Studi: Paus Atlantik Terancam Punah Akibat Krisis Iklim

Penulis : Tim Betahita

Satwa

Selasa, 07 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Studi terbaru dari Journal Oceanography mengatakan, pemanasan di Teluk Maine mengakibatkan populasi paus kanan Atlantik Utara menurun drastis sehingga terancam punah.

Berdasarkan penelitian itu, pemanasan global membuat air laut 99 persen lebih cepat memanas sejak satu dekade terakhir. Hal ini mengakibatkan paus kanan kesulitan mencari makanan utamanya, krustasea berlemak, yang tidak dapat ditemukan di air laut dengan suhu yang tinggi. Akibatnya, paus kanan betina tidak dapat bereproduksi.

“Ketika mereka tidak dapat membangun lapisan lemak yang tebal, mereka tidak dapat berhasil hamil, mengandung dan merawat anak paus,” jelas Erin Meyer-Gutbrod, ahli ekologi kelautan di University of South Carolina dan penulis dari penelitian itu.

Dia mengatakan kepada The Guardian bahwa tingkat kelahiran telah turun secara signifikan sejak 2010, dan pada awal 2018, tidak ada anak paus yang lahir sama sekali.

Paus biru terdampar di Air Cina Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang. FOTO: KLHK

Penelitian itu menjelaskan, adanya kenaikan secara signifikan terhadap paus kanan di Teluk St. Lawrence pada 2015. Hal ini diduga, saat itu paus sedang mencari makanan utamanya di tempat lain.

Sayangnya, kebijakan di Teluk St. Lawrence tidak dapat melindungi para paus kanan seperti di Teluk Maine. Alat penangkap ikan yang perlu dimodifikasi dan ketentuan batas kecepatan kapal, tidak diterapkan di Teluk St. Lawrence. Akibatnya, paus-paus tertabrak kapal dan terjerat alat penangkap ikan.

Selama 10 tahun terakhir, populasi paus kanan menurun 26 persen, meninggalkan hanya 365 Paus Kanan Atlantik di bumi. Dengan jumlah populasi yang menurun secara drastis, pada Juli 2020 Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam (IUC) mengklasifikasi ulang paus kanan sebagai spesies yang terancam punah (critically endangered).

Meyer mengaku kepada The Guardian bahwa penelitian ini didorong akibat peristiwakematian 17 paus kanan besar pada 2017, 12 di antaranya ditemukan di Teluk St. Lawrence.

“Kami biasanya melihat tiga atau empat bangkai paus dalam setahun,” jelasnya. “Jadi tiga atau empat sampai 17 adalah lompatan besar.”

Meyer-Gutbrod merekomendasikan alat tangkap tanpa tali sebagai salah satu cara yang baik untuk mengatasi situasi ini. Tetapi dalam skala yang lebih luas, dia mengatakan penting untuk diingat bahwa kita tidak tahu persis bagaimana spesies akan merespons perubahan iklim. Akibatnya, pejabat perlu meningkatkan upaya pemantauan dan bekerja untuk memprediksi pergerakan saat kondisi berubah.

“Apa yang kita tidak inginkan terjadi adalah paus kanan berpindah ke habitat baru untuk mencari makan dan diri kita tidak siap lagi untuk melindungi mereka di lingkungan baru ini,” katanya. “Jadi itu benar saya pikir untuk paus yang tepat, dan saya pikir secara luas, kita perlu memikirkan spesies lain dan bagaimana mereka dikelola dan mencoba lebih proaktif dalam memprediksi dampak perubahan iklim pada distribusi mereka.”

Di Indonesia sendiri, sebanyak 52 paus pilot sirip pendek terdampar di perairan Bangkalan, Madura pada Februari 2021. Dari 52 hanya 3 ekor yang bertahan hidup. Berdasarkan penelitian Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, secara keseluruhan, faktor utama peristiwa itu adalah krisis iklim yang disebabkan oleh manusia (cuaca ekstrim, pencemaran lingkungan hingga perilaku manusia).

Penulis: Syifa Dwi Mutia, reporter magang di betahita.id