Perkara Dugaan Monopoli Usaha Tambang Pasir Laut Sulsel Terhenti

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Rabu, 14 Juli 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutuskan menghentikan penanganan laporan dugaan monopoli usaha pada proyek tambang pasir laut di perairan Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Alasannya laporan yang disampaikan oleh Koalisi Selamatkan Laut Indonesia (KSLI) tidak cukup alat bukti. Hal ini tentu saja mengecewakan. Karena KSLI, sebagai pelapor, sudah menyerahkan alat bukti yang kuat dalam laporannya kepada KPPU.

Dalam konferensi pers virtual yang digelar Jumat pekan lalu, Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Edy Kurniawan mengatakan, pihaknya telah menyerahkan laporan dugaan monopoli usaha terkait proyek penambangan pasir di perairan Kecamatan Sangkarrang, Makassar kepada KPPU sejak September 2020 lalu. Pihaknya melaporkan adanya rangkap jabatan satu orang yang menjabat di dua perusahaan berbeda, dalam sektor yang sama.

Dalam penyampaian laporan ke KPPU tersebut pihaknya juga melampirkan sejumlah bukti-bukti permulaan. Satu di antaranya, dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU) dua perusahaan dari Kementerian Hukum dan HAM, yang menunjukkan adanya dua nama orang yang memegang jabatan penting di dalam dua perusahaan berbeda.

Edy menjelaskan, seluruh syarat laporan ke KPPU itu telah pihaknya penuhi sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kurang lebih 4 bulan setelah laporan tersebut dilayangkan, pada Januari 2021 pihaknya menerima undangan klarifikasi untuk memperjelas materi-materi yang pihaknya adukan ke KPPU.

Puluhan nelayan Kodingareng melakukan aksi demonstrasi di lokasi penambangan pasir laut yang dilakukan Kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis./Foto: Koalisi Save Spermonde

Setelah melakukan klarifikasi, lanjut Edy, terdapat dua kali panggilan pemeriksaan lagi, namun menurutnya semua dokumen, data dan bukti-bukti yang pihaknya serahkan sudah cukup. Pihaknya juga sudah berkali-kali menanyakan kejelasan perkembangan penanganan laporan kepada pihak KPPU.

"Sudah sampai di tahap mana. Apakah masih di tahap klarifikasi? Apakah penyelidikan atau pemeriksaan pendahuluan atau sudah sampai pemeriksaan lanjutan? Itu yang tidak pernah kita tahu dari KPPU," ujar Edy.

KPPU Dinilai Tidak Taat Aturannya Sendiri

Sayangnya, upaya Koalisi mencari tahu perkembangan penanganan perkara ini tidak mendapat jawaban yang jelas. Hingga 28 Juni 2021, Koalisi menerima informasi tentang penghentian perkara laporan itu. KPPU menyebut bahwa penanganan perkara tersebut dihentikan dengan pertimbangan berkas dan dokumen yang Koalisi serahkan tidak lengkap, karena tidak memenuhi satu alat bukti, sehingga tidak dapat dilanjutkan.

"Ini yang kami sesalkan kepada teman-teman KPPU. Jika ditinjau dari dua aspek, misalnya dari segi hukum acaranya, kemudian dari segi substasi, ini jelas-jelas menurut kami tidak profesional dan tidak transparan."

Pertama, bila disebutkan bahwa penanganan perkara dihentikan karena tidak ada alat bukti. Padahal, berdasarkan isi Pasal 6 Ayat 4 Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2019 dijelaskan bahwa ada 5 alat bukti. Yakni saksi, keterangan ahli, bukti dokumen, petunjuk dan keterangan terlapor.

Dalam hal ini pihaknya sudah menyerahkan satu alat bukti. Yakni dokumen AHU perusahaan-perusahaan, yang di dalamnya tercatat nama-nama orang yang pihaknya laporkan memiliki jabatan di dua perusahaan itu.

"Menurut kita itu menjadi satu alat bukti. Namun lagi-lagi sangat disayangkan, kita tidak tahu dan tentu ini tidak transparan, apa pertimbangan teman-teman KPPU sehingga menghentikan ini. Apakah bukti yang kita ajukan berupa dokumen AHU itu tidak cukup."

Itu dari sisi substansi. Kalau ditinjau dari sisi hukum acara, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 atau berdasarkan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2019, mestinya KPPU wajib melakukan pemeriksaan pendahuluan selama 30 hari sejak diterimanya laporan. Sehingga seharusnya ketika pihaknya mengajukan laporan pada September 2020 seharusnya pada Oktober 2020 sudah ada pemberitahuan yang disampaikan kepada Koaisi.

Tapi nyatanya Koalisi baru menerima undangan klarifikasi 4 bulan kemudian. Edy mengungkapkan hal ini melanggar hukum acara. Karena lamanya respon dari KPPU berdampak pada kepastian hukum Koalisi sebagai pelapor.

"Kami terlalu menunggu, tidak ada kepastian dan tidak ada informasi juga apakah ini masih klarifikasi, sudah masuk penyelidikan atau sudah masuk pada pemeriksaan pendahuluan. Jadi kami menunggu tidak ada kepastian hukum."

Kemudian, setelah 30 hari KPPU memutuskan apakah perkara ini bisa dilanjutkan atau tidak, KPPU juga harus memberitahukan kepada Koalisi, sebagai pelapor, apakah laporan tersebut bisa ditingkatkan ke tahap penyelidikan atau pemeriksaan lanjutan. Sayangnya tidak ada pemberitahuan apapun dari pihak KPPU, hingga Koalisi mendapat pemberitahuan bahwa penanganan kasus tersebut dihentikan.

"Tapi baru di bulan 6 ini, artinya berapa bulan kemudian. Malah kami mendapat pemberitahuan bahwa kasus ini dihentikan karena tidak cukup bukti."

Mestinya kalaupun berkas yang diajukan Koalisi tidak lengkap, imbuh Edu, berkas tersebut seharusnya dikembalikan dan pihak KPPU memberikan penjelasan dokumen atau hal-hal apa saja yang perlu dilengkapi. Tapi hal itu juga tidak terjadi. Edy juga menyayangkan sikap KPPU yang tidak memberi kesempatan Koalisi untuk melakukan gelar perkara untuk membuktikan bahwa laporan Koalisi memiliki dukungan bukti yang kuat.

Koalisi akan Lakukan Upaya Hukum

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, Muhammad Al Amin mengungkapan, dugaan monopoli usaha yang pihaknya laporkan ke KPPU tersebut terkait dengan dua perusahaan yang terlibat dalam penambangan pasir di wilayah perairan Sangkarrang Makassar. Yakni PT Banteng Laut Indonesia (BLI) dan PT Nugraha Indonesia Timur (NIT), pemilik konsesi di mana PT Boskalis Internasional Indonesia menambang pasir laut. Penambangan pasir laut oleh PT BLI dan PT NIT ini untuk kepentingan proyek pembangunan Makassar New Port (MNP).

Yang mana berdasarkan dokumen AHU PT BLI dan PT NIT, terdapat nama Akbar Nugraha dan Abil Iksan yang menduduki posisi jabatan penting pada jajaran direksi di dua perusahaan tersebut. Bahkan dua nama orang tersebut juga tercatat sebagai pemegang saham di PT BLI dan PT NIT.

"Kami koalisi menilai KPPU tidak transparan mengangani perkara dugaan monopoli usaha, tidak transparan, tidak kooperatif dengan pelapor memberikan informasi update-update perkembangan soal laporan kami, jadi terkesan tertutup dan mendikte."

Koalisi, lanjut Amin, juga menilai KPPU tidak menjalankan aturan pedoman atau aturannya sendiri. Selain itu KPPU juga dianggap tidak profesional dalam menangani laporan KSLI.

"KPPU tidak memberikan keadilan bagi nelayan dan perempuan, serta anak-anak di Pulau Kodingareng."

Selanjutnya, KPPU menambah rekam jejak terkait buruknya penegakan hukum di Indonesia terlebih di Sulawesi Selatan. Terakhir Koalisi menduga KPPU telah diintervensi oleh kekuatan modan dan kekuasaan.

Amin melanjutkan, pihaknya akan meminta surat penghentian secara resmi dan meminta penjelasan proses penanganan laporan dari KPPU Makassar. Pihaknya juga akan menguji keputusan KPPU terkait penghentian penanganan laporan dugaan monopoli usaha pada proyek tambang pasir laut, karena pihaknya merasa rasa keadilan Koalisi sebagai pelapor terganggu.

"Kami akan melakukan upaya hukum, baik terkait penghentian penanganan laporan di KPPU, maupun untuk memberikan keadilan bagi masyarakat Kodingareng, terkhususnya pemulihan hak warga yang telah dirampas."

Di kesempatan sama, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah mengatakan, hasil investigasi yang dilakukan Koalisi mengindikasikan adanya dugaan praktik ijon politik, konflik kepentingan, perdagangan pengaruh, monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat pada proyek tambang pasir laut di perairan Makassar. Hal tersebut melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Salah satu contohnya adalah Abil Iksan yang diketahui telah melakukan rangkap jabatan yang sama pada waktu yang sama, dalam dua perusahaan berbeda, namun dalam komoditi yang juga sama. Hal ini dapat berisiko terjadinya monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

"Dia menjabat sebagai direktur PT Banteng Laut Indonesia sekaligus PT Nugraha Indonesia Timur," kata Merah.

Unsur dugaan pelanggaran rangkap jabatan yang dilaporkan Koalisi kuat dan jelas. Berdasarkan penelusuran data profil perusahaan di Ditjen AHU dan Modi ESDM diketahui bahwa maskud dan tujuan pendirian PT BLI dan PT NIT sama. Yakni sama-sama pertambangan dan penggalian, batu, pasir, tanah liat, tras dan gips.

Bukan itu saja, waktu berlaku Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT BLI dan PT NIT juga sama. Sama-sama berlaku mulai 20 Desember 2019 dan berakhir pada 20 Desember 2021. Bahkan IUP PT BLI dan PT NIT diterbitkan berurutan. Nomor IUP PT BLI adalah 107/I.03/PTSP/2019 status CnC. Sedangkan PT NIT, nomor IUP-nya adalah 106/I.03/PTSP/2019 status CnC.

"Bahkan alat buktinya sudah jelas. Dokumen AHU-nya ada dokumen Modinya ada."

Menurut Merah, dalam kasus ini bukan hanya rangkap jabatan saja sebenarnya. Namun juga monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Karena PT BLI dan PT NIT memonopoli jalur distribusi pasir laut.

Dikutip dari Antara, Kepala KPPU Kantor Wilayah VI Makassar, Hilman Pujana dikonfirmasi secara terpisah mengatakan, pihaknya tidak pernah menolak laporan tentang dugaan monopoli usaha yang dilaporkan KSLI. Hanya saja penanganan perkara tersebut pihaknya hentikan. Penghentian itu sudah sesuai dengan prosedur yang ada.

"Sudah dijalankan sesuai aturan, mulai proses pengumpulan alat bukti, hingga proses klarifikasi. Tapi pada kesimpulannya (dihentikan) itu tentu sudah dilakukan tim dan dilaporkan ke pimpinan. Penghentian itu tidak serta merta dilakukan (ada proses). Intinya sesuai dengan proses dan prosedur yang sudah ada," kata Hilman.