Mencairnya Benteng Es Terakhir di Kutub Utara

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Senin, 05 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -   The Last Ice Area di Kutub Utara disebut para ilmuwan sebagai benteng pertahanan terakhir es di Arktika. Area super dingin ini, membentang lebih dari 2.000 kilometer, di pantai utara Greenland hingga ke bagian barat Kepulauan Arktika, Kanada.

Studir sebelumnya memprediksi Es laut di sana dianggap cukup tebal untuk bertahan melewati suhu hangat di musim panas belahan utara. Bahkan, es laut yang biasanya berusia lebih dari lima tahun membeku, bisa memiliki ketebalan sekitar empat meter.

Namun kenyataan berbeda untuk zona beku ini. Studi terbaru dari Communications Earth & Environment pada awal Juli ini memperkirakan tempat itu lebih rentan terhadap perubahan iklim. Pencairan es yang terjadi selama musim panas lebih cepat dari yang diperkirakan ilmuwan sebelumnya, yakni sebesar 50 persen lebih di wilayah Laut Wandel atau di bagian timur arktika.

Laporan menyebutkan kondisi cuaca berperan mendorong penurunan itu. Akan tetapi, perubahan iklim menipiskan es secara bertahap dari tahun ke tahun. Tandanya, menurut para ilmuwan, pemanasan global dapat mengancam kawasan lebih dari sekedar yang diprediksikan dari model perubahan iklim sebelumnya.

Imaji dari program Copernicus soal pemanasan yang terjadi di wilayah sekitar Kutub Utara. (European Union, Copernicus Sentinel-3 imagery)

Cairnya wilayah lain kutub utara dapat menimbulkan masalah bagi hewan yang bergantung pada es laut untuk berkembang biak, berburu, dan mencari makan.

“[Tempat ini] telah dianggap sebagai tempat perlindungan bagi spesies yang bergantung pada es di masa depan yang minim es di Arktik,” kata Kristin Laidre dikutip dari nationalgeographic.

“Jika, seperti yang ditunjukkan oleh makalah itu, area berubah lebih cepat dari yang diperkirakan, itu sekarang mungkin bukan tempat perlindungan yang selama ini kita andalkan.”

Dalam puluhan tahun terakhir, arus laut dianggap telah memperkuat lapisan es di kawasan The Last Ice Area dengan bongkahan es laut yang mengambang.

Axel Schweiger, ketua penelitian terbaru itu mengatakan hasil kajiannya bersama tim berkata lain. Mereka menemukan bahwa pada tahun 2020, angin utara yang membawa bongkahan es menjauh dari Greenland. Sehingga menciptakan bentangan perairan terbuka yang dapat dihangatkan oleh matahari.

Lalu, air dengan suhu hangat menyebar lewat bagian bawah es laut untuk mendorong pencairan lebih banyak lagi.

Sebenarnya para ilmuwan pertama kali menduga ada sesuatu yang tidak beres di Last Ice Area pada tahun 2018, ketika polynya–hamparan perairan kutub terbuka yang dikelilingi es, muncul pada Februari.

Schweiger dan tim melihat anomali es laut seperti itu di Laut Wandel saat mengumpulkan data penelitian untuk Observatory for the Study of Arctic Climate (MOSAiC) pada 2019 hingga 2020.

Saat ia mencari perkiraan di mana kapal penelitian bisa lewat, dia dan tim memperhatikan bahwa kapal itu mengambil jalur yang sepertinya aneh. Jalur itu melewati kawasan yang biasanya tertutup es tebal.

“Kami mulai bertanya-tanya apa yang terjadi dan mengapa, dan apakah itu berpotensi terkait dengan apa yang kami lihat di acara 2018,” kata Schweiger.

Lantas pengamatan satelit dan model iklim dilakukan, dan menemukan angin bergerak ke utara yang tidak biasa memecah es laut, serta mendorongnya menjauh dari Laut Wandel.

Faktanya, Schweiger mamparkan, lapisan es laut terendah pada tahun 2020 akan lebih rendah lagi jika bukan karena es tebal yang mengapung ke daerah itu selama musim dingin tahun itu.

Hilangnya lapisan es ini tidak mungkin terjadi jika perubahan iklim belum terjadi di Last Ice Area. Nyatanya, sekitar 20% dari kejadian hilangnya lapisan es pada 2020 terjadi akibat perubahan iklim. Sedangkan 80% sisanya berhubungan dengan anomali angin dan arus laut, tulis tim dalam laporan.

Proyeksi iklim melaporkan bahwa es laut di musim panas akan meleleh di Kutub Utara kecuali benteng terakhir es itu. Daerah itu diprediksikan akan lenyap sepenuhnya sesegera mungkin pada tahun 2040, terang para ilmuwan sebelumnya.

Tetapi laporan ilmiah terbaru belum memastikan kapan atau apakah kawasan ini bisa mencair sepenuhnya, dan bagaimana tren pencairannya bisa dipercepat beserta perkiraannya yang terbaru.

“Mengingat hasil kami, kami berharap untuk melihat kawasan besar perairan terbuka di daerah ini lebih sering,” sambung Laidre.

Hal yang penting untuk dikembangkan dalam penelitian ke depan adalah bagaimana hal itu mempengaruhi satwa liar laut. Sebab hal itu juga sulit diprediksi, ujarnya.