18 SK Pencadangan Hutan Adat Lagi untuk MHA Tanah Batak

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Sabtu, 28 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut tengah mempersiapkan konsep Surat Keputusan (SK) Pencadangan Hutan Adat, untuk 18 wilayah masyarakat hukum adat (MHA) di Tanah Batak. Sementara jumlah hutan adat yang diusulkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak dan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), untuk ditetapkan pemerintah, jumlahnya sekitar 27 wilayah, yang sebagian di antaranya berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL).

18 SK Pencadangan Hutan Adat tersebut menyusul 5 SK yang salinannya telah Presiden Joko Widodo (Jokowi) serahkan kepada Togu Simorangkir, perwakilan TIM 11 Ajak Tutup TPL, dalam pertemuan empat mata di Istana Presiden, 6 Agustus 2021 lalu.

Perihal 18 SK Pencadangan Hutan Adat itu mencuat dalam Rapat Pimpinan KLHK yang membahas perkembangan permasalahan hutan adat dan pencemaran limbah di lingkungan Danau Toba, yang digelar pada Selasa (24/8/2021) kemarin.

Dalam rapat tersebut disebutkan bahwa tuntutan masyarakat sekitar Danau Toba yang diwakili oleh AMAN Tano Batak, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan KSPPM yang meminta pengakuan hutan adat di sekitar Danau Toba, sebagian sudah ditindaklanjuti oleh KLHK.

Papan penanda wilayah adat yang dipasang Komunitas Masyarakat Hukum Adat Tornauli, Desa Manalu Dolok, Kecamatan Pamonangan, Kabupaten Tapanuli Utara. Wilayah adat Tornauli ini berkonflik dengan areal izin PT TPL./Foto: AMAN Tano Batak

Yang mana sejauh ini Menteri Siti telah menerbitkan 5 SK, terdiri dari 4 SK Pencadangan Hutan Adat untuk wilayah adat Bius Buntu Raja, Golat Simbolon, Huta Sigalapang dan Nagahulambu, dan 1 SK lain tentang Perubahan SK Hutan Adat Tombak Haminjon untuk MHA Pandumaan-Sipituhuta. Secara keseluruhan, luas 4 hutan adat yang dicadangkan, ditambah Hutan Adat Tombak Haminjon, sekitar 7.551 hektare.

Dalam rapat tersebut tersampaikan bahwa saat ini tengah disiapkan konsep SK Menteri LHK tentang Pencadangan Hutan adat bagi 18 wilayah masyarakat hutan adat lain di kitaran kaldera Toba. Hutan adat yang dicadangkan itu terletak di Kabupaten Toba (6 lokasi), Kabupaten Tapanuli Utara (10 lokasi) serta lintas Kabupaten (Toba dan Tapanuli Utara) sebanyak 2 lokasi.

Perkembangan penerbitan SK Pencadangan Hutan Adat di sekitar Danau Toba ini disebut untuk menjawab usulan hutan adat yang diajukan oleh AMAN Tano Batak, BRWA dan KSPPM yang berjumlah 31 lokasi, dengan total luas 43.068 hektare. Yang mana dari jumlah tersebut 18.961 hektare atau 44 persen di antaranya berada di dalam areal kerja PT TPL, dan 24.107 hektare lainnya atau 56 persen berada di luar areal kerja PT TPL.

"Tim Terpadu Penanganan Hutan Adat agar mulai disiapkan untuk melakukan verifikasi teknis di lapangan. Kegiatan verifikasi diprioritaskan pada areal Hutan Adat yang telah tercantum dalam SK Pencadangan Hutan Adat, maupun terhadap areal usulan Hutan Adat yang akan diterbitkan SK Pencadangannya," kata Menteri Siti.

Menteri Siti bilang agar Tim Terpadu melibatkan berbagai unsur pemangku wilayah, baik di pusat, provinsi maupun kabupaten, serta kalangan akademisi. Siti juga meminta agar kerja Tim Terpadu nanti didampingi Wakil Menteri LHK. Pimpinan Tim Kerja Danau Toba dimintanya untuk segera kembali ke lapangan setelah tinjauan akhir Mei lalu. Karena Menteri Siti berpendapat sudah banyak yang perlu dikonfirmasi di lapangan atas perkembangan-perkembangan yang sudah terjadi.

Hutan Adat Berkonflik dengan PT TPL, Kawasan Hutan, Food Estate dan HPL BODT

Terpisah, Koordinator Studi Advokasi KSPPM, Rocky Pasaribu mengungkapkan, dari 5 salinan SK yang diberikan Presiden Jokowi kepada Togu Simorangkir, terdapat 2 hutan adat yang berkonflik dengan PT TPL. Yakni Hutan Adat Tombak Haminjon untuk MHA Pandumaan-Sipitihuta dan hutan adat yang dicadangkan untuk MHA Nagahulambu.

"3 lagi berkonflik dengan klaim kawasan Hutan Negara. Tapi yang mendapatkan pengakuan Hutan Adat hanya Pandumaan-Sipituhuta. Sisanya 4 lagi masih pencadangan," kata Rocky, Jumat (27/8/2021).

Mengenai Hutan Adat Tombak Haminjon yang diberikan kepada MHA Pandumaan-Sipituhuta, terbaru berdasarkan SK.5082/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/8/2021 tentang Perubahan Keputusan Menteri LHK Nomor SK.8172/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2020 tentang Penetapan Hutan Adat Tombak Haminjon Kepada Masyarakat Hukum Adat Pandumaan-Sipituhuta, terdapat perubahan luasnya. Dari yang sebelumnya hanya seluas sekitar 2.393,83 hektare, menjadi seluas kurang lebih 6.186 hektare.

"Sampai sekarang kita belum melihat SK-nya. Tapi kalau merujuk pada Peta Partisipatif Masyarakat, luas wilayah adat Pandumaan-Siputuhuta 6.186 hektare. Terdiri dari perkampungan, persawahan, ladang dan hutan. Dari overlay yang kita lakukan perkampungan itu sekitar 2000 hektere, tidak masuk konsesi (PT TPL). Jadi yang overlap dengan konsesi TPL sekitar 4300-an hektare."

Lebih lanjut Rocky menjelaskan, berdasarkan hasil kompilasi, hutan adat yang diusulkan masyarakat adat melalui KSPPM dan AMAN Tano Batak, untuk ditetapkan pemerintah, jumlahnya ada 27 usulan dengan luas total sekitar 19.268,89 hektare. Lokasinya terletak di Kabupaten Toba, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Samosir dan Simalungun. Jumlah tersebut sudah termasuk Hutan Adat Tombak Haminjon Pandumaan-Sipituhuta dan 3 hutan adat yang sudah dicadangkan untuk MHA Huta Sigalapang, Bius Buntu Raja dan Golat Simbolon.

"Nagahulambu (hutan adat) ada pengecualian kemarin. Pada 2017 sempat kita usulkan. Tapi 2019, mereka sempat memilih mekanisme kemitraan dengan PT TPL sebagai solusi. Jadi sempat kita hilangkan dari daftar usulan hutan adat."

Lebih jauh Rocky mengungkapkan, dari sekitar 19,4 ribu hektare hutan adat yang diusulkan itu, 6.977,1 hektare di antaranya berkonflik atau tumpang tindih dengan areal izin PT TPL. Kemudian sekitar 7.291 hektare tumpang tindih dengan kawasan hutan Negara, sekitar 623,19 hektare masuk dalam areal food estate dan sekitar 220,051 hektare lainnya masuk dalam Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Badan Otorita Pariwisata Danau Toba (BOPDT).

Rocky menjelaskan alasan mengapa yang diterbitkan oleh KLHK baru sebatas Pencadangan Hutan Adat, bukan Penetapan Hutan Adat seperti yang diberikan untuk MHA Pandumaan-Sipituhuta. Status Pencadangan Hutan Adat itu diberikan karena belum ada peraturan daerah (perda) tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang diterbitkan pemerintah daerah (pemda).

"Ini persis seperti yang terjadi 2016 lalu, ketika Presiden memberikan SK Pencadangan Hutan Adat bagi masyarakat Pandumaan-Sipitihuta. Waktu itu Perda belum ada. Tapi harapannya lewat SK Pencadangan ini, Pemda akan termotivasi untuk melakukan percepatan pengakuan masyarakat hukum adat."

Untuk saat ini, lanjut Rocky, hanya Kabupaten Toba dan Tapanuli Utara saja yang sudah ada Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Itupun masih bersifat mengatur, belum ada penetapan satupun masyarakat hukum adatnya. Sedangkan untuk Kabupaten Humbang Hasundutan, sejauh ini baru satu komunitas MHA yang sudah ditetapkan, yakni Komunitas MHA Pandumaan-Sipituhuta.

"Humbang Hasundutan Perda Khusus. Seandainya ada masyarakat adat yang lain mau mengusulkan diri untuk ditetapkan, maka harus kembali dari nol. Itu bedanya dengan Tapanuli Utara dan Toba. Tapanuli Utara dan dan Toba itu (perda) umum, jadi seandainya pun di tahun-tahun kemudian ada masyarakat adat yang meminta untuk diakui, Bupati hanya perlu membentuk panitia, lalu menerbitkan SK-nya," terang Rocky.