Catatan Perlawanan Kemenyan Versus PT TPL

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Kamis, 17 Juni 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Aktivitas usaha hutan tanaman eukaliptus (Eucalyptus) PT Toba Pulp Lestari (TPL) telah mengakibatkan banyak hutan alam di sejumlah kabupaten di Sumatera Utara (Sumut) terbabat. Tak terkecuali hutan kemenyan yang selama ini jadi tumpuan ekonomi masyarakat desa.

Di Desa Simataniari, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan, ratusan hektare hutan kemenyan, atau biasa juga disebut tombak haminjon oleh masyarakat Batak, terbabat dalam belasan tahun terakhir, sejak PT TPL yang dulunya bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) masuk dan menguasai hutan di desa itu. Kondisi itu berimbas pada banyak masyarakat di desanya, yang umumnya mengandalkan hidup dari kemenyan.

Pada 24 Maret 2021 lalu, Betahita berkunjung ke Dusun Pargamanan Bintang Maria, Desa Simataniari untuk melihat bagaimana masyarakat adat di sana mempertahankan wilayah adat dan hutan kemenyannya dari ekspansi penanaman eukaliptus PT TPL.

Siang itu, usai hajatan dan makan siang bersama keluarganya, Ketua Komunitas Masyarakat Adat Pargamanan Bintang Maria, Rajes Sitanggang menunjukkan beberapa batang pohon kemenyan (Styrax spp.) yang berada tak jauh dari rumahnya. Sambil mengenalkan apa itu pohon dan getah kemenyan Rajes mengungkapkan isi hatinya tentang nasib hutan kemenyan dan wilayah adat di desanya yang sudah belasan tahun terakhir digunduli dan dikuasai PT TPL.

Getah kemenyan melinang keluar dari batang pohonnya di hutan kemenyan milik Hemat Manalu, di Dusun Tor Nauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan Parmonangan, Tapanuli Utara./Foto: Betahita.id

Rajes berkata, semenjak PT TPL masuk ke desanya, berbagai masalah timbul. Salah satunya adalah menurunnya jumlah dan kualitas getah yang dihasilkan pohon kemenyan. Itu disebabkan kondisi bentang alam yang rusak akibat dikonversi untuk pembangunan kebun eukaliptus oleh PT TPL.

Perubahan bentang alam di wilayah adat, berupa penggundulan hutan alam, juga mengakibatkan kekeringan. Lantaran hutan alam yang digunduli itu menyimpan cadangan air tanah, dengan kata lain sumber air.

Walhasil, sejak PT TPL melenyapkan hektare demi hektare hutan alam di desanya, kini semakin banyak lahan pertanian masyarakat yang terpaksa menganggur karena dilanda kekeringan, termasuk lahan persawahan masyarakat. Praktis sejak itu masyarakat di Desa Simataniari mulai semakin kehilangan sumber penghidupannya.

"Bagi kami TPL ini banyaklah kendala-kendala yang kami hadapi. Termasuklah itu kekeringan, air enggak ada sudah kering lagi sawah kami tidak lagi bisa kami kerjakan jadi sawah. Kemenyan kami hilang, getahnya pun enggak ada. Itulah semenjak masuk TPL," ujar Rajes Sitanggang.

Karena ladang dan persawahan sudah sulit memberi hasil, kemenyan kini menjadi tumpuan utama pendapatan sebagian besar masyarakat adat di desanya. Menurut Rajes, walaupun hanya mengandalkan kemenyan, masyarakat di desanya saat ini masih bisa memberikan anak-anak mereka pendidikan yang cukup. Rajes mengaku masih bisa mendapatkan belasan juta rupiah hanya dari satu kali masa panen.

"Kemarin (panen sebelumnya) dapatlah beberapa belas juta. Bisalah kalau untuk menyekolahkan anak."

Perolehan rupiah dari hasil panen kemenyan itu sendiri bergantung pada beberapa hal. Yakni jumlah batang pohon kemenyan yang disadap, kualitas getah kemenyan dan harga getah kemenyan.

Dijelaskannya, masing-masing keluarga di desanya biasanya melakukan panen secara massal (dalam jumlah banyak sekaligus) hanya satu kali dalam satu tahun, paling banyak dua kali. Panen massal tersebut umumnya dilakukan pada pertengahan hingga akhir tahun. Jumlah batang pohon yang disadap atau dikerjakan (dilakukannya proses-proses hingga getah kemenyan keluar) bergantung pada kemampuan masing-masing keluarga.

"Rata-rata (warga) di sini punya ribuan pohon. Tapi untuk yang dipanen, tergantung kemampuan masing-masing keluarga. Dan juga tergantung kebutuhan (rupiah). Kalau pas sedang membutuhkan uang banyak, ya yang dikerjakan juga banyak. Saya terakhir panen (besar) itu November tahun kemarin (2020), dapat 80 Kilogram."

Namun selain panen massal, lanjut Rajes, hampir setiap hari ada warga yang pergi ke tombak haminjonnya untuk merawat hutan kemenyan sekaligus mengambil getah kemenyan dari pohon-pohon yang sudah dikerjakan. Meski tidak banyak, tapi cukup lumayan bila dikumpulkan dan dikonversi menjadi rupiah untuk kebutuhan sehari-hari.

"Tapi saat kita mengerjakan, (termasuk merawat) pohon-pohon kemenyan itukan ada getah yang keluar, itu kita ambil walaupun tidak terlalu banyak. Lumayanlah."

Sama halnya seperti menyadap karet, Rajes Bilang, pemanenan getah kemenyan juga membutuhkan waktu. Sejak mulai dikerjakan (dilakukan perlakuan agar getah keluar) hingga getah bisa dipanen, rata-rata membutuhkan waktu 2 bulan.

Dulu, masih kata Rajes, sebelum bentangan hutan alam di desanya dirusak dan dikonversi untuk perkebunan eukaliptus oleh PT TPL, tiap pohon kemenyan mampu menghasilkan 3 kilogram dalam sekali sadap. Namun sekarang getah kemenyan yang keluar dari tiap pohon jauh menyusut, hanya sekitar 1 ons saja.

Berdasarkan pengalaman, lanjut Rajes, tanaman kemenyan di desanya sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Apabla ekosistem sekitar hutan kemenyan rusak hingga menyebabkan perubahan besar pada lingkungan, tanaman kemenyan seolah akan mengalami depresi. Akibatnya getah yang keluar dari tanaman kemenyan menjadi sedikit dan kualitasnya juga menurun.

"Kalau pohon-pohon besar di sekitarnya ditebangi, pasti getahnya jadi jelek, warnanya jadi hitam. Kalau kita jual harganya rendah. Harga getah kemenyan di sini biasanya Rp210 ribu per kilogram. Tapi tergantung kualiatasnya juga, ada yang sampai Rp300 ribu."

Ancaman terhadap hutan kemenyan dan himpitan kondisi sulit yang melanda ini pula yang menjadi salah satu alasan Komunitas Masyarakat Adat Pargamanan Bintang Maria, yang tinggal di Dusun Pargamanan Bintang Maria, sangat berkeras melawan ekspansi PT TPL. Rajes mengatakan, komunitas adatnya sangat berharap wilayah dan hutan adat di desanya bisa segera mendapat pengakuan dan perlindunga secara legal dari negara. Agar hutan kemenyan dan hutan alam di desanya bisa dipertahankan.

Wilayah adat Pargamanan-Bintang Maria, lanjut Rajes, luasnya sekitar 1.787,20 hektare. Yang terdiri dari perkampungan, areal persawahan dan ladang, serta hutan kemenyan. Namun saat ini sekitar 300 hektare di antaranya sudah terbabat dan tergarap oleh PT TPL.

Itu terjadi pada sekitar 2003 silam. Tak terhitung berapa batang pohon kemenyan yang hilang akibat ulah PT TPL tersebut. Puncaknya pada 2008, masyarakat mulai menunjukkan perlawanan.

Perlawanan Komunitas Masyarakat Adat Pargamanan Bintang Maria ini tidaklah mudah tentu saja. Karena PT TPL melakukan kemitraan bersama masyarakat, dengan membentuk komunitas tandingan melalui pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH). KTH dimaksud bernama Marsada Pargamanan Bintang Maria.

KTH tersebut diduga kuat adalah bentukan PT TPL dengan merekrut beberapa anggota Komunitas Masyarakat Adat Pargamanan Bintang Maria dengan memberikan modal pertanian. Hal ini menimbulkan konflik horizontal di Dusun Pargamanan Bintang Maria. Namun begitu puluhan anggota Komunitas Masyarakat adat Pargamanan Bintang Maria masih berjuang mempertahankan wilayah adatnya.

Nilai Sakral Kemenyan

Itu cerita hutan kemenyan dan perlawanan Komunitas Masyarakat Adat Pargamanan Bintang Maria. Namun sebetulnya ada puluhan komunitas masyarakat adat lainnya yang juga mempertahankan hutan kemenyannya dari ekspansi penanaman eukaliptus PT TPL. Seperti Komunitas Masyarakat Adat Huta Tor Nauli, di Tapanuli Utara.

Masyarakat adat yang tinggal di Dusun Tor Nauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan Parmonanangan itu, selama 5 tahun terakhir melakukan perlawanan kepada TPL, dengan maksud untuk mengambil kembali wilayah adatnya yang digunakan perusahaan pulp itu untuk kebun eukaliptus.

Sama seperti di Simataniari, di Tor Nauli PT TPL juga membabati hutan kemenyan milik masyarakat. Bahkan ketika Betahita mengunjungi dusun tersebut pada 26 Maret 2021, nyaris tak ada hutan alam tersisa di daerah itu. Dusun Tor Nauli yang dihuni sekitar 60 kepala keluarga (KK) itu hampir seluruhnya dikelilingi hutan eukaliptus, sisanya hamparan semak dan sedikit hutan kemenyan yang ada di perbukitan.

Bunyi senandung siulan bergema di sebuah bukit di belakang rumah Hemat Manalu, selebihnya sunyi. Ya bunyi-bunyian itu datang dari si empunya rumah. Di cuaca yang cerah itu, Hemat Manalu sedang melakukan ritual adat, marhottas sebutannya, sambil membersihkan salah satu batang pohon kemenyan miliknya.

Hemat bilang, tiap batang pohon kemenyan harus diperlakukan dengan baik, bak memperlakukan anak gadis yang senang dipuja-puji dengan nyanyian. Perlakuan itu sudah karib dilakukan para petani kemenyan, termasuk di dusun tempatnya tinggal.

Tak hanya disenandungi, menurut Hemat, batang pohon kemenyan juga harus dibersihkan dari segala lumut apalagi benalu yang menempel di batangnya. Perlakuan-perlakuan khusus itu ditujukan agar si pohon merasa terhibur karena sudah diperlakukan dengan baik, sehingga bersedia memberikan getah kemenyan yang banyak dan bagus.

"Dan orang yang mengerjakan kemenyan juga enggak boleh memakai pakaian yang bagus. Harus memakai pakaian yang sewajarnya, sewajar seorang petani bekerja. Kalau kita memakai pakaian bagus, akan dianggap sombong. Jadi harus begini mengerjakan kemenyan itu," ujar Hemat Manalu.

Apa yang dilakukan Hemat itu berhubungan dengan kepercayaan lokal, bahwa kemenyan yang tumbuh di desanya tersebut menyimpan kehidupan Boru Toba. Sosok perempuan yang sejak ratusan tahun lalu diyakini yang pertama kali memperkenalkan kemenyan kepada masyarakat.

"Yang diceritakan nenek, jaman dahulu ada keluarga, yang salah satu anggota keluarganya terkena kusta, perempuan. Akibatnya dia diasingkan ke hutan. Beberapa tahun kemudian, dia itu kembali keluarganya dalam keadaan sembuh."

"Dia bilang, saat masih di hutan dia melihat ada getah yang keluar dari pohon. Lalu diambilnya getah itu, kemudian dimakanlah dan berharap sakitnya bisa jadi sembuh. Ternyata sakitnya sembuh. Setelah itu dia kembali ke hutan yang ada kemenyannya. Dari itu kemenyan kemudian menjadi banyak ditanam. Dipercaya sebagai obat. Dipercaya kemenyan sebagai perempuan. Kemenyan Boru Toba namanya," ujar Hemat di suatu kesempatan lain.

Setelah selesai melakukan ritual dan membersihkan batang pohon kemenyan, Hemat Manalu kemudian mempraktikkan cara mengerjakan kemenyan. Di salah satu bagian batang pohon yang masih belum ada luka, Hemat mengiriskan pisaunya pada kulit pohon. Kemudian dibuatnya celah antara kulit dan kayu pohon, tanpa mengupas atau membuang kulit pohon.

Setelahnya, celah tersebut ditutup kembali. Pada bagian pohon yang dilukai itu, Hemat kemudian memberikan pukulan-pukulan ringan dengan alat yang ia bawa. Hemat bilang, bagian batang yang ia kerjakan tadi perlu dipukul-pukul ringan agar getah kemenyan keluar.

"Begitu caranya, nanti getahnya keluar di luka tadi kemudian akan mengering. 2 bulan kemudian sudah bisa diambil," kata Hemat.

Keseluruhan proses tersebut Hemat ulangi lagi di bagian batang lain yang belum ada lukanya. Begitu pula juga pada batang pohon kemenyannya yang lain. Menurut Hemat, tidak sembarang pohon kemenyan bisa dikerjakan atau disadap getahnya. Kalau salah memilih pohon, maka getah yang keluar kualitasnya akan jelek.

"Dilihat dari daunnya. Musim daun biasanya tepat untuk memanen, biasanya itu terjadi pada bulan 7 (Juli). Kalau daunnya hijau tua, itu yang banyak getahnya, itulah yang dipanen."

Setelah selesai mengerjakan beberapa pohon, Hemat Manalu kemudian mengambil waktu untuk beristrahat. Pondok kecil sederhana yang ada di bukit tersebut jadi tempat Hemat dan kedua anaknya berisitirahat siang.

Kemenyan Lebih Menjanjikan Ketimbang TPL

Sambil beristirahat, Hemat kemudian menceritakan bagaimana dulu sebelum PT TPL datang, masyarakat di Tor Nauli hidup dengan berkecukupan. Hampir semua warga memiliki hutan kemenyan dan mendapatkan penghasilan darinya.

Dulu bukan hanya kemenyan, masyarakat di Tor Nauli masih bisa mendapat penghasilan dari bercocok tanam kopi, sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman pangan lainnya. Tapi kini akibat lahan yang sudah banyak diambil PT TPL, ragam cocok tanam itu hanya menjadi sebuah penghias pekarangan rumah saja.

Kini jangankan lahan untuk ragam cocok tanam, hutan kemenyan yang jadi andalan utama mata pencaharian pun sudah mulai langka. Hanya tersisa beberapa bukit saja yang masih ditumbuhi kemenyan. Itupun milik beberapa keluarga saja. Kondisi tersebut membuat sebagian warga memilih pergi dari dusun atau desa ke tempat lain. Sebab tidak ada banyak pilihan berusaha.

"Di dusun ini sekarang hanya ada sekitar 45 KK. Banyak yang pergi karena sudah tidak ada lahan dan hutan kemenyan yang bisa dikerjakan. Tapi ada juga yang memilih kerja dengan PT TPL sebagai buruh harian lepas. Upahnya juga tidak seberapa, kalau enggak salah sehari cuma Rp80 ribu."

Banyak juga warga yang walau tidak memiliki hutan kemenyan sendiri namun tetap tidak mau bekerja dengan PT TPL. Warga-warga yang merupakan para tetangganya itu kemudian memilih mengerjakan hutan kemeyan milik Hemat Manalu. Mereka membantu Hemat mengerjakan atau memanen kemenyannya.

Menurut Hemat, hampir setiap hari ada tetangganya yang memanenkan getah kemenyan di tombaknya (hutan/kebun). Getah-getah yang dipanen oleh para tetangganya tersebut kemudian akan serahkan ke Hemat Manalu, dengan upah atau bayaran sebesar Rp100 ribu per kilogramnya. Selain memberi balas jasa dengan uang, Hemat juga memberi sebagian getah kemenyan yang dipanen warga untuk dibawa pulang. Walaupun pada akhirnya getah yang diberikan tersebut dijual kembali kepada Hemat dengan harga yang sama dengan nilai balas jasa pemanenan kemenyan.

"Begitulah kemudian, warga-warga yang tidak mau bekerja dengan PT TPL akhirnya ada yang bekerja sama saya. Hampir setiap hari ada aja yang datang antar kemenyan ke saya. Lumayanlah untuk belanja sehari-hari. Jadi yang istri kerja di ladang, yang suami kerjakan kemenyan."

Hemat mengungkapkan, dirinya saat ini memilik kurang lebih 20 hektare hutan kemenyan. Namun tidak seluruhnya mampu dikerjakan. Karena keterbatasan tenaga. Pada panen massal tahun lalu, hanya 10 hektarenya saja yang dikerjakan dan dipanen. Getah kemenyan yang dihasilkan dari hutan kemenyannya seluas 10 hektare yang dikerjakan itu sebanyak sekitar 400 kilogram.

"Ada mungkin 4.000 pohon yang dipanen tahun kemarin itu. Dapatnya 400 kilogram. Kalau dijual ke kota harganya per kilonya sekitar Rp300 ribu. Tetangga yang membantu bahkan bisa bawa pulang belasan juta kemarin."

Hemat Manalu yang sudah bergelut dengan hutan kemenyan sejak kecil mengakui, hanya dengan mengandalkan kemenyan saja tiap warga sebenarnya akan cukup mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Paling sedikit per bulannya, warga yang bekerja bersamanya bisa mendapat Rp2 juta, hanya dari mengerjakan kemenyan.

Hemat juga mengaku iseng menanami pekarangan rumahnya dengan eukaliptus, itupun bibitnya berasal dari pihak perusahaan. Hanya sekedar untuk membandingkan mana yang lebih banyak menghasilkan rupiah antara eukaliptus dan kemenyan. Karena yang ia tahu, PT TPL hanya menghargai kayu eukaliptus senilai Rp80 ribu per tonnya.

Kemenyan Warisan Leluhur

Pada sebuah diskusi virtual yang digelar Yayasan Auriga Nusantara, Selasa (15/5/2021) kemarin, bertajuk Menilik Kembali (Pengelolaan Hutan) Nusantara: Refleksi dan Diskusi Film Ringkas Kemenyan Tapanuli, Hemat Manalu hadir memberikan kesaksiannya soal kemenyan. Kebetulan dalam film ringkas tersebut, Hemat Manalu menjadi tokoh utama yang mengisahkan bagaimana hutan kemenyan dipertahankan dari ekspansi PT TPL.

Dalam diskusi tersebut Hemat mengatakan, hutan kemenyan sudah ada di dusunnya sejak dulu. Setidaknya pada 1820, masyarakat adat di dusun tersebut sudah menanam dan mengerjakan pohon kemenyan. Keberadaan hutan kemenyan di Tor Nauli ini diwariskan secara turun temurun.

"Turun temurun sampai sekarang keturunan ke-18. Setelah ada PT TPL tahun 1998, ditanamlah eukaliptus. Saat itu masih banyak kemenyan dan dilakukan pembabatan, semakin berkuranglah lahan kemenyan. Kami sangat dirugikan dan banyak dampak. Seperti persawahan tidak bagus lagi, karena sumber air berkurang, dan tanahnya kering. Satwa-satwa masuk ke hutan kemenyan. Seperti kera dan babi hutan," ujar Hemat.

Dulunya hutan alam di dusunnya masih sangat bagus, terawat dan ditanami kemenyan. Semua warga mempunyai hutan kemenyan, tapi masuknya PT TPL menjadikan banyak kepala keluarga kehilangan hutan kemenyan. Hemat berharap hutan adat di dusunnya diberikan pengakuan. Karena pengakuan itu akan melindungi hutan kemenyan.

Selain menyusutnya hutan kemenyan. Kehadiran PT TPL di desanya juga mengakibatkan krisis air bersih. Selain karena hutan alam yang yang menyediakan pasokan air sudah hilang, penggunaan pupuk pada tanaman eukaliptus juga telah membuat air tanah yang ada di desanya tercemar zat kimia berbahaya. Sehingga air di desanya tidak bisa sembarangan digunakan untuk kebutuhan minum dan masak.

"Wilayah adat di Tor Nauli itu seluas 1350 hektare. Termasuk persawahan, kampung, kemenyan dan ladang. Bahkan dulu tiap kali ingin mengambil kayu, ada adatnya, tidak ditebang tapi dikupas kulitnya agar mati perlahan."

Selama 5 tahun belakangan, lanjut Hemat, Masyarakat Adat Huta Tor Nauli terlibat bentrok dengan PT TPL. Bentrok itu terjadi karena masayrakat adat tidak ingin lagi tanahnya ditanami eukaliptus. Sebab, menurut Hemat, sejak dahulu sampai sekarang tidak pernah ada penyerahan lahan yang dilakukan oleh masyarakat kepada PT TPL, termasuk oleh pendahulunya.

Tapi TPL yang merasa sudah mendapatkan izin dari pemerintah tetap memaksa untuk melakukan penanaman di wilayah adat."

Selama melakukan perlawanan kepada PT TPL, 5 tahun belakangan, Masyarakat Adat Tor Nauli mengalami intimidasi dan tekanan dari pihak PT TPL, termasuk upaya kriminalisasi. Apalagi aparat hukum dan keamanan juga selalu memberikan pengamanan kepada pihak perusahaan.

Hemat bilang, perlawanan yang dilakukan masyarakat adat di Tor Nauli sejauh ini masih terbilang normal dan tidak melewati batas-batas hukum. Sepetti enghentian aktivitas kerja TPL dan juga penghentian atau pemblokiran akses jalan kendaraan TPL di dalam wilayah adat.

Heman menceritakan, dalam suatu kejadian PT TPL mengerahkan ribuan karyawan untuk menghentikan upaya pemblokiran jalan yang dilakukan masyarakat. Kala itu masyarakat terpaksa mengalah, karena jumlah masyarakat Tor Nauli, bahkan bila seluruhnya dikerahkan hanya berjumlah sekitar 200 orang, jumlah itupun sudah termasuk anak-anak. Apalagi pihak TPL hampir selalu didampingi oleh petugas kepolisian saat menghadapi aksi masyarakat.

Pemerintah Tidak Terlalu Peduli dengan Kemenyan

Dalam diskusi vitrual tersebut, Direktur Kelompok Studi Prakarsa Pengembangan Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi menyebutkan, luas hutan kemenyan alam saat ini semakin berkurang, terutama sejak PT TPL saat masih bernama PT Inti Indorayon Utama beroperasi. Bahkan baru-baru ini dirinya mendapat laporan yang menyebut PT TPL satu pekan yang lalu melakukan pembukaan lahan baru, untuk penanaman eukaliptus di Desa Simataniari. Pembukaan lahan mengakibatkan hutan alam dan kemenyan di desa itu lagi-lagi terbabat.

Delima mengatakan, berdasarkan data luas, produksi dan jumlah petani kemenyan dari Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, pada 2019 luas hutan kemenyan di Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan dan Toba, totalnya hanya 21.624 hektare. Dengan produksi getah yang dihasilkan sebesar 7.751 ton. Sedangkan jumlah keluarga petani kemenyan sebanyak 39.969 kepala keluarga.

Di kesempatan sama, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak, Roganda Simanjuntak mengatakan, pemerintah sampai saat ini belum benar-benar serius dan peduli dengan kemenyan. Termasuk soal kuantifikasi luas lahan kemenyan. Karena luas lahan kemenyan yang ada di Sumatera Utara seharusnya lebih luas dari data luasan yang dikeluarkan pemerintah.

"Kalau data yang tersebar oleh BPS kan angkanya sampai 22 ribu hektare, tidak tahu bagaimana cara menghitungnya bisa sampai 22 ribu itu. Padahal luas hutan kemenyan di Siputuhuta saja sudah 4 ribu hektare, itu dari satu kampung saja," kata Roganda

Menurut Roganda, keberadaan hutan kemenyan di Sumatera Utara itu secara kewilayahan tidaklah terputus, terbentang mulai dari Kabupaten Toba, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan hingga ke Pakpak Barat. Berdasarkan perhitungan AMAN Tano Batak luas areal hutan kemenyan di Sumatera Utara setidaknya sebesar 150 ribu hektare.

Roganda curiga, seandainya pemerintah melakukan kuantifikasi luas tanaman kemenyan dengan benar kemudian dapat mendorong dan memberikan dukungan kepada petani untuk meningkatkan produksi kemenyan, bisa jadi dampak ekonomi dari komoditas kemenyan bagi masyarakat maupun daerah, malah lebih besar dibandingkan dampak ekonomi yang didapat dari komoditas eukaliptus.