Kehadiran PT TPL di Tano Batak Menyeret Banyak Permasalahan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
SOROT
Selasa, 15 Juni 2021
Editor :
BETAHITA.ID - PT Toba Pulp Lestari (TPL) ternyata memiliki sejarah panjang yang buruk. Kehadirannya di Tano Batak (tanah Batak) telah menyeret banyak ragam permasalahan. Bahkan, permasalahan-permasalahan tersebut sudah mulai bermunculan sejak perusahaan tersebut masih bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) puluhan tahun silam.
Berikut ini deretan peristiwa penting menyangkut PT TPL, yang dihimpun dari berbagai sumber dan catatan sejarah serta analisis media yang dilakukan sejumlah lembaga masyarakat sipil nasional maupun lokal.
Berdasarkan riwayatnya, PT IIU atau marak juga disebut PT Indorayon, terbentuk pada 26 April 1983. Beberapa bulan berikutnya, tepatnya pada 22 Desember 1983, perusahaan yang konon disebut ada kaitannya dengan Sukanto Tanoto itu mendapat status sebagai perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan mendapat persetujuan tetap dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di bidang pabrik pulp dan rayon di Sumatera Utara (Sumut).
Sejalan dengan itu, pada 31 Oktober 1984, Gubernur Sumut yang kala itu dijabat oleh Kaharuddin Nasution mengabulkan permohonan lokasi pabrik PT Indorayon seluas sekitar 200 hektare di daerah Sosor Ladang, Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba. Di tahun yang sama pula, pada sekitar 19 November 1984, PT Indorayon memperoleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seluas sekitar 150 ribu hektare, mencakup hutan pinus merkusi yang ada di sejumlah wilayah kabupaten di Sumut.
Proyek pulp dan rayon PT Indorayon ini sejak awal sudah menimbulkan pro kontra. Dalam sebuah rapat ilmiah pembahasan rencana proyek PT Indorayon, yang digelar di Kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pada 17 Mei 1985, terjadi beda pendapat antara Menneg KLH Emil Salim dan Menristek/Ketua BPPT BJ Habibie tentang layak-tidaknya lokasi pabrik di Sosor Ladang, hulu Sungai Asahan.
Bahkan kala itu Prof Dr Otto Soemarwoto, Pakar Ekologi Lingkungan & Guru Besar Pro Lingkungan, juga Otorita Pemngembangan Proyek Asahan (OPPA), menolak ikut bertanggung jawab atas keputusan rapat ilmiah tersebut. Dengan alasan tidak cukup data untuk mengambil keputusan ilmiah. BJ Habibie pernah meminta petunjuk kepada Presiden Soeharto, tentang dampak lingkungan proyek PT IIU, yang didapat petunjuk bahwa proyek tersebut tetap dilanjutkan dengan syarat-syarat secukupnya.
Pada 1986, PT Indorayon dilaporkan melakukan perampasan tanah adat turunan Raja Sidomdom Barimbing di Desa Sugapa Kecamatan Silaen, seluas 51,36 hektare, dengan memanipulasi hukum adat. Namun akhirnya tanah adat itu berhasil kembali kepada masyarakat.
Walhasil, pada 13 November 1986, Menristek BJ Habibie dan Menneg KLH Emil Salim mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang berisi mengenai persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh PT Indorayon dalam melaksanakan pembangunan dan operasi proyek/pabrik pulp dan rayon terpadu dengan wawasan lingkungan.
Awal Kemelut
Satu tahun kemudian, Juni hingga Agustus 1987, perlawanan masyarakat mulai muncul. Masyarakat dari Desa Sianipar I dan Sianipar II serta Simanombak mengajukan protes kepada PT Indorayon terkait longsor yang menutupi persawahan. Yang mana longsor tersebut terjadi akibat pembuatan jalan di hutan Simare yang kuran memenuhi syarat. Seluas 15 hektare sawah milik sekitar 43 kepala keluarga tertimbun.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya 7 Oktober 1987, terjadi longsor lagi di Desa Natumingka, Kecamatan Habinsaran, yang mengakibatkan 18 warga meninggal. Longsor itu disebabkan oleh aktivitas pembukaan jalan yang dilakukan oleh PT Indorayon.
Kemudian di tahun berikutnya, 9 Agustus 1988, penampungan air limbah (aerated lagoon) dilaporkan jebol saat dilakukan uji produksi. Diperkirakan satu juta meter kubik limbah mencemari Sungai Asahan.
Tak lama dari kejadian tersebut, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengadukan PT Indorayon, BKPM, Menteri Perindustrian, Menteri Kehutanan, Menneg KLH, dan Gubernur Sumut atas pelanggaran Undang-Undang Lingkungan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Walhi menuntut izin PT Indorayon dibatalkan. Sayangnya pada 14 Agustus 1989 PN Jakarta Pusat menolak gugatan tersebut.
Sekitar Oktober 1988, 150 hektare perladangan yang digarap sekitar 100 KK di Desa Negeri Dolok dirusak menggunakan alat berat oleh PT Indorayon, dengan alasan ladang tersebut masuk dalam areal konsesi PT Indorayon.
Longsor lagi-lagi terjadi, pada 25 November 1989. Kali ini terjadi di Desa Bulu Silape, Kecamatan Silaen. Longsor ini diduga kuat disebabkan oleh aktivitas PT Indorayon yang melakukan pemembukaan jalan untuk dilalui truk (logging) di atas bukit, dengan cara mengeruk tanah dan batu di perut Dolok Tampean. Ketika turun hujan, terjadi longsor yang menimpa perkampungan dan areal persawahan. 13 orang warga meninggal, 5 rumah hancur, 30 hektare persawahan tertimbun, 6 hektare perladangan rusak.
Penolakan masyarakat atas kehadiran PT Indorayon mulai muncul saat 16 warga Sugapa, Kecamatan Silaen mencabuti patok PT Indorayon yang berada di atas lahan warga seluas 52 hektare pada 15 Desember 1989. Pencabutan patok itu berujung pada penangkapan terhadap 16 warga tersebut.
Pada bulan yang sama, sekitar 70 hektare lahan kopi, cengkeh, kemiri dan jenis lainnya, yang diusahakan 43 KK Huta Maria, di Desa Dolok Parmonangan, Dolok Panribuan, juga ditraktor oleh PT Indorayon karena dianggap masuk dalam konsesi perusahaan.
Di tahun selanjutnya, 18 hektare lahan penggembalaan ternak warga Desa Sianjur Kecamatan Siborong-Borong, Tapanuli Utara, dirampas PT Indorayon. Sebelumnya warga telah menyerahkan 225 hektare lahan dengan ganti rugi Rp1,25 per meter persegi. Perampasan lahan ini mendapat perlawanan dari 14 KK di sana.
Masih di tahun yang sama, PT Indorayon menebangi pohon pinus di atas lahan seluas 160 hektare di Parik Sabungan, Tapanuli Utara dan mendapat perlawanan warga. Lantaran lahan tersebut yang pada 1951 dipinjam oleh Dinas Kehutanan untuk areal percontohan pohon pinus.
Sekitar 1989 hingga 1990 tanah-tanah adat di Sampuara-Jangga dan Parsoburan dijadikan areal HPH PT Indorayon dan ditanami eukaliptus dengan memanipulasi hukum adat. Namun warga sadar akan bahaya eukaliptus dan meminta tanah-tanah adat mereka dikembalikan.
Pada 11 Mei 1990, PT Indorayon mulai mendapat suntikan dana dari luar negeri dan statusnya berubah dari PMDN menjadi Penanaman Modal Asing (PMA), dengan surat pemberitahuan Ketua BKPM tentang Persetujuan Presiden. Investor asing yang membiayai PT Indorayon kala itu adalah Cellulosa International S.A (6,2%) dan Scann Fibre Co. S.A. dari Luxemburg (9,3%). Sedangkan investor dalam negeri yakni Sukanto Tanoto (24,3%), Polar Yanto Tanoto (5,8%), PT Adimitra Rayapratama (25,2%), PT Inti Indorayonesia Lestari (18,5%), Hendrik Muhamad Affandi, Dr Semion Tarigan dan Hakim Haryanto.
Tak lama menyandang status sebagai PMA, sekira pada 20 November 1990, PT Indorayon mendapat persetujuan Presiden mengenai perluasan usaha, dengan surat pemberitahuan Ketua BKPM. Perluasan usaha tersebut mencakup tujuh jenis produk, yakni, Pulp (165.000 ton), HCL, NaOH, Viscose rayon staple fiber (Rayon) diperluas, Na2SO4 diperluas, CS2 diperluas dan H2SO4 diperluas. Investasi awal PT Indorayon sebesar Rp489,132 miliar dan perluasan sebesar Rp451,336 miliar, termasuk nilai mesin USD167 juta, realisasi perluasan berakhir 20 April 1993.
Pada 1991 PT Indorayon dilaporkan melakukan penanaman eukaliptus di atas tanah adat milik para ahli waris Ompu Debata Raja Pasaribu di Huta Maria, Desa Dolok Parmonangan, Dolok Panribuan. Dengan alasan tanah-tanah adat itu masuk dalam konsesi PT Indorayon sesuai SK Menteri Kehutanan.
Tahun berikutnya, tepatnya pada 1 Juni 1992, Izin HPH PT Indorayon bertambah luas menjadi 269.060 hektare. Lewat SK Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/92 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang dikeluarkan Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap.
Pada 5 November 1993 terjadi peristiwa meledaknya boiler dan kebocoran klorin, menyebabkan pencemaran udara dan pabrik PT Indorayon terpaksa ditutup. Peristiwa itu memicu kemarahan masyarakat yang sejak awal menolak keberadaan PT Indorayon. Masyarakt melakukan perusakan terhadap rumah karyawan pabrik, 125 rumah dilaporkan rusak, 5 mobil pickup, 5 sepeda motor, satu mini market, satu statsiun radio dan satu traktor dibakar. Masyarakat juga melakukan penutupan akses jalan bagi truk PT Indorayon. Pemerintah daerah kemudiane memutuskan untuk menutup sementara pabrik tersebut.
Namun penutupan pabirk PT Indorayon itu hanya berumur beberapa hari saja, pada 12 November 1993, Menteri Perindustrian Tunky Ariwibowo memberi izin PT IUU beroperasi kembali. Saat ini PT Indorayon menyatakan minta maaf dan menjanjikan bantuan kepada masyarakat melalui Yayasan Sinta Nauli. PT Indorayon juga berjanji akan melakukan audit dampak lingkungan menggunakan jasa auditor internasional dan pada 21 November 1993 PT Indorain kembali beroperasi lagi.
Kejadian jebolnya penampungan limbah atau aerated lagoon kembali terulang pada 2 Maret 1994. Lagi-lagi itu menyebabkan Sungai Asahan tercemar dan menyebabkan banyak ikan mati. April 1998, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia bekerja sama dengan Walhi melakukan penelitian atas pencemaran lingkungan di Porsea. Hasilnya, risiko penyakit kulit buat ibu 7x dan 2-5x balita, saluran pernapasan 3x buat ibu dan 2x buat balita, saluran pencernaan 6x buat ibu dan juga 6x buat balita, mata 2-3 x, mual-mual 6x dan syaraf 2x.
Penutupan PT Indorayon
Juni 1998, Gubernur Sumut, Raja Inal Siregar, mengeluarkan keputusan pengehentian operasi PT Indorayon. Keputusan tersebut diambil setelah masyarakat sekitar pabrik PT Indorayon bersama ribuan mahasiswa di Medan melakukan unjuk rasa. Penghentian operasi tersebut berlaku sampai ada keputusan lebih lanjut.
Penghentian operasi PT Indorayon ini bergayung sambut hingga ke pusat. 15 Juni 1998, dalam Rapat Kerja Komisi V DPR RI, Menneg KLH yang saat itu dijabat Panangian Siregar mengusulkan agar PT Indorayon ditutup.
Namun terlepas dari usul tersebut, masyarakat Toba Samosir tetap melakukan aksi penutupan dengan caranya sendiri, yakni dengan menghentukan truk-truk PT Indorayon masuk ke pabrik, pada 20 Juli 1998. Aksi tersebut tepatnya dilakukan di Simpang Sirait Uruk.
Aksi masyarakat tersebut berlangsung hingga pertengahan Juli. Karena setelah 30 hari melakukan aksi, massa aksi diserbut oleh ratusan aparat keamanan gabungan dari kepolisi dan tentara. Beberapa warga diketahui terluka terkena pentungan aparat, sebagian warga dikejar sampai ke pintu rumah, sebagian lain menyelamatkan diri ke persawahan.
Ada juga seorang warga yang ditangkap, diseret dan mengalami kekerasan hingga dibuang ke parit, sebelum akhirnya ditemukan warga dalam keadaan koma. Namun hal itu tidak menyurutkan perlawanan warga, hari berikutnya aksi unjuk rasa kembali digelar. Kali ini aparat gabungan yang dihadapi bertambah banyak, mencapai ribuan. Dalam aksi tersebut diketahu belasan warga terluka, puluhan rumah rusak dan beberapa warga dikabarkan hilang.
Yang mana pada 21 Juli 1998 Menneg KLH Panangian Siregar akhirnya menyatakan operasi PT Indorayon ditutup, disertai syarat sambil diadakan audit lingkungan. September kemudian, PT Indorayon mengumumkan telah mengalami kerugian sebesar USD8 juta akibat penutupan pabrik. Berselang satu bulan kemudian, pada 6 Oktober 1998, Panagian Siregar malah mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan keputusannya sebelumnya, yakni setuju PT Indorayon kembali beroprerasi.
Rentetan Bentrokan
Pada 3 September 1998, dua pemuda Desa Tambunan, Balige, dilaporkan ditangkap karena aksi-aski yang dilakukan. Besoknya 150 warga hadir melakukan aksi penghempangan jalan. Seorang warga bernama Rahman Sirait ditangkap. Warga melarang dan terjadi tarik menarik dengan kaum ibu. Aparat disebut memukuli kaum ibu dengan pentungan dan menembakkan gas air mata.
Akibat penangkapan, warga marah dan dalam waktu singkat 2000 warga hadir dari berbagai desa ke Porsea. Terjadi bentrokan dan aparat menembakkan gas air mata. Setelah warga pulang ke rumah masing-masing, aparat yang terdiri dari brimob dan tentara dari Titi Kuning, Medan, melakukan perusakan, penjarahan dan menembaki rumah penduduk. Beberapa rumah dijarah disertai pemukulan terhadap warga yang ditemui di rumah, tidak peduli anak-anak maupun yang sudah tua.
Pada 4 September 1998, terjadi bentrok antara warga Sirait Uruk dengan aparat. Aparat menggunakan gas air mata dan melakukan penembakan hingga mengakibatkan satu orang warga bernama Jhon Sirait terluka akibat tertembak di bagian kakinya. Dalam kejadian itu 50 orang ibu mengalami luka-luka dan lebam terkena pentungan aparat, 1 orang ibu tua berusia 80 tahun diketahui diculik saat bekerja di sawah.
Kemudian 15 orang warga ditangkap dan dimasukkan ke truk dan dibawa paksa oleh aparat. Selanjutnya diketahui ditahan di Polres Tarutung dan 30 orang dikabarkan hilang.
Memasuki November, PT Indorayon akhirnya beroperasi lagi dengan penjagaan dan pengawalan ketat dari aparat kepolisian dan militer. Hal itu memicu reaksi masyarakat, hingga pada 22 November 1998 terjadi unjuk rasa melibatkan banyak pihak yang jumlahnya dilaporkan mencapai 3 ribu orang.
Unjuk rasa itu berujung bentrok dengan aparat militer, yang mana kala itu aparat militer (saat itu masih Angkatan Bersenjara Republik Indonesia) menggunakan senjata api. Seorang pengunjuk rasa, Ir. Panuju Manurung tertembak di bagian paha dan kemudian lari. Namun Panuju Manurung tertangkap oleh tentara dan diserahkan kepada karyawan pabrik.
Dalam kejadian itu sebanyak 25 truk milik PT Indorayon dibakar. Tak hanya itu 4 mobil dan 7 sepeda motor juga dibakar. Sebanyak 23 rumah penduduk yang disangka mendukung PT Indorayon juga dirusak.
Hari berikutnya bentrok massal melibatkan lebih banyak orang, dengan ABRI, kembali terjadi dan pihak polisi menggunakan gas air mata. Dalam bentrok tersebut, sebanyak 79 orang ditangkap dan ditahan di Mapolres Tapanuli Utara.
Tiga hari kemudian, 26 November 1998, Panuju Manurung yang sebelumnya tertembak kemudian tertangkap itu kemudian akhirnya dilaporkan meninggal. Panuju Manurung diduga mengalami kekerasan. Ribuan mahasiswa dari Medan kemudian melakukan aksi menuntut agar 79 orang yang ditahan segera dilepaskan. Hal itu mengakibatkan bentrok dengan polisi, hingga 39 orang mengalami luka dan 15 orang lainnya dirawat.
Desember 1998, sejumlah LSM yakni Forum Bona Pasogit dan Yayasan Perhimpunan Pencinta Danau Toba (YPPDT) bersama Gubernur Sumut, melakukan pertemuan dengan BJ Habibie yang kala itu duduk sebagai Presiden RI menggantikan Soeharto pascalengser membicarakan tentang sikap pemerintah terhadap PT Indorayon. Belum ada pernyataan sikap dalam pertemuan tersebut dari Presiden Habibie.
Dua bulan kemudian, para pekerja PT Indorayon melakukan demonstrasi ke PT Inalum di Paritohan. Mereka menuduh PT Inalum telah mendanai serta mengipas gerakan anti-PT Indorayon dan perusahaan itu mengusulkan agar pemerintah menunjuk auditor independen. 16 Maret 1999, 4 karyawan PT Indorayon dilaporkan hilang. Konon hilangnya 4 karyawan PT Indorayon itu akibat diculik oleh masyarakat. Tiga meninggal ditemukan dan satu lagi dirawat.
Atas segala persoalan, khususnya akibat adanya penolakan yang keras dari masyarakat, pada 19 Maret 1999, akhirnya Presiden Habibie mengeluarkan keputusan lisan yang isinya, Danau Toba segera akan ditetapkan sebagai cagar alam, seni, dan budaya yang harus dijaga kelestariannya yang makin berpotensi sebagai daerah wisata, wilayah itu hendaknya ditangani oleh suatu Badan Pengelola yang akan mengusulkan kepada UNESCO agar dijadikan world heritage, menghentikan operasi Indorayon untuk sementara dan meminta YPPDT menyusun ToR audit total dampak lingkungan perusahaan itu dan hasil audit itu nantinya akan dipakai untuk memutuskan status PT Indorayon selanjutnya.
Sayang keputusan Presiden Habibie tersebut tak terlaksana sepenuhnya. Akibat dari hasil perdebatan yang terjadi antara LSM yang anti-PT Indorayon (YPPDT, Forum Bona Pasogit) dan Pro-PT Indorayon (Permata dan Pencinta Toba Lestari), membahas keputusan Presiden Habibie tersebut. Forum debat yang digelar 18-21 Juli 1999 tersebut konon diprakarsai oleh Menneg KLH, Panangian Siregar.
Pada era Presiden Abdulrahman Wahid, PT Indorayon kembali ditutup, kali ini niatnya ditutup secara permanen. Pada 24 Januari 2000, Menneg LH Sonny Keraf mengambil keputusan untuk menghentikan operasional PT Indorayon. Hal tersebut disampaikan dalam surat kepada Ketua BKPM yang Isinya, pertama PT Indorayon telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan maraknya keluhan, protes, dan aksi penduduk setempat. Kantor Menneg LH telah melaksanakan pengkajian terhadap kasus lingkungan hidup PT Indorayon. Delapan butir hasil kajian, seluruhnya menunjukkan kelalaian PT Indorayon.
DPRD Toba Samosir (saat itu Kabupaten Toba dan Samosir masih belum berpisah) setuju operasi PT Indorayon dihentikan dalam Rapat Paripurna DPRD Tobasa yang digelar di Balige 1 Maret 2000.
Penutupan atau penghentian operasi PT Indorayon ini memicu investor asing yang mendanai PT Indorayon mengancam akan menuntut pemerintah Indonesia di Centre for Settlement of Foreign Investment Dispute, Washington DC (ICSID), karena dinilai tidak serius menyelesaikan kemelut yang menghalangi operasi PT Indorayon sejak pertengahan 1998.
Menneg LH Sonny Keraf mengeluarkan usulan tentang penyelesaian kemelut PT Indorayon. Ada enam alternatif penyelesaian yang disampaikan. Namun sejumlah pihak menganggap usulan tersebut tidak masuk akal dan sulit dipahami logikanya, mengingat pernyataan sebelumnya.
Yang mana sebelumnya Sonny pernah mengatakan pelanggaran pidana dan ganti rugi terhadap penduduk tetap menjadi tanggung jawab PT Indorayon. Bahkan Sonny menyebut bahwa sejak awal kegiatan PT Indorayon sudah menimbulkan pertentangan karena lokasinya yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan dan dampak negatifnya sulit ditanggulangi. Sonny juga mengatakan lokasi dan kegiatan PT Indorayon telah melanggar peraturan dan undang-undang.
Pada 10 Mei 2000, Rapat Kabinet akhirnya memilih alternatif win-win solution terkait kemelut PT Indorayon. Dengan tiga syarat, dikenakan persyaratan khusus yang ketat menggantikan SKB 1986, PT Indorayon boleh beroperasi, tetapi hanya pulp tanpa rayon, setelah mematuhi syarat-syarat baru itu, setahun kemudian diaudit untuk menentukan apakah boleh terus atau tidak, terakhir PT Indorayon harus melakukan sosialisasi terlebih dulu bahwa beroperasinya pabrik akan menyebabkan turunnya kualitas lingkungan yang akan mempengaruhi kenyamanan masyarakat.
Bentrok besar kembali terjadi di Porsea, antara masyarakat dengan polisi pada 21 Juni 2000. Bentrok tersebut disebabkan oleh adanya penculikan warga yang bertugas jaga malam, oleh aparat kepolisian. Seorang pelajar kelas dua STM Yayasan Parulian Porsea, bernama Hermanto Sitorus, yang kebetulan lewat tewas tekena terjangan peluru yang ditembakkan oleh polisi. Kasus ini belum pernah diusut.
Bulan berikutnya Komisi VIII DPR RI memberi waktu satu tahun untuk melakukan audit, untuk memastikan bahwa kegiatan PT Indorayon tidak merusak lingkungan.
PT Indorayon dilaporkan melakukan pertemuan dengan bank dan investor asingnya. Seluruh investor menuntut agar PT Indorayon mengakhiri pendekatan kekerasan dan bersepakat dengan masyrakat. Pada 28 Agustus 2000, investor asing juga mengakui kesalahan PT Indorayon dan dalam pertemuan dengan Gubernur Sumut, seorang wakil investor asing, Julian Hill mengusulkan agar operasi PT Indorayon lebih ramah lingkungan dan mengganti teknologi kraft dengan soda.
Usul penggunaan soda sebagai teknologi kraft tersebut mendapat pertentangan juga. Prof Dr Firman Manurung dalam diskusi lanjitan tentang teknologi pengganti di Jakarta, 31 Agustus 2000, memberi penjelasan tandingan. Firman mengatakan, tetap saja dalam proses pemutihan pulp (bleaching) akan terjadi persenyawaan gas klorin (Cl) dengan bahan-bahan organik yang menghasilkan organochlorin, zat yang menyebabkan banyak kematian dan penyakit di seluruh dunia.
Temu Kajian Ilmiah di Parapat. Pemrakarsa, Gubernur Sumu kembali menggelar Temu Kajian Ilmiah di Hotel Niagara, Parapat 22-23 September 2000. Kegiatan itu dihadiri 68 peserta dari 108 undangan dan ini merupakan kelanjutan dua pertemuan sebelumnya dengan tema Temu Kajian Ilmiah Upaya Penyelesaian Permasalahan PT IIU. Temu kajian tersebut berujung pada kesimpulan bahwa akan memberi kesempatan beroperasi kepada PT Indorayon.
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) PT Indorayon yang digelar pada 15 November 2000, menghasilkan Paradigma Baru. Yang isinya, kerja sama bisnis dengan masyarakat, dana satu persen dari nilai penjualan setiap tahun untuk masyarakat disalurkan lewat yayasan, mengutamakan putra daerah setempat dalam pengangkatan karyawan, teknologi pabrik yang ramah lingkungan, pengelolaan sumber daya alam berkesinambungan dan berwawasan lingkungan, seperti menebang pohon yang ditanam saja dan menyediakan sebagian HTI (90.576 ha atau 32 persen) untuk konservasi.
Selanjutnya PT Indorayon, melalui Direktur Utama Bilman Butarbutar, memohon bantuan pihak kepolisian untuk melakukan pengamanan dikarenakan perusahaan tersebut berencana akan operasi kembali pada 31 Maret 2001. Seperti diprediksi sebelumnya, pada tanggal tersebut terjadi demonsrasi besar melibatkan ribuan warga. Walhasil reoperasi PT Indorayon batal dilakukan.
Pihak PT Indorayon menuding unjuk rasa tersebut didalangi oleh orang-orang dari Medan dan Jakarta. Hal tersebut dibantah oleh Walhi dan menyebut unjuk rasa itu betul-betul hasil inisiatif dan prakarsa masyarakat sedangkan Walhi dan LSM lainnya hanya sebagai pendukung saja.
Berjalannya waktu akhirnya mulai muncul suara-suara pejabat yang mengatakan PT Indorayon boleh beroperasi lagi. Di antaranya datang dari Menneg LH Sonny Keraf, Mennakertrans Jacob Nuwa Wea dan Gubernur Sumut Tengku Rizal Nurdin.
Pada Oktober 2002 PT Indorayon melakukan restrukturisasi utang dengan kreditor asing. Konversi 90 persen utang ke 40 persen saham. Lantas utang menjadi 10 persen, sekitar USD36 juta. Dana investor baru USD50 juta (30 persen saham). Pesaham lama, seperti Brilliant Holding dan Supreme Good, mempertahankan saham 30 persen.
Pada 20 November 2002, ribuan kaum ibu mendatangi kantor Camat Porsea. Dipimpin Pendeta Miduk Sirait untuk menanyakan sikap camat terhadap reoperasi PT IIU. Di hari selanjutnya, polisi diketahui menangkap sekitar 18 pengunjuk rasa di Porsea, dengan sangkaan merusak kantor Camat saat warga melakukan aksi di Kantor Camat.
Saat itu Musa Gurning pimpinan Suara Rakyat Bersama (SRB) ditangkap dekat Kantor Bupati lalu dibawa ke Tarutung. Beberapa kepala desa (kades) ikut unjuk rasa, antara lain Kades Sirait Uruk, Mangatas Sirait dan (pelaksana) Kades Nagatimbul, Lbn Julu, Pahala Sitorus. Sebanyak 16 orang tersangka perusak kantor Camat ditahan.
Berbagai organisasi mengajukan gugatan. Antara lain Walhi, Bakumsu (Bantuan Hukum Sumatera Utara), Lentera, dan Pusaka Indonesia ke Pengadilan Negeri Tarutung mengenai kekerasan yang dilakukan polisi pada 21 November 2002, dengan 13 orang luka dan 18 orang ditahan.
Pada 2002, PT TPL diduga melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat adat Sihaporas. Seorang warga bernama Arisman Ambarita tiba-tiba ditangkap oleh polisi.
Januari 2003, 49 organisasi non pemerintahan (Ornop) mendesak pemerintah untuk menutup PT Indorayon. Sekitar 5 ribu warga melakukan pemblokiran jalan masuk ke PT Indorayon. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa pemerintah tidak boleh mengabaikan permintaan masyarakat agar menutup PT Indorayon.
Pada awal reoperasi, PT Indorayon yang nantinya akan berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL) itu menambah modal kerja sebesar USD50 juta dari kreditor asing untuk produksi tahun pertama 150-160 ribu ton pulp (kapasitas produksi 180.000 ton).
Kerugian selama empat tahun tutup USD500 juta, termasuk pembayaran bunga dan cicilan utang pokok USD360 juta. Sebelum tutup, penghasilan setahun perusahaan itu sebesar USD150 juta.
Menneg LH Nabiel Makarim mengirimkan surat tentang Persyaratan Lingkungan PT Indorayon, kepada Menperindag Rini M.S. Suwandi. Isinya persyaratan pengelolaan lingkungan PT Toba Pulp Lestari (TPL), dalam rangka pelaksanaan kegiatan pra operasi pabrik pulp. Persyaratan ini dianggap perlu dibuat karena dengan berubahnya PT Indorayon menjadi PT TPL, maka otomatis SKB 1986 tidak berlaku lagi.
Maret 2003 PT Indorayon yang sudah berganti nama jadi PT TPL disebut diam-diam melakukan reoperasi. Sebagai respon, para orang tua di Porsea sepaka untuk meliburkan anak-anak sebagai aksi mogok untuk menolak beroperasinya PT TPL. Bahkan sebanyak 13 pimpinan gereja di Sumut membuat surat terbuka kepada pemerimtah yang berisi desakan kepada pemerintah untuk menuntup PT TPL.
Peringatan Hari Bumi ke-33 yang sedianya akan digelar masyarakat anti-PT Indorayon/TPL, di Porsea, 21 April 2003 mendapat gangguan. Kelompok pro-PT Indorayon/TPL mengeluarkan seruan agar kepolisian menggagalkan pertemuan akbar tentang Hari Bumi seDuinia yang akan digelar di Sirait Uruk, Porsea. Di peringatan Hari Bumi dan Paskah tersebut muncul konvoi truk yang kemudian menerobos acara. Pemimpin agama di Sumut marah dan menganggap itu sebagai pelecehan agama, pelecehan kemanusiaan, pelecehan hak-hak asasi rakyat petani.
Dalam aksi yang dilakukan di Sirait Uruk, 19 April 2003, warga yang melakukan aksi dipukul dengan pentungan dan mengalami luka tembak, memar, terkilir dan patah tulang.
Pada 2004, Mangitua Ambarita dan Parulian Ambarita anggota masyarakat adat Sihaporas dicokok polisi bersama pihak keamanan PT TPL, dan akhirnya harus menjalani persidangan hingga divonis bersalah.
Pada 2006, penggarapan tanah adat oleh PT Indorayon kembali terjadi di 11 desa di Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan. Tanah adat dan hutan kemenyan seluas 3.500 hektare, milik keturunan Bius Marbun dirusak dan ditebangi oleh PT TPL dengan alasan tanah adat tersebut masuk dalam areal HPHHTI PT TPL.
Pada 2009, tanah adat dan hutan kemenyan yang sudah dimiliki masyarakat adat secara turun temurun sejak 300 tahun lalu yang merupakan sumber mata pencaharian utama 700 KK, di Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta, Kecamatan Polung, Humbang Hasundutan, juga ditebang dan dirusak oleh PT TPL, karena dianggap konsesi HPHHTI PT TPL.
Pada 2010, pohon-pohon pinus yang berada di tanah adat milik bersama Bius Lontung (Sinaga dan Situmorang) ditebang oleh PT TPL, dan tanah adantya diambil alih hanya dengan melakukan pendekatan dengan sejumlah orang. PT TPL mengklaim sudah melakukan pembelian dnegan beberapa orang.
Di tahun yang sama PT TPL menggarap secara paksa lahan Lumban Naiang, di Desa Aek Lung, Kecamatan Dolok Sanggul, Humbang Hasundutan. Padahal lahan tersebut dulunya digunakan Dinas Pertanian dan Kehutanan untuk areal penghijauan, dengan perjanjian 30 tahun setelah tanaman pinus dipanen, tanah akan dikembalikan kepada masyarakat. Namun setelah pinus dipanen, tanah tersebut langsung ditanami dengan eukaliptus oleh PT TPL, dengan alasan masuk dalam areal HPHHTI PT TPL/Hutan Tanaman Rakyat (HTR). PT TPL mengintimidasi masyarakat agar tidak mengusakan tanah tersebut.
Seorang Pendeta, bernama Haposan Sinambela, yang sejak 2009 menjadi pengurus Komunitas Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta, Humbang Hasundutan, ditangkap dan ditahan oleh kepolisian, setelah ikut serta dalam aksi demonstrasi yang digelar masyarakat adat tersebut di Simpang Marade, Februari 2013 lalu. Pendeta tersebut ikut berjuang untuk mempertahankan wilayah dan hutan adat dari PT TPL.
Pada 25 Februari 2013, pekerja PT TPL diketahui menanam eukaliptus di wilayah tombak haminjon (hutan kemenyan) di Dolok Ginjang, Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kabupaten Humbang Hasundutan. Padahal sesuai kesepakatan, harus 'gencatan senjata', tidak ada aktivitas. Warga protes hingga terjadi bentrok dengan massa karyawan TPL. Brimob Polri yang menjaga perusahaan menangkapi 31 warga, 16 orang ditetapkan tersangka, 15 dibebaskan.
Akibatnya, terjadilah bentrok dan ditandai dengan penangkapan. 16 Warga yang ditangkap dari Desa Sipituhuta adalah, Hanup Marbun, Leo Marbun, Onri Marbun, Jusman Sinambela, Jaman Lumban Batu, Roy Marbun, Fernando Lumbangaol, Filter Lumban Batu dan Daud Marbun. Sedangkan dari Desa Pandumaan Elister Lumbangaol, Janser Lumbangaol, Poster Pasaribu, Madilaham Lumbangaol, dan Tumpal Pandiangan.
Di tahun yang sama, Rusliana Boru Marbun dari Komunitas Adat Matio diketahui dikrimanlisasi oleh PT TPL dan mendapat vonis 6 bulan penjara. Ia mempertahankan dan memprotes sawahnya ditimbun oleh PT TPL yang membuka perkebunan eukaliptus.
14 Juli 2015, Sammas Sitorus dari Komunitas Adat Guru Datu Sumalanggak Sitorus, Lumban Sitorus, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba, dilaporkan PT TPL ke Polres Toba atas dugaan pemukulan dan penaniayaan terhadap seorang karyawan PT TPL. Laporan ini menuai kontroversi dan amarah warga, meminta Sammas tidak diproses secara hukum karena penyidikan penuh kejanggalan.
Sammas Sitorus dikenal giat membela masyarakat adat sejak 1997, untuk mendapatkan hak ulayatnya Kembali dari PT TPL. Puncaknya demonstrasi di depan pintu PT TPL pada 13 Juli 2015. Aksi ini berjalan sepanjang hari. Sammas menjalani persidangan selama 8 bulan. Pada 25 Januari 2016, Ketua Majelis Hakim, Darman Nababan dalam sidang terbuka di PN Balige memvonis bebas Sammas.
Pada September 2016, Hotman Siagian anggota Komunita Adat Matio, Kabupaten Toba, dikriminalisasi oleh PT TPL atas tuduhan merusak hutan, menduduki lahan konsesi dan melawan hak merintangi kemerdekaan bergerak dari orang di jalan umum.
Januari 2019, keturunan Op. Sinta Manurung melaporkan PT TPL ke Penegakan Hukum Kementrian Lingkungan Hidup (Gakum KLHK) Wilayah Sumutera atas rusaknya lahan pertanian milik keturunan Op. Sinta Manurung dan milik warga yang terletak di kampung Parbulu Desa Banjar Ganjang, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba akibat terpaparnya limbah Nursery milik PT TPL. Namun hampir 3 tahun laporan tersebut belum juga mendapat kejelasan.
Tidak hanya itu dengan hal tersebut, pada 8 Mei 2019 keturunan Op. Sinta Manurung juga melaporkan PT TPL ke Polda Sumatera Utara atas dugaan tindak pidana pemakaian tanah tanpa izin (penyerobotan), yang mana tanah milik Op. Sinta Manurung tersebut dipakai menjadi saluran pembuangan Limbah Nursery milik PT TPL. Lagi-lagi laporan tersebut tidak mendapat kejelasan hingga kini.
Pada 10 Juni 2019, PT TPL melaporkan Komunitas Masyarakat Adat Tor Nauli Parmonangan ke Polres Tapanuli Utara dengan tuduhan penyerobotan tanah. Namun masyarakat adat Tor Nauli menolak menghadiri pemanggilan yang dilakukan oleh Polres Tapanuli Utara, karena menganggap tanah tersebut merupakan tanah yang telah dikuasai secara turun temurun.
Selanjutnya pada 16 September 2019 Masyarakat Adat Sihaporas juga terlibat bentrok dengan karyawan PT TPL. Bentrokan terjadi karena pegawai PT TPL mencemari sumber air minum dan merusak tanaman milik Masyarakat Adat Sihaporas serta melarang masyarakat adat bercocok tanam di tanah adatnya.
Thomson Ambarita dan Mario Teguh Ambarita (anak usia 3 tahun 6 bulan) menjadi korban dari tindakan kekerasan oleh Bahara Sibuea (Humas Sektor Aek Nauli) dan security PT TPL. Namun dalam bentrok tersebut, Humas PT TPL atas nama Bahara Sibuea justru yang malah melaporkan Komunitas Masyarakat Adat Sihaporas ke Polres Simalungun dengan tuduhan melakukan tindak pidana Penganiayaan.
Tak ingin mengalah, pada 18 September 2019, Thomson Ambarita juga melaporkan Bahara Sibuea ke Pores Simalungun terkait penganiayaan yang dialaminya dalam peristiwa bentrok pada 16 September 2019.
23 September 2019 PT TPL melaporkan Komunitas Masyarakat Adat Dolok Parmonangan ke Polres Simalungun dengan tuduhan penyerobotan tanah. Namun komunitas masyarakat adat tersebut menolak panggilan Polres Simalungun, karena tanah tersebut merupakan tanah yang telah dikuasai secara turun temurun.
Pada 24 September 2019, Thompson Ambarita dipanggil sebagai saksi Pelapor atas laporannya. Namun sesampainya di Polres Simalungun, Thomson justru ditangkap dan diahan atas laporan pihak PT TPL. Selain Thomson, Sekretaris Umum Lamtoras Jonny Ambarita, juga ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Simalungun. Keduanya kemudian mendapat vonis 9 bulan penjara pada 13 Februari 2020.
Pada Oktober 2019, PT TPL membawa kepolisian dan aparat TNI bersejata lengkap melakukan intimidasi terhadap masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan di Dolok Parmodanangan, Simalungun. Saat itu warga melakukan aktivitas tani di wilayah adatnya. Setelahnya, PT TPL juga melaporkan 2 orang masyarakat adat atas nama Hasudungan Siallagan dan Sorbatua Siallagan dengan tuduhan melakukan aktivitas pendudukan hutan negara.
27 Mei 2020 Bahara Sibuea yang dilaporkan oleh Thomson Ambarita diketahui telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Simalungun. Dalam menindak lanjuti laporan tersebut, Masyarakat Adat Sihaporas melakukan beberapa upayam baik mendesak Polres Simalungun, Polda Sumut, Audiensi ke Kapolres Simalungun hingga melaporkan Penyidik ke Wasidik Polda Sumut. Namun hingga saat ini Bahara Sibuea (Humas PT. TPL) belum juga diseret ke Pengadilan dan tidak pernah dilakukan penahanan terhadap Bahara Sibuea.
Juni 2020, PT TPL dituding melakukan kriminalisasi terhadap 5 orang masyarakat adat Huta Tor Nauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan Parmonangan, Tapanuli Utara. Perusahaan tersebut melaporkan Bohari Job Manalu, Manaek Manalu, Nagori Manalu, Jamanti Manalu, Ranto Dayan Manalu dengan tuduhan perkebunan tanpa izin di Kawasan Hutan.
17 September 2020, Komunitas Masyarakat Adat OP. Panggal Manalu melaporkan PT TPL ke Polres Tapanuli Utara atas dugaan tindak pidana perusakan tanaman milik masyarakat adat yang terletak di Ladang Parbutikan, Desa Aek Raja, Kecamatan Parmonangan Kabupaten Tapanuli Utara. Kasus ini berjalan di tempat hingga sekarang karena Komunitas Masyarakat Adat OP. Panggal Manalu diminta Polres Tapanuli Untuk untuk menunjukkan bukti surat kepemilikan tanah.
Kemudian, pada 22 September 2020, PT TPL melaporkan Komunitas Masyarakat Adat Ompu Ronggur Sipahutar ke Polres Tapanuli Utara dengan tuduhan tindak pidana penggunaan kawasan hutan. Akan tetapi Komunitas Masyarakat Adat Ompu Ronggur Sipahutar menolak panggilan Polres Tapanuli Utara, karena tanah tersebut merupakan tanah yang telah dikuasai secara turun temurun.
PT TPL melaporkan Komunitas Masyarakat Adat Natumingka ke Polres Toba pada 24 Oktober 2020, dengan tuduhan tindak pidana pengrusakan tanaman milik PT TPL. Namun Komunitas Masyarakat Adat Natumingka menolak panggilan Polres Toba.
Pada 15 Desember 2020 PT TPL diduga melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat adat keturunan Ompu Ronggur Simanjuntak di Desa Sabungan Ni Huta II Kecamatan Sipahutar, Tapanuli Utara. Lima warga, Dapot Simanjuntak, Maruli Simanjuntak, Pariang Simanjuntak, Sudirman Simanjuntak, dan Rinto Simanjuntak dilaporkan ke polisi dengan tuduhan penggunana kawasan hutan negara. Padahal mereka berlima hanya bertani di wilayah adatnya.
Januari 2021, pihak PT TPL melaporkan 3 orang anggota Komunitas Masyarakat Adat Huta Natumingka, dengan tuduhan perusakan tanaman milik PT TPL. Tiga orang tersebut yakni, Anggiat Simanjuntak, Pirman Simanjuntak, dan Risna Sitohang. Ketiganya kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Toba pada 31 Maret 2021. Atas penetapan tersangka tersebut, Komunitas Masyarakat Adat Natumingka mengadukannya ke DPRD Sumut namun pengaduan tersebut tidak ditindak lanjuti secara serius.
Pada 20 April 2021, Pdt. Faber Manurung bersama sekitar 15 warga melakukan aksi protes di Desa Pangombusan, Kecamatan Parmaksian. Protes yang dilakukan dengan memberhentikan truk pengangkut kayu PT TPL tersebut dilakukan menyuarakan kerusakan lingkungan yang sudah berlangsung lama di kampung mereka, Dusun Parbulu, Desa Bandar Ganjang, Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba. Akibat aksi protes tersebut Pdt. Faber Manurung ditahan pihak kepolisian.
18 Mei 2021, Komunitas Masyarakat Adat Natumingka bentrok dengan ratusan karyawan PT TPL. Hal tersebut diawali oleh keinginan PT TPL memaksa melakukan penanaman eukaliptus di wilayah adat Op. Punduraham Simanjuntak, di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor Kabupaten Toba. Akibat peristiwa tersebut, 12 orang Komunitas Masyarakat Adat Natumingka menjadi korban penganiayaan pegawai PT TPL.
Satu hari kemudian, Komunitas Masyarakat Adat Natumingka melaporkan para karyawan PT TPL ke Polres Toba dengan tuduhan dugaan tindak pidana penganiayaan. Polres Toba sempat enggan untuk menerima laporan Komunitas Masyarakat Adat Natumingka, namun setelah berdebat panjang, laporan Komunitas Masyarakat Adat Natumingka diterima petugas SPKT Polres Toba.