OBITUARI: Emma
Penulis : Tim Betahita
Sosok
Kamis, 05 Agustus 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Saya berjumpa dengannya sesekali saja. Tapi, kami pernah minum dari sumber air yang sama: di Kuningan, Jawa Barat, tempat kelahiran ibunya dan juga kampung ayah saya; di Tanah Moi, Papua Barat, tempat ia membangun rumah dan belakangan juga menjadi halaman depan rumah saya. Jadi, ya, kepergiannya membuat saya berduka.
Emma Raw Malaseme, Direktur Papua Forest Watch (PFW), Koordinator Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil wilayah Sorong Raya, berpulang Rabu, 4 Agustus 2021, pukul 11.45 Wita, 12.45 WIT, 10.45 WIB. Ia berangkat ke Rumah Tuhan dari Rumah Sakit Kandou, Manado, Sulawesi Utara, setelah dirawat selama beberapa waktu dan 3 hari terakhirnya di ICU. Padahal 7 hari lagi ia akan berulang tahun.
Tapi umur siapa yang tahu? Pada Maret lalu, ketika saya ke kantor PFW di Sorong, saya masih bertemu dengannya. Seperti biasa, ia menyambut dengan senyumnya yang lebar, memperlihatkan giginya yang putih sedang berbaris dengan disiplin.
Ia tidak menunjukkan tanda-tanda sedang sakit. Tubuhnya tidak mengurus. Rasio berat per tingginya sepertinya bahkan sedikit lewat batas atas.
Jalannya tetap kokoh. Ia tak nampak kepayahan saat harus menggendong anak terakhirnya yang sudah berumur 2-3 tahun. Hanya memang kulitnya terlihat sedikit pucat. Seperti hitam yang sedang pudar. Rambutnya yang kriwil juga nampak lebih masai.
Lalu, sekitar Mei atau Juni, saya mendengar kabar ia berangkat ke Manado untuk berobat. Saat itu saya mulai khawatir. Hanya karena tak mungkin ia ke Manado karena sakit Covid-19, perasaan saya agak lega. Kemudian saya mendengar ia harus tinggal lama di Manado. Kali ini saya benar-benar khawatir. Sakitnya tidak mungkin ringan.
Tapi, tidak ada informasi apapun soal sakitnya itu. Direktur Pusaka, Franky Samperante, yang pertama kali mengabarkan sakitnya Emma, tak banyak membagi informasi.
Ketika saya sowan ke PFW pada akhir Juni, dia ternyata belum pulang dari Manado. Saya bertanya ke Feky Mubalen, Ketua AMAN Sorong Raya, juga ke beberapa kawan di kantor PFW, tapi tak ada yang mengetahui ihwal sakitnya itu. Saya ingin bertanya ke Richarth Charles Tawaru, yang pernah menjadi Pjs Direktur PFW, tapi saat itu ia sedang berada di kantornya yang baru.
Jadi, Sorong terasa murung sepanjang hari itu. Tapi siapa di antara sahabatnya yang tidak berduka oleh sakitnya?
Emma adalah pegiat lingkungan dan HAM yang dekat dengan hampir semua aktivis masyarakat sipil di Papua Barat, baik yang terdahulu maupun yang datang belakangan. Meski ia sebenarnya sudah istimewa dengan sendirinya karena tak banyak aktivis perempuan di Tanah Papua, ia dikenal karena kegiatan-kegiatannya.
Lulus sebagai Sarjana Kesehatan Masyarakat di bidang Administrasi Kebijakan Kesehatan dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, pada 2001, ia memilih untuk bergiat di organisasi masyarakat sipil ketimbang jadi pegawai negeri atau bekerja di perusahaan. Ia tercatat pernah bergabung dengan Wongkei Institute, sebelum menjadi Direktur PFW sejak April 2018 hingga berpulang.
Pada Februari 2020, dalam pertemuan organisasi masyarakat sipil di Manokwari, ia didapuk menjadi Koordinator Koalisi CSO wilayah Sorong Raya. Wilayah kerjanya mencakup Kabupaten Sorong, Raja Ampat, Sorong Selatan, Maybrat, hingga Tambrauw.
Atas penunjukkannya ini, Emma mengatakan misinya adalah untuk membuat koalisi CSO bisa saling menguatkan kerja-kerja di berbagai isu di Sorong Raya dan bahkan di Papua Barat. “Kita bekerja untuk perubahan di masyarakat,” ujarnya, seperti dikutip suarapapua.com, 11 Februari 2020.
Koalisi menunjuknya sebagai koordinator bukan tanpa alasan. Rumahnya yang berlantai dua di Klasaman, Sorong Timur, sudah lama menjadi tempat rendevu dan rumah singgah para pegiat masyarakat sipil, selain menjadi kantor PFW. Rumahnya juga kerap menjadi tempat alternatif bagi CSO untuk membikin acara paket hemat, misalnya jika hanya punya dana untuk makan siang. Di rumah-kantor yang dikelilingi pohon jambu air hutan, beberapa durian, beberapa belimbing, beberapa sirsak inilah saya bertemu dengannya pertama kali.
Ketika itu saya sedang menemani beberapa kawan yang tengah membuat buku tentang hutan Papua. Kawan-kawan menganggap buku tersebut tak lengkap jika tak mendapat cerita darinya.
Dan ia memang punya banyak cerita untuk dibagi. Ia pernah, misalnya, menginvestigasi sawmill besar di Papua Barat, milik orang besar, yang diduga mengolah banyak merbau hasil pembalakan liar. Merbau adalah “emas hijau” Tanah Papua, karena harganya bisa mencapai 20-30 juta per meter kubik di pasar internasional, sementara dari warga kayu itu bisa dibeli hanya dengan Rp 500 ribu saja.
Untuk investigasi tersebut, ia harus masuk ke dalam pabrik, sebab kegiatannya tak terlihat dari luar. Ia lalu memutuskan akan mengaku ke sekuruti sawmill bahwa dirinya sedang mencari suaminya yang sudah lama tak pulang, tapi suaminya itu pernah mengatakan bekerja di sawmill tersebut.
Untuk menjatuhkan hati sekuriti, ia bicara sambil mengelus-elus perutnya. Waktu itu ia memang tengah hamil anak pertama dan bulannya sudah hamper tiba.
Sekuriti di sawmill tak curiga dengan alasannya. Ia masuk dengan gampang.
Ketika Covid-19 datang ke Papua Barat, sebagian kegiatan PFW dialihkan pada peningkatan kapasitas organisasi. Ia meminta saya mendampingi staf PFW belajar menyusun Policy Brief dan Infografis. Tujuannya, ujarnya, agar hasil kerja PFW bisa diteruskan sebagai usulan kebijakan kepada pemerintah. Sayangnya, sampai ia berpulang, ia tak pernah bercerita dari mana mengetahui saya mentor untuk kedua materi itu di Tempo Institute, salah satu unit kegiatan pendidikan di Tempo Media. Saya harusnya menanyakannya pada kesempatan pertama, namun memang umur siapa yang tahu?
Tapi Emma tahu jika waktunya untuk pulang sudah dekat. Ia menuliskannya di dinding FB, sebagai pesan penghabisan, bertanggal 1 Juni. “Ke hutan, terpapar oksigen dan sinar matahari, saya mau ke sana,” ujarnya.
Ia sudah di sana sejak kemarin siang, menemui ibu kandungnya. Sebab ia Orang Moi.
*/**
Yosep Suprayogi, wartawan Tempo