Konflik Lahan, Masyarakat Adat di Jambi Protes Grup Asian Agri

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Jumat, 25 Juni 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Masyarakat Desa Tanjung Paku, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, menggelar aksi protes terhadap perkebunan kelapa sawit PT Inti Indosawit Subur. Perusahaan tersebut merupakan bagian dari grup Asian Agri. 

Aksi yang digelar pada Rabu, 23 Juni 2021 tersebut, menuntut PT Inti Indosawit Subur, untuk mengembalikan lahan seluas 107,7 hektare yang masuk dalam izin konsesi perusahaan. Berbagai poster berisi tuntutan seperti “Asian Agri Merampas Hak Kami”, “PT IIS Segera Kembalikan Lahan Masyarakat Tanjung Paku”, dan “Asian Agri Merampas Hak  Masyarakat Desa Tanjung Paku”.

Menurut Walhi Jambi, PT Inti Indosawit Subur memperoleh izin konsesi seluas 1.550 hektare pada 1987 lewat skema penyerahan lahan dan hutan adat, termasuk lahan milik masyarakat desa Tanjung Paku. Namun masyarakat tidak merasakan perubahan ekonomi. 

“Kasus ini membuka mata kita semua bahwa sampai saat ini kebijakan pembangunan industri perkebunan kelapa sawit masih dalam situasi yang tidak berkeadilan,” kata Walhi Jambi dalam keterangan yang diterima Betahita, Kamis, 24 Juni 2021. 

Salah satu masyarakat desa Tanjung Paku, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, memegang spanduk protes terhadap grup Asian Agri, Rabu, 23 Juni 2021. Foto: Istimewa

“Penyerahan lahan dan hutan adat seluas 1.550 hektare dengan harapan dapat menyejahterakan, tinggal mimpi dan cerita belaka. Situasi ini terjadi sejak awal berdirinya perusahaan,” jelas Walhi Jambi.  

Berdasarkan sejarah penguasaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tanjung Paku, tanah yang dipersoalkan diklaim sebagai lahan berladang masyarakat sejak 1947. Warga mengklaim hal itu dibuktikan dengan adanya surat tertulis pengakuan tanah adat oleh tokoh-tokoh masyarakat Desa Tanjung Paku.

Walhi Jambi mengatakan, konflik antara warga desa Tanjung Paku dan perusahaan telah berlangsung sejak 1998. Akibatnya tak hanya konflik antara masyarakat dan perusahaan. Masyarakat mengaku rugi karena kehilangan ruang produktif untuk mengolah lahan dan kebutuhan hidup.

Menurut Walhi, kini masyarakat meminta pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi untuk turun tangan menyelesaikan konflik. 

“Posisi pemerintah sangat penting dalam upaya penyelesaian konflik ini. Kami juga berharap ada keterbukaan informasi perizinan dan administrasi,” terang Walhi Jambi.