Kebijakan Mobilitas di Jakarta Saat Pandemi Rugikan Warga Rentan

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Rabu, 25 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kelompok rentan mengalami dampak lebih besar selama penerapan kebijakan pembatasan akses mobilitas dengan transportasi umum akibat pandemi Covid-19. Hal itu diperparah oleh ancaman kualitas udara yang semakin memburuk di Jakarta. 

Menurut lembaga nonprofit Rame-Rame Jakarta, tenaga kerja sektor informal di Indonesia mencapai 55,72% per Agustus 2019 (BPS). Di Jakarta sendiri, usaha sektor informal menyerap setidaknya 39,01%. Banyak diantaranya adalah penyandang disabilitas. 

Ketua Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) DKI Jakarta Eka Setiawan mengatakan, pembatasan akses seperti pengurangan jam operasional dan jumlah armada transportasi publik, surat vaksin, dan dokumen Surat Tanda Registrasi Pekerja (STRP) menyulitkan.

“Banyak warga disabilitas termasuk pekerja sektor informal. Dengan penyaluran bantuan sosial tunai yang belum merata, warga disabilitas terpaksa keluar rumah untuk bekerja dan transportasi umum menjadi moda yang diandalkan,” katanya dalam diskusi virtual, Selasa, 24 Agustus 2021.

Polusi udara di Jakarta disebabkan oleh lalu lintas dan pembangkit listrik batu bara dari provinsi sekitar. Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace Indonesia

“Setelah pembatasan armada dan kapasitas transportasi umum, ditambah kebijakan STRP dan kartu vaksin, warga disabilitas di sektor informal semakin sulit untuk bermobilitas,” ungkapnya. 

Peneliti Rame-Rame Jakarta Raihana Putri Utami mengatakan, mayoritas pekerja di sektor informal bergantung pada layanan transportasi umum untuk menuju lokasi usaha.

“STRP masih menjadi syarat wajib bagi pengguna layanan transportasi umum (KRL) padahal usaha informal tidak termasuk dalam 3 kategori yang dapat mengajukan STRP,” papar Raihana Putri Utami, peneliti Rame-Rame Jakarta. 

Urban Planning, Gender, and Social Inclusion Associate Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Deliani Siregar mengatakan, selama pandemi kebutuhan bermobilitas masih tinggi. Namun kebijakan pemeirntah bersifat kontraproduktif dan belum inklusif.

“Kebertahanan kota merupakan kemampuan kita untuk mencegah, pulih dari, dan beradaptasi pada bencana dan perubahan yang terjadi dengan tetap mempertahankan keberjalanan fungsi kota,” kata Deliani.

Selain itu, pembatasan layanan transportasi umum pun mendorong penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Hal ini menyumbang emisi gas kendaraan yang merupakan sumber polutan terbesar di DKI Jakarta. 

Menurut Juru Bicara Iklim Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu, ancaman polusi udara semakin memburuk selama pandemi. Berdasarkan analisis, angka PM 2.5 harian naik secara drastis hampir dua kali lipat pada Juli 2021 dibandingkan bulan Juni. 

Angka tersebut melampaui 55 ug/m3 yang merupakan batas Baku Mutu Udara Ambien (BMUA), mengindikasikan status kualitas udara tidak sehat dan tercemar. 

“Menurut data 2019, salah satu sumber polutan terbesar DKI Jakarta adalah asap knalpot, sehingga perlu ada perubahan gaya hidup dan pola mobilitas yang dapat membantu menurunkan tingkat polusi udara, terutama di masa pandemi,” kata Bondan.

Deliani mengatakan agar pemerintah tetap menjalankan penyelenggaraan transportasi publik harus tetap optimum baik secara jumlah armada, jam operasional dan kapasitas 2. Penerapan strategi pembatasan kendaraan bermotor pribadi

“Selain itu, harus ada mitigasi atas ketersediaan fasilitas pendukung alat mobilitas individu berkelanjutan seperti sepeda dan sepeda sewa; serta dukungan penyelenggaraan mobilitas skala lingkungan,” pungkasnya.