menghapus perbuatan pidana lingkungan hidup yang melakukan pembangunan yang bertentangan dengan Amdal, Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan (SKKLH) 2005 dan IPPKH 2012. Sebab Amdal dan Izin Lingkungan baru hasil addendum tidak dapat berlaku surut atau mundur kebelakang.
Kelima, Perpanjangan Perizinan Kontrak Karya PT DPM Maladministrasi, cacat hukum dapat dicabut atau dibatalkan dan penjabat yang menyetujui dapat pidana
Dari data yang diperoleh tidak ditemukan Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari PT DPM sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, yang berlaku saat ini yang mengatur bahwa kegiatan usaha pertambangan, baik pertambangan mineral maupun batu bara hanya mengenal 3 jenis perizinan yakni IPR, IUP ataupun IUPK.
Namun yang ditemukan hanyalah Kontrak Karya (KK) berdasarkan Surat Presiden No. B.53/Pres/I/1998 perihal Persetujuan bagi 72 Kontrak Karya di Bidang Pertambangan Umum yang mengacu pada rezim Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan Perizinan. Perpanjangan KK PT DPM tahap kegiatan Operasi Produksi Nomor: KK.272.KK/30/DJB/2018 yang berlaku mulai 27 Juli 2018 sampai dengan 29 Desember 2047, pada lahan seluas 24.636 hektare berlokasi di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Subulussalam yang dikeluarkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, cacat secara hukum.
Sebab, pemerintah memberikan jangka waktu Operasi Produksi langsung selama 30 tahun. Jika mengacu pada Pasal 83 huruf g Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, dinyatakan jangka waktu IUPK Operasi Produksi Mineral logam atau batu bara dapat diberikan paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 10 tahun.
Maka perpanjangan otomatis KK PT DPM selama 30 tahun secara hukum tidak dapat dibenarkan, batal demi hukum atau setidak-tidaknya dapat dibatalkan. Sebab bertentangan dengan norma UU Minerba No. 4 Tahun 2009 dan diduga kuat ada potensi korupsi kebijakan atau corruption by law.
Keenam, IPPKH untuk kegiatan pertambangan seng, timbal dan mineral pengikutnya atas nama PT DPM telah batal dengan sendirinya
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK. 387/Menhut-II/2012 tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Kegiatan Penambangan Seng, Timbal dan Mineral Pengikutnya dengan Metode Penambangan Bawah Tanah dan Sarana Penunjangnya Atas Nama PT DPM seluas 53,11 Hektare pada Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara diduga kuat telah kedaluarsa.
Karena Kegiatan nyata di dalam kawasan IPPKH baru dilaksanakan oleh DPM pada tahun 2017. Sesuai ketentuan Poin ke-15 dalam dokumen SK IPPKH PT DPM menunjukkan IPPKH telah berakhir dengan sendirinya, dengan kata lain telah kedaluarsa, tidak memliki kekuatan hukum dan tidak berlaku lagi sejak 2014.
Hal ini menunjukkan bahwa sejak 2014 PT DPM tidak memiliki izin untuk melakukan aktivitas apapun di dalam kawasan hutan. Selain itu kegiatan nyata di dalam kawasan Hutan Lindung, berupa pembebasan lahan warga yang masuk dalam kawasan Hutan Lindung, pembangunan infrastruktur, jalan di dalam kawasan Hutan Lindung pada 2017 adalah merupakan aktivitas ilegal tanpa izin.
Ketujuh, dugaan kelalaian melengkapi Analisis Risiko Bencana
Pasal 40 ayat 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan, setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.
Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana adalah kegiatan pembangunan yang memungkinkan terjadinya bencana, antara lain pengeboran minyak bumi, pembuatan senjata nuklir, pembuangan limbah, eksplorasi tambang, dan pembabatan hutan.
Berdasarkan fakta-fakta yang ada, kembali beroperasinya PT DPM masuk dalam kategori kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi. PT DPM diwajibkan untuk melengkapi analisis risiko bencana. Namun dalam Amdal yang dimiliki, tidak ada kajian atas analisis risiko bencana.
Berbagai runtutan persoalan ini bisa saja menjadi alasan bagi PT DPM, disebabkan peraturan lahir pada tahun 2007. Mengacu pada UU tersebut belum ditemukan apakah DPM sudah memiliki analisis risiko bencana? Namun sejak lahirnya UU Penanggulangan Bencana Tahun 2007 tersebut, seharusnya DPM melengkapi dokumen analisis risiko bencana sebagai dokumen wajib dalam melalukan operasi pertambangan.
Lebih lanjut, dalam peraturan ini diatur dalam hal melengkapi analisis risiko bencana DPM harus berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 dan kelalaian dalam melengkapi dokumen analisis risiko bencana ada konsekuensi hukumnya yang diatur dalam Pasal 75 UU tersebut.
Akibat dari kelalaian perusahaan dalam melakukan pembangunan yang berisiko tinggi yang tidak dilengkapi analisis risiko bencana pengurus korporasinya juga bisa dikenai pidana. Hal tersebut diatur dalam Pasal 79 UU 24 Tahun 2007. Oleh karena itu, apabila satu perusahaan pertambangan masih saja lalai dalam mengurus dokumen analisis risiko bencana dapat berakibat pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum.
Kedelapan, kewajiban dalam membuat analisis risiko lingkungan
Berdasarkan ketentuan Pasal 123 jo Pasal 47 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 jelas disebutkan kewajiban untuk membuat dokumen analisis risiko lingkungan. Berdasarkan data yang diperoleh, tidak diketahui dan tidak didapatkan informasi tentang apakah PT DPM telah melengkapi analisis risiko lingkungan hidup? Namun apabila mengacu kedua pasal UU 32 tersebutm hal ini menjadi satu kewajiban hukum dipenuhi.
Kesembilan, ketidaksesuaian dengan penataan ruang
Dari data dan fakta yang diperoleh tidak ditemukan adanya Peraturan Daerah (Perda) Tata Ruang Provinsi Sumatera Utara untuk tahun 1999-2015. Yang ada hanya lampiran tata ruang wilayah Propinsi Sumatera Utara dan Revisi Umum Rencana Tata Ruang Kota Sidikalang yang diperoleh dari dokumen Amdal Proyek pertambangan Seng dan Timbal pada KK No. KW.99 PK 0071.
Berdasarkan lampiran tersebut tidak ditemukan data yang dapat memastikan apakah di Kecamatan Silima Pungga-Pungga bisa dilakukan pertambangan mineral?
Namun apabila dibaca dalam Perda No. 7 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dairi Tahun 2014-2034. Justru pada Pasal 61 ayat 1 Perda No. 7 Tahun 2014 menyebutkan “Pertambangan mineral radioaktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a dikembangkan di kecamatan Parbuluan dan kecamatan silahisabungan. Tidak ada disebutkan dalam Perda No. 7 Tahun 2014 secara spesifik tentang wilayah pertambangan mineral logam di wilayah Silima Pungga-Punga.
Peraturan ini hanya menyebutkan dalam Pasal 61 ayat 2 bahwa Pertambangan Mineral Logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b dikembangkan di wilayah sesuai dengan potensi dan daya dukungnya.
Jika mengacu pada KK PT DPM, Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI memperpanjang Perizinan DPM tahap kegiatan Operasi Produksi Nomor: KK.272.KK/30/DJB/2018 yang berlaku mulai 27 Juli 2018 sampai dengan 29 Desember 2047 pada lahan seluas 24.636 hektare berlokasi di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat dan Kabupaten Subulsalam, perpanjangan ini bertentangan dengan dalam Perda No. 7 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Dairi Tahun 2014-2034.