Negara Berpolusi Terburuk Harus Kurangi Karbon Secara Drastis

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Perubahan Iklim

Kamis, 12 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Negara-negara penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia dinilai harus menghasilkan rencana yang jelas, untuk mengurangi produksi karbon mereka secara drastis. Para ilmuwan telah memperingatkan, hanya ada sedikit peluang untuk lolos dari kerusakan terburuk akibat kerusakan iklim.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memberikan peringatan paling keras tentang perubahan iklim yang meluas dan belum pernah terjadi sebelumnya yang secara tegas merupakan hasil dari tindakan manusia. Cuaca ekstrem akibat perubahan ini sudah terlihat di seluruh dunia dan semakin memburuk. Dalam bentuk kenaikan suhu, badai yang lebih sering dan lebih ganas, gelombang panas, kekeringan, banjir, dan kenaikan permukaan laut, menurut penilaian terbesar ilmu iklim dalam delapan tahun.

Suhu global diperkirakan akan mencapai 1,5 derajat C di atas tingkat pra-industri dalam dua dekade mendatang, ambang batas yang ditetapkan sebagai ambisi perjanjian iklim Paris 2015. Hanya pengurangan gas rumah kaca yang tajam dan segera pada dekade inilah yang dapat menstabilkan sistem iklim.

Menteri Inggris, Alok Sharma, yang akan memimpin KTT Iklim PBB Cop26 di Glasgow November mendatang mengatakan, negara-negara harus bertindak. "Jika akan ada peringatan bagi dunia tentang perubahan iklim, ini adalah laporannya. Tapi masa depan belum tertulis. Perubahan iklim yang paling buruk masih bisa dihindari," kata Alok Sharma, seperti dikutip dari The Guardian, Senin (9/8/2021).

Poster protes tentang krisis iklim. Foto: iglobal.org

Ambisi kesepakatan iklim Paris untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat C, dan mencegah dampak terburuk dari kerusakan iklim. "masih dapat dicapai, tetapi mundur dan mundur dengan cepat", katanya.

"Apa yang benar-benar kita butuhkan sekarang adalah agar semua penghasil emisi utama memainkan peran mereka, dan G20 akan menjadi kunci mutlak bagi masa depan 1,5 derajat C kita," tambahnya.

Pemerintah G20, yang terdiri dari ekonomi terbesar di dunia dan termasuk negara maju dan berkembang, bertanggung jawab atas sekitar 80% emisi gas rumah kaca global, dan sekitar 85 persen dari PDB. Sharma tidak memilih pemerintah tertentu, tetapi terdapat beberapa negara yang belum mengajukan rencana pengurangan emisi sebelum Cop26, termasuk Cina, India dan Brasil.

Saat ini Cina mendapat sorotan yang kuat, lantaran negara tersebut merupakan penghasil emisi terbesar di dunia dan ekonomi terbesar kedua, serta produsen dan konsumen batu bara terbesar, bahan bakar fosil paling kotor. Menurutnya Cop26 harus mampu membuang batu bara ke dalam sejarah.

Wakil Presiden Iklim dan Ekonomi, World Resources Institute, Helen Mountford mengatakan, dekade ini benar-benar kesempatan terakhir untuk menjaga iklim yang relatif aman, dan tindakan penghasil emisi terkemuka akan sangat penting. "Sangat penting bagi Cina untuk mengumumkan pengurangan emisi yang lebih ketat daripada yang telah diisyaratkan sejauh ini," katanya.

Cina telah menetapkan target untuk mencapai nol emisi pada 2060 mendatang, dan mengatakan emisinya akan mencapai puncaknya pada 2030. Namun demikian, Pemerintah Cina masih merencanakan pembangkit listrik tenaga batu bara baru, dan ketergantungannya pada batu bara kembali setelah perlambatan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19. Meskipun jatuhnya harga pembangkit listrik tenaga angin dan tenaga surya menjadikannya lebih murah daripada batu bara.

Badan Energi Internasional atau The International Energy Agency telah memperingatkan bahwa emisi global akan meningkat tahun depan dengan jumlah rekor, sebagian besar didorong oleh kebangkitan batu bara di Cina.

"Batu bara di Cina memang merupakan pemecah kesepakatan dalam hal 1,5 derajat C, seperti yang dikatakan John Kerry beberapa minggu lalu. Untungnya, ekonomi batu bara versus energi terbarukan seharusnya membuat ini menjadi lebih mudah bagi Cina," kata Bernice Lee, Direktur Riset Lembaga Chatham House.

Mantan penasihat iklim Gedung Putih, Paul Bledsoe, yang sekarang di Progressive Policy Institute, Washington DC mengatakan, bagi Cina, untuk maju dengan komitmen baru tentang emisi, tindakan Amerika Serikat (AS) akan menjadi kunci. Presiden AS, Joe Biden, lanjutnya, telah berjanji untuk mengurangi separuh emisi AS pada 2030 mendatang dan menyediakan miliaran dana iklim untuk negara-negara miskin dan memulai program insentif dan peraturan untuk merangsang ekonomi rendah karbon.

"Kongres AS harus meloloskan rencana iklim ambisius Presiden Biden sebelum Cop26, untuk mengunci tindakan Amerika yang kuat dan memberi tekanan tambahan pada Cina dan penghasil emisi utama lainnya untuk akhirnya mengurangi emisi mereka. Tanpa AS dan China melakukan pengurangan emisi yang dalam, target Paris tidak dapat dicapai," kata Paul Bledsoe.

Sementara Cina sekarang akan menjadi fokus yang jelas, penghasil emisi besar lainnya di G20 seperti India, Indonesia, Meksiko dan Afrika Selatan juga akan menjadi target utama diplomasi iklim Inggris dalam dua setengah bulan tersisa sebelum Cop26.

Mantan Presiden Liberia, Ellen Johnson Sirleaf mengatakan, bahwa suara negara-negara miskin juga harus didengar. Pihaknya melihat krisis iklim sudah berlangsung di depan mata dan bagi mereka yang tinggal di belahan dunia bagian selatan, hal ini merupakan keadaan darutat yang sudah dialami.

"Ketika bukti ilmiah meningkat, demikian juga kebutuhan untuk mengatasi kekhawatiran yang meningkat dari negara-negara yang rentan. Ilmu itu kuat, tanggapan terhadap keadaan darurat lingkungan dan hak asasi manusia ini harus sama solidnya," katanya.

Duta Besar Antigua dan Barbuda untuk Perubahan Iklim dan Negosiator Iklim Utama untuk Aliansi Negara-Negara Pulau Kecil, Diann Black-Layne mengatakan, penting bagi kekuatan global dan penghasil emisi besar untuk mengindahkan bukti ilmiah dan mengambil tindakan-tindakan pada gas rumah kaca, serta untuk memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara miskin.

"IPCC mengkonfirmasi pengalaman negara-negara pulau kecil, bahwa topan semakin intens, dan permukaan laut naik, tetapi juga menegaskan bahwa kita masih dapat mengekang yang terburuk. Faktanya adalah bahwa jika kita terus memanaskan hingga 1,5 derajat C, kita masih menghadapi kenaikan permukaan laut setengah meter. Tetapi jika kita menghentikan pemanasan dari mencapai 2 derajat C, kita dapat menghindari kenaikan permukaan laut tiga meter dalam jangka panjang. Itulah masa depan kita, di sana," kata Diann Black-Layne.