Setiap Jam, Mangrove Susut Seluas 5 Kali Lapangan Sepak Bola

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Senin, 02 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Tutupan mangrove di Indonesia dalam rentang waktu 2000 hingga 2018 mengalami penyusutan yang cukup besar. Bila dirata-rata, setiap jamnya tutupan mangrove yang hilang selama 18 tahun tersebut seluas 5 kali lapangan sepak bola.

Berdasarkan data tutupan lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tutupan mangrove di Indonesia pada 2000 tercatat seluas 3.237.480 hektare. Terluas berada di Provinsi Papua dan Papua Barat yang masing-masing seluas 847.604 hektare dan 482.435 hektare.

Namun 3,2 juta hektare mangrove yang tercatat pada 2000 tersebut sekitar 18 tahun kemudian, atau pada 2018, menyusut menjadi 2.655.411 hektare. Dengan kata lain, tutupan mangrove yang teridentifikasi pada 2000 tersebut telah hilang seluas 582.068 hektare dalam kurun waktu 18 tahun. Lebih dari separuh penyusutan ini terjadi di tiga provinsi, yakni Maluku Utara yang menyusut sebesar 171.822 hektare, Kalimantan Utara menyusut 104.822 hektare dan Kalimantan Timur menyusut 67.957 hektare.

Bila dikalkulasi, per tahunnya hutan mangrove yang hilang dalam waktu 18 tahun tersebut rata-rata seluas 32.337 hektare, atau rata-rata hilang seluas 88,59 hektare per harinya. Bila dihitung rata-rata per jamnya, mangrove yang tercatat pada 2000 tersebut hilang seluas 3,69 hektare atau kira-kira seukuran 5 kali luas lapangan sepak bola setiap jamnya.

Kelompok Tani Nipah di Desa Kwala Serapuh, Langkat, Sumatera Utara, sejak beberapa tahun terakhir melakukan rehabilitasi hutan mangrove./Foto: Betahita,id

Penyusutan Tutupan Mangrove Tahun 2000 pada Tahun 2018

Sumber: Data Penutupan Lahan 2000-2018 (KLHK)

15 Provinsi Kaya Mangrove Tutupan Tahun 2018

Sumber: Data Penutupan Lahan 2000-2018 (KLHK)

Bila dikalkulasi, per tahunnya hutan mangrove yang hilang dalam waktu 18 tahun tersebut rata-rata seluas 32.337 hektare, atau rata-rata hilang seluas 88,59 hektare per harinya. Bila dihitung rata-rata per jamnya, mangrove yang tercatat pada 2000 tersebut hilang seluas 3,69 hektare atau kira-kira seukuran 5 kali luas lapangan sepak bola setiap jamnya.

Meski tutupan mangrove yang tercatat pada 2000 tersebut menyusut, bukan berarti selama 18 tahun (2000-2018) itu hutan mangrove di Indonesia tidak ada penambahan. Berdasarkan data tutupan hutan mangrove KLHK, pada 2018 luas tutupan mangrove di Indonesia (di luar tutupan mangrove yang tercatat pada 2000) seluas sekitar 2.814.633 hektare.

Bila luasan mangrove 2018 (2.814.633) tersebut dikurangi dengan luasan mangrove 2000 yang menyusut menjadi 2.655.411 hektare pada 2018, akan diketahui bahwa ada penambahan tutupan mangrove seluas 159.222 hektare. Penambahan tutupan mangrove itu terjadi di Maluku dan Papua Barat.

Dari analisis yang dilakukan oleh Yayasan Auriga Nusantara terhadap tutupan lahan KLHK, diketahui penyusutan tutupan mangrove 2000, seluas 582.068 hektare tersebut, disebabkan oleh terjadinya alih fungsi atau konversi lahan oleh sejumlah kegiatan. Yang paling menonjol adalah kegiatan pertambakan (23 persen), perkebunan/pertanian (15 persen) dan tambang/lahan terbuka (4 persen).

Konversi Tutupan Mangrove Tahun 2000 pada Tahun 2018

Sumber: Data Penutupan Lahan 2000-2018 (KLHK); Tutupan Sawit Indonesia (Kementan 2019); Dinamika Tutupan Sawit dan Hutan Tanaman (Auriga/Treemap)

Direktur Kehutanan Yayasan Auriga Nusantara, Supintri mengatakan, secara ekologis mangrove berfungsi dalam mencegah abrasi pantai, mencegah intrusi air laut dan menjadi habitat berbagai biota perairan, dan tidak sedikit pula fauna langka yang menggantungkan hidupnya pada wilayah ini, seperti burung dan berbagai jenis primata.

"Sedangkan fungsi ekonomi, dapat dimanfaatkan menjadi tempat wisata, memiliki berbagai jenis ikan, kepiting dan udang yang dapat dimanfaatkan," kata Supintri, Senin (2/8/2021).

Kemudian ditinjau dari perspektif mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, lanjut Supin, hutan mangrove memiliki peran penting, karena dapat menyimpan karbon lebih tinggi dari hutan lainnya. Karena itu, ekosistem mangrove menjadi sumberdaya lahan basah di pesisir yang layak mendapat perlindungan.

"Jika dimanfaatkan harus secara lestari dan terbatas sehingga tidak merusak fungsinya."

Supin melanjutkan, data 2019 menunjukan terdapat tutupan hutan mangrove sekitar 17 persen berada di luar kawasan hutan. Mangrove di luar kawasan hutan ini, menurutnya, sangat rentan mengalami kerusakan, karena kekuatan hukum perlindungannya lebih rendah dari mangrove dalam kawasan hutan.

Supin memperkirakan, upaya restorasi atau rehabilitasi mangrove akan menemui tantangan yang lumayan berat, karena wilayah ini diperebutkan banyak kepentingan. Mangrove secara umum berada di wilayah dengan akses yang baik dan di sekitar aktivitas masyarakat. Di sekitar pelabuhan, tambak, pemukiman atau pun kawasan wisata.

"Di sini ada kepentingan kehutanan, perikanan, transportasi, pertanahan, industri, masyarakat, kehutanan bahkan pertahanan. Jika saling mendukung mangrove akan lestari, namun jika rebutan wilayah makan mangrove akan tercabik-cabik oleh kepentingan yang cenderung berlawanan terhadap upaya pemulihan dan perlindungan mangrove."

Luasnya kerusakan mangrove ini, mendorong Pemerintah Indonesia untuk melakukan upaya rehabilitasi mangrove. Komitmen ini terlihat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2020, yang mana Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) diamanatkan untuk melakukan percepatan rehabilitasi mangrove di 9 provinsi prioritas. Yaitu Kepulauan Riau, Riau, Sumatera Utara, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua dan Papua Barat.

Luasan areal rehabilitasi mangrove yang akan dilakukan BRGM adalah sekitar 637 ribu hektare hingga 2024 nanti. Pada 2021, target rehabilitasi mangrove BRGM adalah 43 ribu hektare dari 83 ribu hektare target nasional.

Menurut Kepala BRGM, Hartono, upaya percepatan rehabilitasi mangrove yang dilakukan BRGM tidak hanya memulihkan ekologi mangrove, tapi juga dapat meningkatkan kesejehteraan  masyarakat yang tinggal di areal hutan mangrove. Beranjak pada pemahaman ini, BRGM menggunakan pendekatan padat karya melalui penanaman bibit mangrove dengan melibatkan masyarakat secara langsung.

"Kunci keberhasilan rehabilitasi mangrove adalah adanya keterlibatan masyarakat," kata Hartono dalam siaran pers resminya, Senin (26/7/2021) pekan lalu.

Pasalnya, masyarakat di areal mangrove berinteraksi secara langsung dan memiliki ketergantungan secara sosial dan ekonomi pada hutan mangrove. Ketergantungan ini karena fungsi ekologi mangrove, yaitu sebagai tempat berpijah aneka biota laut, penyerap polutan, mencegah intrusi air laut, mengikat sedimen dan melindungi garis pantai dari abrasi dan tsunami.

Hal ini menjadikan upaya percepatan rehabilitasi mangrove berbasis masyarakat penting dilakukan. Terkait hal ini, BRGM akan membangung Desa Mandiri Peduli Mangrove.

"Kami bentuk agar masyarakat diedukasi, diperkuat kelembagaanya, dan diberi akses untuk pendanaan dan kebijakan untuk mengelola ekosistem mangrove yang berkelanjutan," tambah Hartono.