Buruh Sawit Migran WNI di Malaysia Alami Kekerasan Saat Pandemi
Penulis : Kennial Laia
Sawit
Selasa, 10 Agustus 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Buruh Indonesia yang bekerja di perkebunan kelapa sawit di negeri jiran, Malaysia, dilaporkan mengalami diskriminasi dan kekerasan selama pandemi Covid-19.
Suryani, perwakilan dari Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) mengatakan, kasus penularan ditemukan di berbagai perkebunan kelapa sawit, termasuk milik Sabah Softwood Berhad, FGV dan Kretam Holding, perkebunan milik LSP Premiere di Kinabatangan dan Sandakan, dan perkebunan sawit lain di daerah Baturong, Kunak, Matamba dan Lahad Datu.
Menurut Suryani, perusahaan Malaysia memberlakukan kebijakan diskriminatif terutama terhadap buruh, terutama mereka yang datang secara "non-prosedural" saat datang bekerja di negeri tersebut.
“Kebijakan diskriminatif terhadap 'penduduk asing tanpa izin’ selama ini telah menghalangi buruh migran untuk mendapatkan layanan kesehatan dan fasilitas perawatan,” kata Suryani, Ahad lalu.
“Pemerintah Malaysia telah lama menerapkan kebijakan biaya layanan kesehatan rumah sakit yang lebih tinggi bagi warga negara asing,” tambahnya.
Laporan Tim Pencari Fakta KBMB juga menemukan adanya masalah deportasi buruh migran tidak berdokumen. Hasil pemantauan menggambarkan perlakuan buruk dan ketakutan yang dialami oleh buruh migran.
Menurut Suryani, para buruh diperlakukan secara tidak manusiawi lewat razia, penangkapan, dan penyiksaan.
Hal ini dialami selama buruh dan keluarga di tampung di pusat tahanan sementara (PTS) atau Depo Imigrasi di Sabah. Serikat tersebut mencatat, terdapat 1.082 buruh migran yang dipulangkan pemerintah Malaysia selama pandemi, periode Juni 2019-September 2020.
Menurut KBMB, para buruh migran diabaikan baik oleh pemerintah Malaysia maupun pemerintah Indonesia. Buruh migran Indonesia juga tidak didampingi kuasa hukum. Selama di Depo Imigrasi, buruh migran yang sebagian besar terdiri dari buruh kebun sawit mengalami pemerasan, perampasan barang pribadi, dan eksploitasi terhadap deportan anak.
Suryani mengatakan, selama ditahan, prosedur kesehatan Covid-19 pun sangat minim. Buruh migran dipaksa tinggal berdesakan di fasilitas penahanan, termasuk lansia, perempuan, dan anak. Fasilitas penahanan juga tidak menyediakan fasilitas atau pertolongan khusus bagi perempuan hamil.
“Kondisi ini menjadikan deportan berisiko tinggi terpapar penyakit dan menderita gangguan kesehatan mental,” kata Suryani.
“Sebagai hasilnya, pekerja migran iregular, termasuk anak migran, cenderung terkecualikan dalam sistem kesehatan di Malaysia. Buruh migran juga terdorong untuk tidak melaporkan dan mencari pertolongan kepada otoritas setempat jika mengalami gejala Covid-19,” jelas Suryani.
Koordinator TPOLS Rizal Assalam mengatakan, hingga saat ini pemerintah Malaysia terus menunda reformasi regulasi perburuhan yang diusulkan serikat pekerja dan koalisi sipil. Sementara itu pemerintah Indonesia juga dianggap tidak serius menangani pandemi, termasuk buruh sawit migran yang terpapar beserta keluarganya.
“Kami mendesak pemerintah nasional dan perusahaan untuk bersungguh-sungguh menjamin perlindungan buruh dan keluarganya dari dampak kesehatan maupun ekonomi akibat pandemi Covid-19.
“Secara khusus kami meminta pemerintah Malaysia untuk menghentikan seluruh operasi penangkapan terhadap buruh migran dan perlakuan tidak manusiawi selama proses penahanan di Pusat Tahanan Sementara. Pemerintah Indonesia harus memastikan proses pemulangan buruh migran dan keluarganya tidak melecehkan sedikit pun derajat kemanusiaan,” pungkas Rizal.