Aktivitas Tambang Nikel Ancam Danau Yonelo, Maluku Utara

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ekosistem

Rabu, 09 Juni 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Aktivitas penambangan mineral logam, khususnya nikel, di daerah pesisir pantai Teluk Weda, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara (Malut), menjadi ancaman serius bagi ekosistem Danau Yonelo atau Telaga Lagaye Lol. Seperti yang terjadi pada Minggu (6/6/2021) kemarin, kondisi air di Sungai Yonelo yang biasanya sangat jernih dilaporkan tiba-tiba keruh. Perubahan warna air tersebut diduga kuat akibat tercemar aktivitas perusahaan tambang nikel yang ada di sekitar danau.

Pegiat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Malut, Adlun Fikri mengatakan, perubahan warna Sungai Yonelo Minggu kemarin diduga kuat disebabkan oleh aktivitas pemuatan ore atau bijih nikel yang dilakukan perusahaan tambang di daerah pesisir pantai. Ore yang dimuat di pesisir pantai itu diduga kuat terjatuh ke sungai kemudian tersedimentasi dan selanjutnya larut terbawa aliran sungai hingga ke Danau Yonelo.

"Jadi mereka (perusahaan tambang) sementara melakukan pemuatan ore di pesisir pantai. Nah pas hujan ore itu jatuh di pantai, lalu mengalir masuk ke danau melalui Sungai Yonelo yang berada tidak jauh dari situ (lokasi pemuatan ore)," kata Adlun, Selasa (8/6/2021).

Adlun yang juga merupakan warga setempat menjelaskan, dalam kondisi normal, air yang mengalir di Sungai Yonelo sangatlah jernih. Bahkan dasar sungai bisa terlihat jelas. Namun pada Minggu kemarin air Sungai Yonelo tiba-tiba menjadi keruh, kuning kecoklatan. Sungai Yonelo, kata Adlun, merupakan sungai yang menghubungkan Danau Yonelo dengan pesisir pantai Teluk Weda. Jarak antara pesisir pantai dengan Danau Yonelo hanya sekitar 1 kilometer (Km) saja.

Tampak dari kejauhan kondisi air Danau Yonelo, Minggu (6/6/2021)./Foto: Istimewa (Yoesril)

"Jernih, tembus hingga ke dasar. Meskipun ini sungai dan danau air payau. Sungai Yonelo itu yang menghubungkan Danau Yonelo ke pesisir pantai."

Dua Perusahaan Tambang Beroperasi di Sekitar Danau Yonelo

Menurut Adlun, pencemaran air Sungai Yonelo itu baru kali ini terjadi. Namun untuk aktivitas penambangan nikel sudah dilakukan sejak sebulan terakhir. Salah satu situs penambangan nikel itu berada di bukit sebelah timur Danau Yonelo.

"Kalau pencemaran baru terjadi kemarin. Tapi bukit di sisi timur danau itu sudah dikeruk. Izinnya operasi produksi, eksploitasinya sih 5 tahun yang lalu, cuma mandek, nah baru sebulan ini mereka (perusahaan) beroperasi lagi."

Adlun menambahkan, saat ini terdapat dua perusahaan tambang yang berakivitas di sekitar Danau Yonelo, yakni PT Zhong Hai Rare Metal Mining dan PT First Pasific Mining Indonesia. Keduanya merupakan perusahaan penambangan mineral logam jenis nikel dan tercatat merupakan perusahaan PMA (Pemilik Modal Asing).

Dua perusahaan itulah yang diduga kuat sebagai biang kerok terjadinya pencemaran Sungai dan Danau Yonelo, Minggu kemarin. Bahkan apabila dilihat dari peta konsesinya, sekitar separuh Danau Yonelo masuk dalam konsesi tambang nikel milik PT Zhong Hai Rare Metal Mining.

PT Zhong Hai Rare Metal Mining sendiri mendapat Izin Operasi Produksi melalui SK 25/1/IUP/PMA/2018. Izin tersebut berlaku sejak 4 Juni 2018 dan berakhir pada 21 Desember 2029. Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diperoleh perusahaan ini seluas 688 hektare untuk Blok I dan 118 hektare untuk Blok 2, tambang tersebut berada di Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara.

Sedangkan PT First Pasific Mining Indonesia, mendapat Izin Operasi Produksi berdasarkan SK 30/1/IUP/PMA/2018. Izin itu berlaku mulai 4 Juni 2018 hingga 10 Oktober 2032. Dengan luas IUP yang didapatkan sebesar 2.080 hektare, lokasi tambangnya juga berada di Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara.

Adlun mengatakan, meski beroprasi dengan IUP yang berbeda, namun dua perusahaan tersebut sebenarnya terhubung dengan pemilik yang sama. Sejauh ini ore nikel hasil tambang dua perusahaan itu dikumpulkan di pesisir pantai Teluk Weda untuk dimuat dan dibawa menggunakan jalur laut ke smelter atau fasilitas pemurnian milik PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang lokasinya berjarak sekitar 15 Km dari lokasi konsesi tambang perusahaan.

"Ya dua IUP tapi pemiliknya satu aja. Ore itu dibawa ke smelter PT IWIP, lokasinya di Teluk Weda juga, sekitar 15 Km. Iya jalur laut. PT IWIP itu konsorsium perusahan juga, beda dengan PT First Pasific Mining. Informasinya sih ore mereka dijual ke PT IWIP."

Masyarakat Menolak Keberadaan Tambang Nikel

Keberadaan dan aktivitas operasi PT First Pasific Mining Indonesia dan PT Zhong Hai Rare Metal Mining di Kecamatan Weda Utara sebenarnya tidaklah mulus. Masyarakat Desa Sagea dan Desa Kiya yang berada di sekitar konsesi tambang dua perusahaan itu sudah berulang kali mengekspresikan penolakan terhadap dua perusahaan asal Tiongkok tersebut.

Unjuk rasa terbesar terjadi pada Desember 2014 silam. Kala itu puluhan warga dari dua tersebut melakukan unjuk rasa damai yang berpusat di areal tambang PT First Pasific Mining Indonesia. Terdapat sejumlah alasan mengapa unjuk rasa itu digelar. Salah satunya karena pihak perusahaan berencana akan melakukan pembangunan fasilitas smelter di di Desa Sagea dan Desa Kiya.

Pihak perusahaan disebut sama sekali tidak pernah melakukan sosialisasi tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk pembangunan smelter tersebut. Apalagi aktifitas perusahan ini jaraknya tidak berjauhan dengan pemukiman penduduk, dan dekat dengan Danau Yonelo serta dekat dengan Goa Boki Maruru yang menjadi andalan wisata serta tempat yang kaya dengan nilai sejarah.

Dalam aksi unjuk rasa tersebut puluhan massa aksi yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat, memblokir jalan masuk ke perusahan dengan sejumlah pohon yang ditebang lalu diletakan di sepanjang jalan. Masyarakat menyayangkan kebijakan pemerintah daerah yang mengeluarkan izin kepada perusahan di atas perkebunan warga. Bagi masyarakat, perusahan itu tidak saja memberikan dampak negatif terhadap kerusakan lingkungan, tapi juga masyarakat akan kehilangan sumber ekonomi utama dari hasil kebun seperti Kelapa, Pala dan Sagu.

Masyarakat juga menganggap pemerintah bersikap sangat aneh. Di satu sisi pemerintah mengkampanyekan pelestarian objek wisata Goa Boki Maruru, tapi sisi lain pemerintah juga memberikan izin kepada perusahan tambang untuk mengeksploitasi kawasan wisata tersebut.

Adlun mengungkapkan, seiring berjalannya waktu fasilitas smelter tersebut kemudian tidak jadi dibangun oleh PT First Pasific Mining Indonesia. Bisa jadi hal tersebut karena adanya penolakan warga, namun ada kabar burung yang menyebut pihak perusahaan kebahisan dana untuk merealisasikan rencananya.

"Enggak punya (smelter), dulu mau bangun tapi enggak jadi. Yang didemo itu tambang sama smelter sekalian. Infonya sih mereka (PT First Pasific Mining Indonesia) sudah enggak punya anggaran buat bangun."

Namun diakuinya, perjuangan masyarakat melakukan menolak kehadiran perusahaan tambang di sekitar Danau Yonelo juga ada pasang surutnya. Ada pro kontra yang tak dapat terhindarkan, karena ada pihak-pihak tertentu yang merasa berkepentingan apabila perusahaan masuk atau beroperasi.

"Dalam internal sih pro kontra, karena ada yang berkepentingan juga, misal ada yang mau jual lahan, kaplingan dan lain-lain untuk dapat ganti rugi duit."

Nilai Danau Yonelo

Adlun melanjutkan, meskipun belum dilakukan pemetaan, namun konsesi tambang PT First Pasific Mining Indonesia dan PT Zhong Hai Rare Metal Mining sebenarnya berada di dalam wilayah adat Sawai. Menurut Adlun, Sawai merupakan nama masyarakat adat yang tinggal di desa sekitar Danau Yonelo, salah satunya di Desa Sagea, dan di Kecamatan Weda Utara umumnya.

"Masuk (wilayah adat), wilayah hutan di sekitar itu wilayah Kampung Sagea. Masyarakat Adat Sawai, itu etnis besarnya. Tapi di sana biasanya disebut Orang Sawai. Nah di Kampung Sagea, desa administratifnya juga terbagi dua, Desa Saega dan Desa Kiya."

Bagi masyarakat Sagea atau Orang Sawai, Danau Yonelo atau juga disebut Talaga Lagaye Lol yang panjangnya sekitar 2,5 Km dan lebarnya kurang lebih 2,4 Km itu memiliki bermacam nilai dan manfaat. Selain sebagai destinasi wisata lokal, Danau Yonelo juga sebagai sumber cadangan pangan.

Meski perkampungan Sagea sendiri berada sekitar 3 Km dari Telaga Lagaye Lol, tapi tepian danau merupakan tempat masyarakat berkebun. Masyarakat umumnya menanam pisang, ubi, pala, cempedak, dan tanaman buah lainnya di tepian danau. Selain itu tumbuhan bakau yang terbentang separuh mengelilingi danau serta kayu lainnya, ada juga pohon Sagu yang ditanam di bibir danau.

"Terus jika musim ombak di laut, orang kampung Sagea itu memancing ikan di danau dan mencari kerang, untuk kebutuhan pangan."

Danau ini juga merupakan tempat yang sakralkan, di ujung danau ada sebuah makam yang berdekatan dengan sebua mata air tawar. Konon makam tersebut merupakan makam salah satu keturunan sultan dari Jailolo. Keturunan sultan Jailolo dimaksud bernama Muhammad Taher. Hingga kini, makam ini dikeramatkan oleh masyarakat Sagea dan sekitarnya. Makam ini sering dijadikan sebagai tempat ziarah baik oleh masyarakat sekitar maupun masyarakat yang ada di luar Kabupaten Halmahera Tengah.

"Kalo dalam konteks kesejarahan, salah satu bagian di tepian Danau Yonelo itu terdapat kuburan keramat, yang dipercayai sebagai salah satu keturunan sultan dari Jailolo. Biasanya warga kampung melakukan ritual tertentu, seperti menaruh sesajen di kubur itu."

Selain tempat sumber pangan, perbukitan dan Gunung Legaye Lol (bukit yang dikeramatkan), juga menjadi tempat sejumlah satwa yang dilindungi, terumata burung. Seperti Burung Paru Bengkok, Kapasan Halmahera (Lala geaurea), Kacamata Halmahera (Zosterop satriceps), Cekakak Biru-putih (Todir hampusdiops), Gagak Halmahera (Corvusvalidus), Burung Rangkong atau burung taon-taon, burung Bidadari Halmahera serta masih banyak lagi burung endemik lainnya.