Nasib Buruh Kebun Sawit Memburuk Selama Pandemi

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Senin, 09 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Laporan terbaru dari Jaringan Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) menyatakan kondisi buruh perkebunan kelapa sawit memburuk selama pandemi Covid-19. Menurut Koordinator TPOLS, Rizal Assalam, kesulitan utama itu antara lain perlindungan kesehatan, jaminan pendapatan dan pekerjaan, serta akses pangan.

 “Dari tiga aspek ini, pandemi Covid-19 semakin jelas menunjukkan kerentanan yang selama ini dialami oleh buruh perkebunan sawit,” kata Rizal pada konferensi pers virtual, Minggu, 8 Agustus 2021. 

Kerentanan itu salah satunya disebabkan oleh situasi perkebunan kelapa sawit yang terisolasi. Ketika buruh terinfeksi virus, misalnya, akses kesehatan dan pasokan obat-obatan menjadi sulit.  Spesialis perburuhan Sawit Watch Zidane mengatakan, sepanjang 2020, pihaknya menerima informasi bahwa sejumlah buruh perkebunan sawit dilaporkan terpapar virus Covid-19.

Lalu pada Juli 2021, Sawit Watch menerima informasi sejumlah buruh perkebunan sawit di Kalimantan dan Papua terpapar. Jumlahnya lebih dari 150 kasus. Namun Zidane khawatir, angka sesungguhnya berpotensi lebih besar. 

Ilustrasi buruh kelapa sawit yang sedang memotong tandan buah sawit. Foto: RAN/OPPUK/Nanang Sujana.

 “Kami mengkhawatirkan laporan jumlah buruh perkebunan sawit di Indonesia yang terpapar Covid-19 seperti fenomena gunung es,” kata Zidane.

“Kondisi dimana buruh perkebunan sawit sulit mengakses uji PCR, alat pelindung diri yang tidak memadai dan ketidakterbukaan perusahaan menimbulkan kekhawatiran jumlah buruh yang terpapar tidak diketahui pasti,” jelasnya.

Perkebunan sawit seperti di wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan tidak menyediakan masker medis yang direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan alat pelindung diri untuk mencegah penularan virus.

“Situasi ini mengulang cerita buruknya standar kesehatan dan keselamatan kerja, terutama mengenai alat pelindung diri yang tidak pernah sesuai risiko kerja dan selalu tersedia setiap saat,” kata Ismet Inoni dari GSBI.

“Sebagian besar pekerjaan di perkebunan sawit adalah pekerjaan dimana buruhnya berjarak satu sama lain, namun itu jangan dijadikan alasan sehingga perusahaan lalai memenuhi kewajiban mencegah penyebaran dan meminimalisir resiko terpapar,” jelas Ismet.

Kornelis Wiriyawan Gatu, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pekerja Nasional Kalimantan Timur, mengatakan, dari 358 perkebunan kelapa sawit di provinsi tersebut, banyak buruh turut terpapar Covid-19. Di Kabupaten Kutai Barat, misalnya, terdapat 30 buruh sakit. Kemudian di Kabupaten Kutai Timur, ada 15 buruh di satu kebun yang turut terinfeksi. Kornelis memprediksi jumlahnya akan terus bertambah.

Menurut Kornelis, buruh yang terpapar tidak mendapatkan fasilitas kesehatan maksimal selama menjalani isolasi mandiri (isoman) di dalam wilayah perkebunan perusahaan. Contohnya adalah tidak mendapatkan suplai vitamin yang cukup.

“Persoalan lainnya adalah buruh yang sedang isoman tidak diberi upah oleh perusahaan padahal kategorinya adalah sedang sakit,” kata Kornelis.

Pada banyak kasus, pemukiman buruh yang padat dan kewajiban mengikuti apel pagi berpotensi menjadikan virus ini lebih cepat menyebar. 

“Selain itu, buruknya infrastruktur jalan dan akses fasilitas publik telah lama menyulitkan buruh perkebunan sawit dan keluarganya mendapatkan layanan kesehatan, apalagi dalam situasi pandemi Covid-19,” ujar Kornelis. 

Buruh perempuan merupakan kelompok yang paling rentan. Kornelis mengatakan, “Buruh harian lepas, yang mayoritas perempuan adalah kelompok yang paling rentan. Perempuan buruh harian lepas pergi dan pulang kerja berhimpitan di atas truk penjemput dan bekerja tanpa alat fasilitas pelindung diri yang memadai.”

Tak hanya itu, buruh juga kesulitan membeli bahan pokok dengan harga terjangkau. Menurut Dianto Arifin dari Serikat Pekerja Sawit Indonesia (SEPASI), hal itu disebabkan oleh pembatasan mobilitas yang diterapkan perusahaan. Dus, penjual bahan makanan dari luar tidak dapat masuk dan buruh pun dilarang keluar dari area perkebunan kelapa sawit.

“Akibatnya buruh harus membeli kebutuhan pokok di dalam areal perkebunan dengan harga lebih mahal,” kata Dianto.