Menyoal Empat Aspek Penting Dalam Gugatan UU Minerba

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Jumat, 06 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Pengajuan Judicial Review (JR) Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), yang dilakukan oleh dua warga Banyuwangi terdampak, Nur Aini dan Yaman serta Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim), akan segera memasuki sidang pertama.

Persidangan perdana perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 itu akan dilakukan pada Senin, 9 Agustus 2021, pukul 13.30 WIB mendatang, secara online. Dengan agenda pembacaan pokok-pokok permohonan dari para pemohon, serta pemeriksaan pendahuluan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Penasehat Hukum JR UU Minerba dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Lasma Natalia mengatakan, terdapat 4 aspek penting yang dianggap bermasalah dalam UU Minerba Baru yang menjadi dasar permohonan pengujian UU kontroversial tersebut ke MK.

Pertama, mengenai perubahan kewenangan perizinan pertambangan Minerba, dari daerah ke pusat. Perubahan kewenangan ini dianggap akan mengakibatkan masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan, menjadi semakin sulit menyampaikan pendapat dan menyuarakan penolakan. Karena kewenangan perizinan pertambangan Minerba dipindahkan atau dijauhkan ke pusat.

Gerakan masyarakat sipil yang tergabung dalam #BersihkanIndonesia menggelar aksi protes terhadap UU Minerba di Jakarta, Senin, 21 Juni 2021. Foto: Istimewa

Kedua, adanya jaminan dalam UU Minerba baru tentang tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang dan kawasan dalam wilayah pertambangan. Dengan kata lain, apabila suatu daerah dijadikan suatu wilayah pertambangan maka dijamin tidak akan ada perubahan peruntukan di dalamnya. Hal itu akan berdampak pada daya dukung dan daya tampung lingkungan dan akan mengakibatkan ekosistem berubah. Sehingga UU ini dinilai tidak ada keberpihakan terhadap lingkungan.

Ketiga, UU Minerba ini berisikan pasal yang berpotensi dijadikan alat untuk mengkriminalisasi masyarakat yang mengekspresikan penolakannya terhadap aktivitas pertambangan. Pasal dimaksud adalah Pasal 162. Pasal ini dinilai telah membatasi hak-hak konstitusi warga negara untuk mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan dasar hidup, memberikan ketidakpastian hukum, dan melanggar hak atas rasa aman dan bebas dari rasa takut.

Keempat, UU Minerba memberikan jaminan perpanjangan kontrak karya dan PKP2B. Ini menunjukkan keberpihakan terhadap industri pertambangan dan tidak berpihak dan tidak membuka akses bagi pemulihan lingkungan, atau tidak memberikan peluang untuk pencegahan kerusakan lingkungan yang begitu besar.

"Penting untuk mengawal jalannya persidangan pengujian UU minerba. Dengan mengawasi proses JR ini, maka kita sedang mendukung MK agar bisa menjadi tempat rakyat mencari keadilan," kata Lasma, pada konferensi pers bertema Jelang Sidang JR UU Minerba, Selasa (3/8/2021) kemarin.

Lasma melanjutkan, satu tahun lebih setelah UU Minerba disahkan, warga yang menjadi korban kriminalisasi bertambah. Selain dua warga Banyuwangi, Nur Aini dan Yaman, baru-baru ini tujuh orang nelayan di Bangka Belitung ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Bangka Belitung. Mereka ditangkap saat berjuang melindungi wilayah tangkap dari gempuran operasi tambang timah.

"Kami berharap Hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengerahkan perhatian pada JR UU Minerba ini. Sebab di tengah himpitan pandemi, kriminalisasi terhadap rakyat di wilayah pertambangan dengan alasan menggunakan UU Minerba terus terjadi bahkan semakin masif."

Hal serupa juga serupa juga dialami empat warga Kelurahan Jawa, Kecamatan Sanga-Sanga yang terancam dibui atas pelaporan PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN) kepada Polres Kutai Kartanegara pada 25 Februari 2021. Dengan tuduhan menghentikan aktivitas pertambangan.

Koordinator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang mengatakan tuduhan itu tidaklah benar. Dijelaskannya, kehadiran puluhan warga di lokasi settling pond PT ABN bukanlah untuk menghentikan aktivitas pertambangan, melainkan untuk memeriksa sumber air dan lumpur yang menyebabkan pemukiman warga diterjang banjir.

Menurut Rupang, tuduhan itu hanyalah alasan yang dibuat-buat perusahaan tambang, yang sahamnya dimiliki Luhut Binsar Pandjaitan. Kriminalisasi itu terjadi lantaran warga menolak menerima tawaran uang bising (tali asih) yang diikat lewat kontrak perjanjian yang tidak masuk akal dan merugikan warga.

Selain itu, tiga petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Multi Guna (KTMG) ditetapkan menjadi tersangka pada 21 Januari 2021 oleh Polres Kutai Timur. Kasus ini juga ditemukan banyak kejanggalan. Selain penetapan tersangka yang berselang dua tahun dari peristiwa yang dilaporkan pada aksi damai pada 29 Juli 2009, hal lainnya aksi tersebut telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak kepolisian.

Polisi saat itu bahkan turut mengawal jalannya aksi, sementara tuduhan merintangi dan mengganggu kegiatan usaha pertambangan sudah terbantahkan. Kelompok tani yang melakukan aksi di atas tanahnya sendiri menuntut PT Kaltim Prima Coal mengganti rugi dan membebaskan tanah mereka.

"Dampak mengerikan UU Minerba baru sudah dirasakan rakyat. Sebelum disahkan, rakyat dari berbagai kampung sudah menyampaikan kekhawatiran tersebut dalam sidang rakyat tolak energi kotor. Sekarang terbukti regulasi baru ini memangsa rakyat yang menolak proyek pertambangan," kata Rupang, dalam konferensi pers tersebut.

Rupang melanjutkan, solusi sentralisasi atau perubahan kewenangan ke pusat, hanya akan menggeser ruang korupsi dari daerah ke pusat, mendekati oligarki besar di Ibu Kota. Celakanya aparat hukum dalam menindak kasus korupsi hanya menggunakan alat ukur kerugian yang dialami negara, tetapi tidak mempertimbangkan kerugian yang diderita rakyat di lingkar tambang. Padahal sangat jelas dimanapun kewenangan itu berada, masyarakat yang terdampak aktivitas tambang yang selalu menjadi korban dan harus mengatasi krisis tersebut.

Pemusatan kewenangan kepada pemerintah pusat akan semakin menjauhkan jangkauan warga di lingkar tambang untuk melakukan pengaduan. Langkah ini sejatinya semakin mempersulit akses warga di lingkar tambang untuk melakukan pelaporan. Jarak sengaja dibangun hingga pada akhirnya setiap kasus tambang nyaris tanpa adanya kepastian hukum bagi masyarakat korban tambang.

"Mengaktifkan kembali layanan izin lewat pemerintah pusat akan mengancam inisiatif daerah yang berupaya melindungi wilayahnya melalui kewenangan daerah," kata Rupang.

Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Eksekutif Nasional Walhi, Dwi Sawung menambahkan, di beberapa provinsi seperti Aceh, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur telah membuat kebijakan moratorium izin, dengan tujuan antara lain mengantisipasi meluasnya kerusakan lingkungan serta menahan laju bencana yang kerap dialami masyarakat di daerah.

Hal lainnya adalah ada upaya dilakukannya pemulihan oleh daerah untuk keluar dari krisis ekologis, sehingga jeda dari aktivitas pembongkaran bentang alam dan peracunan terhadap air, tanah serta udara mutlak dilakukan.

Menurut Sawung, pasal-pasal dalam UU Minerba baru membuat tambang berada di atas segalanya. Aturan tata ruang di daerah dipaksa mengikuti perizinan pertambangan tanpa mengindahkan keselamatan ruang dan pengaturan ruang di daerah. Ancaman terhadap warga yang menolak keberadaan pertambangan juga semakin tinggi karena terdapat pasal yang memungkinkan untuk melakukan kriminalisasi terhadap warga yang menolak keberadaan tambang di wilayah mereka.

"Persoalan ini dapat menimpa siapapun yang keberatan terhadap pertambangan, oleh karena itu perlu dukungan dari publik luas untuk memantau jalannya persidangan JR UU minerba supaya hakim-hakim MK memutus dengan mempertimbangakan keselamatan rakyat," kata Dwi Sawung.