Warga Kepulauan Sangihe Teguh Menolak Tambang Emas PT TMS  

Penulis : Kennial Laia

Tambang

Rabu, 16 Juni 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  “Kami semua menolak! Kami tidak mau ada tambang emas di tanah kami!”

Begitu kata-kata lantang Oktavia Paususeke saat berbicara dalam diskusi media virtual. Perempuan yang kerap dipanggil Els itu merupakan warga Kampung Lesabe I, Kecamatan Tabukan Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara.

Kata-kata tersebut juga terlontar saat Els pertama kali menghadiri sosialisasi yang diadakan PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS) di Desa Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, Kepulauan Sangihe, Maret lalu. Els mengaku kaget karena baru mengetahui soal izin tambang emas tersebut.

“Saat itu sosialisasinya langsung soal harga tanah. Kami tanya mengapa sudah ada izin, tapi masyarakat tidak dilibatkan?” ujarnya. 

Masyarakat dari berbagai elemen menolak kehadiran perusahaan tambang emas asal Kanada PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS). Gerakan itu dideklarasikan dengan nama Save Sangihe Island. Foto: Istimewa

“Saat itu kami langsung menolak,” kata Els.  

Ihwal izin tambang emas milik PT Tambang Mas Sangihe belakangan ini memang ramai dibicarakan. Luas konsesi yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bagi perusahaan tersebut mencapai 42.000 hektare atau setara 420 kilometer persegi.

Angka tersebut mencakup lebih dari separuh pulau, yang memiliki luas 73.698 hektare atau sekitar 736 kilometer persegi.

Kepulauan Sangihe berada di bagian utara terluar Indonesia, berbatasan langsung dengan Pulau Mindanao, Filipina. Pulau ini memiliki 80 desa dan tujuh kecamatan, dan dihuni sekitar 131 ribu jiwa. Ada pulau-pulau kecil di sekelilingnya seperti Mahumu, Laotongan, Batunderang, Lenggis, dan Batuwingkung.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, kepulauan ini seharusnya terlarang untuk aktivitas pertambangan.

Namun, Kementerian ESDM memperpanjang kontrak karya milik PT TMS pada 29 Januari 2021. Lewat SK Nomor 163 K/MB.04/DJB/2021, kementerian tersebut memberikan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) hingga 33 tahun mendatang.

Warga Kampung Bowone, Elbi Piter turut mempertanyakan soal izin tersebut. Seperti Els, dia mengaku kaget karena tidak pernah mendengar soal izin tambang emas PT TMS sampai sosialisasi itu diadakan.

Elbi pun bertekad menolak. Bersama Save Sangihe Island, yang merupakan gerakan penolakan tambang gabungan masyarakat sipil dan 25 organisasi kemasyarakatan, Elbi aktif menyuarakan penolakannya.

Menurutnya, saat ini semakin banyak masyarakat yang mendukung gerakan tersebut, lewat tanda tangan surat penolakan terhadap kehadiran PT TMS.

“Mungkin mereka sadar Sangihe ini di ambang kehancuran sehingga ikut bersatu untuk menolak (izin tambang PT TMS),” tuturnya.  

“Ini kan suatu ketidakadilan. Kami di sini petani dan nelayan, lalu tambang emas masuk begitu saja… Ini tidak benar,” tambahnya.

Aktivis asal Sulawesi Utara Jull Takaliuang yang juga tergabung dalam Save Sangihe Island mengatakan, penolakan masyarakat masif dan menyeluruh di kampung-kampung Kepulauan Sangihe. Menurutnya, resistensi tersebut sangat wajar. Pasalnya, masyarakat telah lama hidup bertani dan menangkap ikan.

Bila aktivitas tambang emas itu dilanjutkan, Jull khawatir sumber penghidupan masyarakat akan hilang. “Kami khawatir dan takut apabila PT TMS beroperasi dengan metode open pit dan blasting itu akan menjadikan pulau ini semakin rentan,” tutur Jull.

Kekhawatiran Jull beralasan. Kepulauan itu diapit oleh Gunung Awu dan dua gunung api bawah laut yang masih aktif. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kepulauan Sangihe, wilayah pesisir itu rawan bencana banjir dan longsor.

Aktivitas tambang PT TMS dikhawatirkan akan mendorong masifnya bencana alam seperti longsor dan banjir. Terlebih karena konsesi perusahaan tersebut mencakup wilayah hutan bakau seluas 3.600 hektare serta wilayah konservasi Gunung Sahendaruman yang merupakan hutan lindung dan hulu bagi 70 sungai di tujuh kecamatan seluas 3.500 hektare.

Gunung Sahendaruman juga menjadi rumah terakhir bagi burung endemik seriwang sangihe (Eutrichomyias rowleyi) atau disebut manu’ niu oleh masyarakat lokal. Spesies ini sempat hilang selama 100 tahun sebelum muncul kembali 20 tahun lalu. Survey Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia) pada 2014 memperkirakan populasinya antara 34 hingga 119 individu di seluruh dunia.

Tak hanya manu’ niu, ada sembilan jenis burung endemik lain yang terancam jika PT Tambang Mas Sangihe beroperasi. Empat diantaranya berstatus kritis dan lima rentan. Semuanya berhabitat di hutan lindung Gunung Sahendaruman.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan, luas konsesi PT TMS sebelumnya mencapai 123.000 hektare kemudian dikurangi menjadi 42.000 hektare.

Mayoritas saham PT TMS, kata Merah, dimiliki oleh perusahaan asal Kanada bernama Sangihe Gold Corporation sebesar 70%. Tiga perusahaan Indonesia menjadi pemegang saham minoritas, yakni PT Sangihe Prima Mineral (11%), PT Sangihe Pratama Mineral (9%), dan PT Sungai Belayan Sejati (10%).

PT TMS melakukan eksplorasi di Kepulauan Sangihe sejak 1986. Era Presiden Soeharto, perusahaan ini mengantongi kontrak karya generasi VI pada 17 Maret 1997. Pada 15 September 2020, pemerintah provinsi Sulawesi Utara menerbitkan izin lingkungan.

Selama 33 tahun, PT TMS dapat mengeksploitasi diantaranya lahan seluas 4.500 hektare yang memiliki mineralisasi utama di Kampung Bawone, Binebase, Sade, dan Kupa.

“Pemerintah tidak seharusnya memaksakan operasi tambang emas di Kepulauan Sangihe. Pasalnya, daya dukung pulau kecil itu sangat terbatas,” kata Merah.

Menurut sumber daya terunjuk dari hasil eksplorasi di Binebase dan Bawone, terdapat potensi 114.700 ons emas dan 1,9 juta ons perak. Selain itu, berdasarkan hasil prospeksi, diperkirakan terdapat 105.000 ons emas dan 1,05 juta ons perak di pulau tersebut.

Dalam keterangan tertulis yang diterima Betahita, Senin, 14 Juni 2021, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara mengatakan, total luas wilayah PT TMS yang berpotensi ditambang adalah 4.500 hektare atau kurang dari 11% dari total luas wilayah kontrak karyanya.

Menanggapi masifnya penolakan dari masyarakat, kementerian tersebut akan mengevaluasi luas wilayah Kontrak Karya PT TMS.

“(Kementerian ESDM) dapat meminta PT TMS melakukan penciutan terhadap wilayah KK yang tidak digunakan/tidak prospek untuk dilakukan kegiatan pertambangan,” terang Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.

Menurut Jull, solusi penciutan luas izin konsesi menyederhanakan masalah yang dihadapi masyarakat di Kepulauan Sangihe, termasuk ancaman atas keberlanjutan penghidupan dan kelestarian ekologisnya. 

Jull mengatakan, saat ini PT TMS memang baru akan beroperasi di lahan seluas 65 hektare berdasarkan izin lingkungannya, Namun, area itu berada di area mangrove yang merupakan habitat biota laut dan vital bagi nelayan di Binebase dan Salurang.

 “Walau diciutkan, tetap saja aktivitas tambang akan berpengaruh ke seluruh pulau berapapun ukurannya,” tegas Jull.

“Intinya kami tetap tidak mau satu meter pun ada tambang yang dilakukan PT TMS di sini. Kami harapkan Menteri ESDM batalkan IUPK itu,” kata Jull.

Hal serupa dikatakan Els. Dia berkata akan terus berjuang dan ikut dalam gerakan menolak kehadiran PT TMS di pulau kelahirannya itu. Dia percaya tidak akan dapat mendapatkan penghidupan dengan bisnis tambang.

“Kami akan berjuang menolak tambang karena tambang tidak akan pernah menyejahterakan masyarakat,”