Cerita Berjuta Ton Kayu Menuju Cina
Penulis : Sandy Indra Pratama
Hutan
Selasa, 08 Juni 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sial betul memang nasib hutan Indonesia. Kala semua mengendur upaya lantaran corona, hutan tetap disiksa. Dua tulisan dalam seri Hari Lingkungan Hidup Sedunia, sudah mendedahkan cerita soal bagaimana kondisi ekspor hasil hutan yang justru meningkat kala pandemi, namun meski volume ekspornya meningkat namun kocek pendapatan negara tetap saja kempis.
Ya, Pada saat pandemi, Indonesia mengekspor bubuk kertas sebanyak 6,3 juta ton ke luar negeri dengan nilai ekspor mencapai 3,5 juta dollar Amerika. Angka tersebut meningkat cukup tinggi dari tahun sebelumnya yang berjumlah 5,2 juta ton. Angka peningkatan ini diikuti dengan produk lainnya.
Ekspor kertas Indonesia pada 2020, 5,2 juta ton, meningkat dari tahun sebelumnya, 4,7 juta ton. Lalu ekspor produk kayu panel Indonesia, 2,2 juta ton meningkat dari tahun sebelumnya 2 juta ton. Ekspor produk Wood Working Indonesia sebanyak 1,6 juta ton meningkat tipis dari tahun sebelumnya, 1,5 juta ton. dan produk kelima yakni angka ekspor produk furniture Indonesia sebanyak 437 ribu juta ton, meningkat tipis pula dari tahun sebelumnya 4,1 juta ton.
Sialnya, Pada tahun pandemi menggila, ekspor pulp dan kertas meningkat, masing-masing 1 juta ton dan 475 ribu ton, namun pendapatan dari kertas hanya USD 3.5 juta dan USD 2,5 juta dari produk pulp. Produksi kertas pada 2019 dibandingkan tahun 2020 mengalami kenaikan 10 persen, namun pendapatan mengalami penurunan 8,8 persen. Sedangkan produksi pulp mengalami peningkatan 20 persen, namun pendapatannya malah mengalami penurunan 8,9%.
Kondisinya sungguh paradoks.
Pengiriman tentu ada tujuan. Serial terakhir ini, betahita akan mendedah data ke mana saja produk hasil hutan Indonesia pergi selama Pendemi?
Data dari telaahan Direktorat Hutan Yayasan Auriga Nusantara menyatakan bahwa pada 2020, Tiongkok kembali menjadi negara tujuan utama ekspor hasil hutan. Tiongkok juga berada di urutan pertama dari 9 besar negara pengimpor komoditas ini selama dua tahun berturut-turut.
Pada tahun pertama pandemi Covid-19 ini, ekspor ke Cina bahkan meningkat 1,5 juta ton lebih dari tahun sebelumnya. Ekspor hasil hutan ke Cina meningkat saat ke semua negara menurun.
Selain Cina di posisi teratas, Jepang merupakan negara di peringkat dua sebagai negara tujuan ekspor hasil hutan dari Indonesia dengan volume 1,7 juta ton. Disusul Korea (1 juta ton), India (700 ribu ton) dan terakhir Amerika Serikat (700 juta ton).
Pada data bisa ditemukan tak hanya jualan hasil hutan ke Cina yang mengalami peningkatan. Ekspor ke Korea dan Amerika pada 2020 juga meningkat dibanding 2019.
Namun walaupun volumenya mengalami peningkatan, nilai ekspor di beberapa negara justru mengalami penurunan. Secara total, di lima negara dalam grafis jumlah volume ekspor naik sebesar 17%, namun peningkatan nilainya hanya 2%.
Mengapa hanya Cina yang meningkat? sedangkan seluruh negara konsumen produk hasil hutan Indonesia menurun? Direktur Hutan Yayasan Auriga Nusantara, Supin Yohar menjawabnya.
Menurut Supin berdasar kajian timnya menunjukan bahwa kebijakan politik dan ekonomi sangat mempengaruhi peningkatan volume ekspor produk hasil hutan Indonesia ke Cina.
“Indonesia dan China telah melakukan perjanjian dagang yang membuat bea masuk antar kedua negara tidak ada,” ujarnya. Kondisi lain mengatakan, tambahnya, “industri kertas China kini sedang membutuhkan bahan baku untuk memenuhi konsumsi kertas Negeri Tirai Bambu.”
Peningkatan volume ekspor, kata Supin, sekilas merupakan data yang menggembirakan. Namun sejatinya, “Peningkatan angka itu merupakan ancaman bagi siapa? Masyarakat di sekitar hutan. Sementara mungkin bagi banyak orang Indonesia di urban tidak terlalu terpengaruh sehingga empati bisa terkikis.”
Supin mengatakan apapun yang terjadi, semisal meningkatnya ekspor atau menebalnya kocek pengekspor produk hasil hutan di Indonesia, kerugian yang nyata ada pada hutan Indonesia.
Lihat saja, ekspor itu sebagian besar berupa pulpdan kertas. Bahan bakunya adalah pokok kayu.
“Dari mana bahan bakunya itu diperoleh, jika tidak dari hutan, baik sebagiannya, sebagian besarnya, atau seluruhnya,” ujarnya. “Siapa lantas yang kehilangan hutan? Kita semua!”
Memang, guna menggerakkan industri yang sangat lapar kayu ini, perusahaan dapat menanam sendiri bahan baku kayunya atau membeli dari mitranya. Yang manapun pilihannya, lahan yang dibutuhkan sangat luas.
Dengan faktor konversi 4,7 m3 kayu per ton pulp dan produktivitas kebun kayu 97,75 m3 per hektar,maka untuk memproduksi 100 ton pulp dibutuhkan bahan baku dari panen kayu seluas 4,8 hektar.
Akibatnya banyak terjadi konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan. Industri ini juga sudah dilaporkan banyak menyebabkan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan potensi bencana, dari banjir hingga kebakaran hutan dan lahan.
“Karena itu seharusnya pemerintah lebih hati-hati, bahkan mengkaji ulang izin usaha berbasis lahan yang telah ada ini, dan bukan menambahnya,” ujar Supin.
Tulisan ini merupakan tulisan ketiga dalam seri HARI LINGKUNGAN HIDUP DUNIA 2021.