SOSOK: Deni yang Tersesat di Jalan Komodo
Penulis : Tim Betahita
Sosok
Senin, 28 Juni 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Namanya, Deni Purwandana. Lelaki ini lahir dan besar di Sukabumi. Beranjak dewasa ia lalu merantau kuliah ke Pulau Dewata.
Sebelum 14 Maret 2001, Deni tak pernah punya gambaran atau imajinasi soal hamparan sabana dan gugusan pulau -pemandangan yang kemudian memikat bahkan tertancap hingga kini di pikiran bawah sadarnya. Ya, pemandangan menakjubkan itu hadir menjelma di hadapannya, saat pertama kali menjejak kaki ke Taman Nasional Pulau Komodo.
"Itu sebuah momen yang tak bisa dilupakan," kata Deni yang kini menjadi Koordinator Program Komodo Survival Program (KSP), mengenang getaran rasa, belasan tahun lalu itu. “Indonesia ternyata tak melulu pohon hijau atau hutan belantara. Ternyata ada pemandangan alam lain, hamparan sabana dan gugusan pulau,” katanya.
Deni menjadi peneliti lapangan komodo di TN Komodo, setelah menamatkan pendidikan jenjang sarjana di Universitas Udayana. Ia langsung menerima tawaran dari seorang dosen yang menawarinya. Ia menyambut tawaran tersebut, lantaran tak mungkin ada kesempatan atau tawaran kedua kalinya. Meski ia minim informasi dan keterampilan mengendalikan satwa yang selama ini hanya dilihat di buku dan video.
“Jujur saya penakut. Saat pertama kali melihat komodo, wah saya salah ambil jurusan ini,” ujarnya sambil terkekeh. Ia tak nyangka bakal berkutat dengan komodo selama 20 tahun.
Kini, Flores menjadi rumah kedua baginya. Jika dalam setahun tak ke Flores, katanya, seolah ada yang hilang. Sementara kantor KSP berada di Denpasar, sedangkan anak dan istri tinggal di Kota Malang.
“Saya tersesat di jalan komodo. Tersesat di jalan yang benar,” kata Deni.
Saat masih bujangan, Deni bahkan bertahan bisa tinggal selama 2,5 bulan di hutan. Beraktivitas meneliti dan mengamati komodo di habitatnya. Tak terpikirkan untuk pulang menjenguk keluarga di rumah. Namun, setelah menikah ia bergegas pulang jika mendengar anak tunggal berusia sekitar 10 tahun tengah sakit. “Jalani saja. Itu pilihan. Saya tetap bertahan,” katanya.
Selama keluarga paham kesibukan dan aktivitasnya, katanya, tak masalah. Apalagi dengan kemanjuan teknologi, bisa berkomunikasi secara baik dengan anak dan istri. Sehingga saat pulang, ia selalu memberikan perhatian ekstra bagi putri tunggalnya. “Quality time,” ujar Deni.
Deni mendapat Arnold Berliner Award 2017 atas dedikasinya meneliti komodo. Ia mengaku karya publikasi ilmiah tersebut tak ditulis seorang diri namun dikerjakan semua bersama tim KSP. “Saya first author sehingga penghargaan disampaikan ke saya,” katanya.
Hampir semua paper, kata Deni, tak ada yang bisa dikerjakan sendiri. Penghargaan diberikan mengapresiasi penelitiannya dan dinilai tulisannya berbobot dan original. Selain itu juga , berdampak untuk ilmu pengetahuan. Memberi khasanah yang luar biasa bagi pengetahuan.
Tema penelitian tersebut membandingkan kelas umur dengan ukuran komodo. Data tersebut, katanya, berasal dari penelitian yang dilakukan sejak 2001. Semua data terekaman dan terdata secara rapi. Sedangkan laporan ilmiah memaksimalkan data apapun yang diperoleh di lapangan. Setelah data diperoleh, lantas diolah. “Satu kali ke lapangan bisa menghasilkan dua sampai tiga paper,” ujarnya.
Tenamatan pasca sarjana jurusan Zoologi Universitas Kebangsaan Malaysia ini mengaku menikmati bekerja sebagai peneliti di lapangan. Meski kini sudah menginjak 40 tahun, Deni tetap memikul kandang perangkap di lapangan. Berat, katanya, namun ia menikmati. Bahkan untuk aktivitas di alam harus bangun pukul 03.00 WIB memulai dengan menyeduh dan menikmati kopi.
Setelah subuh, ia bersiap dan menata bekal untuk menjalankan aktivitas. Berjalan dengan cuaca bagaimanapun, tetap dilakoni sebagai bagian rutinitas kerja. “Passion saya di lapangan. Saya menikmati seberat apapun itu,” katanya.
Deni mengakui jika tak selincah dulu. Saat masih muda berumur antara 20 sampai 30 tahun, ia bertiga bisa memproses seekor komodo seberat 60 kilogram. Mereka menangkap tanpa perangkap. Tim bekerja secara terencana, jika seorang memagang ekor seorang lain duduk di pinggul yang terahir memegang kepala. Posisi ini yang paling krusial, tenaga harus kuat.
“Mulut komodo meruapakan senjata paling berbahaya. Gigi tajam, mengandung kuman,’ katanya. Mereka memulai dari nol, semua belajar bersama untuk menangkap dan menandai komodo. Setelah setahun, mereka mengetahui cara dan memiliki insting bagaimana langkah menangkap individu komodo.
“Was-was kalau proses komodo dewasa. Sementara saya tak muda lagi.” Dalam satu tim yang terdiri atas lima orang, saat itu mereka bisa menangkap seekor komodo seberat 60 kilogram sampai 80 kilogram. Selama tiga ribu kali menangkap komodo, katanya, tak pernah ada kejadian yang fatal. Seperti tergigit komodo.
“Bisa dikatakan zero accident,” kata Deni. Dalam berburu di alam, komodo merupakan salah satu predator yang piawai berkamuflase. Bisa berkamuflase menyerupai pohon roboh, atau saat musim hujan terlihat menyerupai tanah untuk kamuflase satwa buruannya. Komodo mengendap diam di jalur satwa buruannya melintas.
“Bagi saya yang pertama kali ke sana, komodo memiliki teknik penyamaparan sempurna. Saya yang baru kali datang, kaget,” katanya.
Dibutuhkan tim yang solid, kata Deni, semua tak bisa dikerjakan seorang sendiri. Kini, ia menghitung betul untuk menangkap dan menandai komodo. Menangkap komodo aman, katanya, asal sesuai dengan standard operating procedure (SOP).
Surat #SaveKomodo di Tangan Unesco
** Tulisan ini merupakan kontribusi dari Eko Widianto, Jurnalis asal Malang yang aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan dan SIEJ (Society of Indonesian Environmental Journalist) untuk betahita.id