Aktivis Mendesak Algoritma Khusus Antiperdagangan Satwa di Medsos

Penulis : Tim Betahita

Konservasi

Senin, 09 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Selama ini, internet telah menjadi pusat transaksi jual beli satwa liar. Hal ini tak hanya marak terjadi di Indonesia tetapi di berbagai negara.

Wildlife Trust of India (WTI), sebuah lembaga non profit yang bergerak di bidang konservasi satwa liar melakukan pendataan terkait perdagangan ilegal satwa liar di Youtube. Dalam enam bulan, WTI menemukan 19 kanal Youtube yang mengunggah video terkait trenggiling yang masih hidup maupun sisiknya. Total ada 50 video yang diunggah.

Wakil Direktur dan Kepala Divisi Pengendalian Kejahatan Satwa Liar WTI, Jose Louise, menyatakan timnya menemukan nomer ponsel yang disebutkan dalam kanal Youtube tersebut.

Dari nomor itu diketahui bahwa video berasal dari beberapa negara di antaranya Indonesia, Irak, Bangladesh, Pakistan dan India. Melihat fakta tersebut, para aktivis percaya bahwa kini media sosial telah menjadi marketplace yang besar.

Grup RGE milik taipan Sukanto Tanoto diduga terhubung dengan penghancuran ekosistem Leuser di Aceh, yang menjadi rumah bagi satwa endemik dan terancam seperti orangutan sumatra. Foto: Rainforest Action Network

Bahkan, mereka menyebut media sosial telah menjadi fasilitator untuk kegiatan ilegal ini. Oleh karena itu diperlukan usaha lebih untuk mengatasinya.

Kepada The Independent, Louise juga mengatakan bahwa untuk menghentikan perdagangan ilegal satwa liar di internet, baik YouTube maupun platforms lainnya harus menemukan satu atau dua kata kunci dan membuat algoritma khusus.

“Ketika mengunggah video di Youtube dengan audio yang sudah memiliki hak cipta, kita akan mendapat pemberitahuan bahwa video tersebut melanggar hak cipta. Itu artinya Youtube memiliki mekanisme untuk mencari audio yang sudah memiliki hak cipta. Lalu mengapa mereka tidak membuat algoritma untuk membantu menghentikan perdagangan ilegal satwa liar. Bukankah mereka selama ini juga sudah melakukannya untuk isu sensitif?” tutur Louise.

Di sisi lain, algoritma di YouTube maupun media sosial ternyata juga menghubungkan pembeli dengan penjual maupun dengan grup yang menjual barang serupa. Patricia Tricorache, anggota the Alliance to Counter Crime Online (ACCO), mengatakan grup tertutup yang menjual barang ilegal termasuk satwa liar seringkali muncul sebagai rekomendasi. Misalnya saja pengguna akan mendapat pemberitahuan seperti

“Mungkin Anda Menyukai Grup Ini Juga”. Dengan kata lain, platform tersebut telah mengarahkan pengguna untuk menuju ke sarang lain.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ACCO pada Maret-September 2020, Facebook telah menghapus sekitar 59 persen halaman yang terindikasi melakukan jual beli satwa liar dengan kata kunci dalam Bahasa Inggris. Namun, hanya ada 2 persen dari 49 halaman berbahasa Indonesia yang ditutup.

Merespon permasalahan tersebut, Facebook menegaskan bahwa perusahaan melarang keras konten maupun iklan yang melibatkan satwa langka. Melalui juru bicaranya, Facebook menyatakan saat ini perusahaan telah berkolaborasi dengan ahli dan lembaga penegak hukum di berbagai negara untuk melawan perdagangan ilegal satwa liar.

Bahkan sejak tahun 2018 silam, Facebook bersama dengan Google dan 19 perusahaan teknologi ikut bergabung dalam Coalition to End Wildlife Trafficking Online untuk menghapus sekitar 80 persen konten terkait perdagangan satwa di platforms mereka.

Hingga April 2020, koalisi ini telah memblokir dan menghapus lebih dari 3 juta konten yang terkait dengan spesies langka atau terancam punah. Data tersebut disampaikan laporan yang dibuat oleh International Fund for Animal Welfare (IFAW).

Senada dengan Jose Louise, Matt Morley yang merupakan Director di IFAW’s Wildlife Crime Program menyatakan butuh kordinasi yang lebih baik antara penegak hukum dan perusahaan teknologi. Menurutnya, saat ini kita tengah berperang melawan kejahatan abad ke-21 dengan hukum dan peraturan abad ke-20.

Hal itu tentu tidak akan efektif. Ia berpendapat perusahaan teknologi seharusnya mengambil langkah proaktif bukan hanya sekadar menunggu masyarakat untuk melaporkan.

Ia juga meminta agar perusahaan teknologi memanfaatkan algoritma untuk memberikan edukasi dan peringatan kepada pengguna. Teknisnya bisa seperti dengan penadan khusus yang muncul untuk unggahan terkait Covid-19.

GardaAnimalia|