Indonesia Harus Lebih Ambisius Tetapkan Target Iklim

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Kamis, 26 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Target iklim Indonesia disebut tidak compatible dengan ambisi Perjanjian Paris mempertahankan kenaikan suhu bumi pada level 1.5C, serta tidak mencerminkan urgensi menghindari perubahan iklim yang dampaknya kini melanda seluruh dunia.

“Target NDC kita 29-41% sebenarnya bukan saja tidak compatible dengan Perjanjian Paris, tapi tidak merefleksikan sense of crisis,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam diskusi virtual, Selasa, 24 Agustus 2021.  

Agar bisa disebut compatible, kata Fabby, emisi gas rumah kaca Indonesia harus turun 30-48% dari level emisi 2015 pada 2030. Caranya adalah kontribusi emisi dari sektor energi harus turun. Sektor lain seperti hutan dan lahan juga tidak boleh menghasilkan emisi lebih tinggi untuk mempertahankan kemampuan carbon sink.

Fabby menjelaskan, agar bisa sesuai jalur dengan target Perjanjian Paris, maka 74% kapasitas pembangkit listrik di Indonesia berasal dari energi terbarukan pada 2030,

Ilustrasi energi terbarukan )lpbi-nu.org)

“Sekarang adalah fase krusial untuk melakukan perubahan fundamental pada sektor energi, mulai dari ketenagalistrikan kita,” kata Fabby.

“Ini tidak mudah tapi kita sedang menghadapi satu kondisi kalo kita tidak act bold, maka nasib dari anak-anak kita ke depan akan terancam,” tegasnya.

Indonesia memiliki target iklim melalui Nationally Determined Contributions (NDC) sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan komunitas internasional.

Koordinator peneliti IESR Pamela Simamora mengatakan, terdapat gap yang besar antara NDC Indonesia dengan yang seharusnya dicapai. Saat ini Indonesia target NDC Indonesia adalah menurunkan emisi sebesar 1900 metrik ton setara karbon (MtCO2e) per tahun hingga 2030.

“Padahal berdasarkan analisis Climate Action Tracker, harusnya emisi yang diturunkan Indonesia adalah 622 juta MtCO2e,” kata Pamela.

Menurut Pamela, targe nol emisi Indonesia harusnya 2050, bukan 2060. “Transisi energi tidak hanya meningkatkan kapasitas energi terbarukan tapi juga menciptakan kesempatan baru dan transformasi energi yang berkeadilan dan inklusif,” kata Pamela.

Pamela mengatakan, saat ini teknologi dekarbonisasi dan energi terbarukan telah semakin murah dan terjangkau. Karena itu dia mendorong agar pemerintah segera membuat perencanaan yang lebih ambisius untuk mencegah krisis iklim di Indonesia.