Perusakan Gambut Rawa Tripa: Eksekusi PT Kallista Alam Segera!

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Kamis, 09 September 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Rawa Tripa, lahan gambut seluas 1.000 hektare di Suak Bohong, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh yang dibakar oleh PT Kallista Alam (KA) dalam rentang waktu 2009-2012, belum juga dapat dipulihkan. Proses hukum yang berliku selama 7 tahun terakhir belum juga membuahkan hasil.

Walaupun secara hukum, perkara PT KA sudah memiliki kekuatan hukum mengikat, namun eksekusi belum juga dapat dilakukan. Malahan, gugatan demi gugatan baru bermunculan untuk terus mempersoalkan putusan pengadilan yang menyatakan PT KA telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam hal membuka lahan dengan cara membakar.

Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra berharap agar keadilan dapat diwujudkan dalam sengketa hukum lingkungan PT KA tersebut, dalam hal ini adanya kepastian hukum, maka pihak-pihak berwenang diharapkan dapat segera melakukan beberapa tindakan.

Pertama, berdasarkan putusan PN Makmue tertanggal 26 November 2019 yang menolak gugatan perlawanan eksekusi dari Ilyas cs dan memerintahkan panitera atau wakilnya untuk melakukan lelang atas aset milik PT KA berupa lahan seluas 5.769 hektare beserta bangunan yang ada di atasnya, maka Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama pihak-pihak terkait, termasuk PN Suka Makmue, KPKNL Banda Aceh dan Kepolisian Sektor Nagan Raya, agar melakukan upaya-upaya yang nyata untuk memastikan proses lelang dapat dilakukan secepatnya. Walaupun terhadap putusan tersebut masih dapat dimintakan upaya hukum banding.

Ekosistem gambut Rawa Tripa, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, yang terbakar dan dikonversi menjadi kebun sawit oleh PT Kallista Alam./Foto: Auriga Nusantara.

"Kemudian, Ketua Mahkamah Agung cq. Badan Pengawasan (Bawas) MA serta Komisi Yudisial RI untuk melakukan pengawasan kepada PN Meulaboh dan PN Suka Makmue sebagai institusi yang berhubungan dengan proses eksekusi perkara PT KA, agar menjalankan kewajibannya secara independen," kata Roni Saputra menyampaikan legal opini terkait eksekusi putusan hukum PT Kallista Alam, Rabu (8/9/2021).

Roni menguraikan, pada 2012 lalu, pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggugat PT KA secara perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh. Hasilnya, pada 15 Juli 2014 lalu, PT KA dinyatakan bersalah oleh PN Meulaboh, lewat Putusan No. 12/Pdt.G/2012/PN.Mbo, karena membakar lahan gambut Rawa Tripa seluas 1.000 hektare.

"PN Meulaboh menghukum PT KA untuk membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp114.303.419.000 dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp251.765.250.000. Selain itu, pengadilan juga menyatakan sah dan berharganya sita jaminan atas aset milik PT KA berupa tanah, bangunan di Desa Pulo Kruet, Alue Bateung Brok, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Aceh Barat dengan Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) No. 27 yang luasnya 5.769 Hektare."

Putusan pengadilan itu kemudian mendapatkan perlawanan dari PT KA, dengan melakukan upaya hukum Banding, Kasasi hingga Peninjauan Kembali (PK). Namun, semua perlawanan tersebut sia-sia bagi PT KA. Semua tingkatan pengadilan tersebut memperkuat putusan PN Meulaboh.

"Artinya, sudah tidak ada lagi upaya hukum yang tersedia dan hukuman bagi PT KA sudah memiliki kekuatan hukum mengikat. Sehingga, PT KA harus melaksanakan isi putusan untuk membayar sejumlah denda dan melakukan tindakan rehabilitasi terhadap bekas lahan Rawa Tripta yang terbakar."

Namun, lanjut Roni, alih-alih menjalankan isi putusan secara sukarela, PT KA malah mengajukan gugatan baru terhadap KLHK dan sejumlah pihak terkait lainnya ke PN Meulaboh, dengan alasan adanya kesalahan titik koordinat dari objek perkara di dalam sejumlah putusan terdahulu. Kesalahan koordinat dimaksud dijadikan dasar oleh PT KA, agar PN Meulaboh membatalkan putusan PK dari Mahkamah Agung (MA) karena dianggap tidak mempunyai kekuatan eksekutorial (non-executable).

Walaupun sempat dikabulkan oleh PN Meulaboh, dengan Putusan No. 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo, namun gugatan PT KA itu kemudian gugur oleh upaya hukum Banding yang dilakukan oleh KLHK di Pengadilan Tinggi (PT) Banda Aceh lewat Putusan No. 80/PDT-LH/2018/PT.BNA.

Guna menghentikan perlawanan PT KA, KLHK mengajukan permohonan eksekusi kepada PN Meulaboh. Pengadilan menindaklanjutinya dengan melakukan teguran (aanmaning) hingga dua kali kepada PT KA, yang terakhir dilakukan pada tanggal 21 Januari 2019. Namun, PT KA maupun kuasanya tidak pernah menggubrisnya. Pada tanggal 22 Januari 2019, Ketua PN Meulaboh mengeluarkan penetapan lelang aset PT KA yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada Ketua PN Suka Makmue, Kabupaten Nagan Raya.

"Lagi-lagi, Negara gagal mendapatkan haknya dan nasib pemulihan Rawa Tripa semakin tak tentu ujung rimbanya. Proses lelang tidak berjalan sebagaimana mestinya. PT KA dan sejumlah kelompok masyarakat melayangkan gugatan perlawanan eksekusi ke PN Suka Makmue, total terdapat 5 gugatan."

Roni melanjutkan, para penggugat pada intinya mengklaim memiliki hak atas tanah di lahan eks. HGU PT KA seluas 1.605 hektare yang akan direhabilitasi. Mereka mendalilkan telah memiliki hak tersebut jauh sebelum lahan tersebut terbakar.

Namun setelah dicermati, terdapat kejanggalan dari tuntuan (petitum) sejumlah gugatan yang dilayangkan. Mereka meminta kepada Majelis Hakim yang menyidangkan agar menyatakan putusan pengadilan sebelumnya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. Sebagai upaya hukum terhadap proses eksekusi, permintaan tersebut tidak ada padanan hukumnya karena yang digugat hanyalah pelaksanaan eksekusi bukan putusan secara keseluruhan.

"Jikapun dikabulkan, maka putusan hanya akan berdampak pada jumlah dari objek yang akan dieksekusi, bukan terhadap amar putusan yang telah menyatakan PT KA bersalah karena membuka lahan dengan cara membakar. Tidak berlebihan kiranya, jika gugatan ini merupakan upaya untuk menghalang-halangi jalannya eksekusi aset PT KA dan juga berikutnya upaya pemulihan terhadap Rawa Tripta."

Di penghujung 2019 lalu, tepatnya pada 26 November, PN Suka Makmue mengeluarkan Putusan dari salah satu gugatan perlawanan eksekusi. Majelis Hakim secara bulat menolak perlawanan tersebut dengan menyatakan gugatan pelawan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijk Verklaard). Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim beralasan, para pelawan tidak ada legal standing karena tidak ada hubungan hukum antara pelawan dengan objek yang akan dieksekusi.

Karena berdasarkan sidang pemeriksaan setempat yang dilakukan pada 29 Juli 2019 lalu, terbukti jika lahan warga tersebut berada di luar lahan konsesi milik PT KA seluas 1.000 hektare yang dinyatakan terbakar. Berdasarkan putusan tersebut, PN Suka Makmue mengeluarkan Surat Penetapan Eksekusi bernomor 1/pdt.x/lelang/delegasi/2019/pnskm untuk melelang aset PT KA yang berupa lahan seluas 5.769 hektare, yang telah dijadikan sita jaminan di hadapan Kantor Pelayanan Keuangan Negara Dan Lelang (KPKNL).

"Kurang lebih 7 tahun sudah Rawa Tripa menunggu untuk pemulihan. Semua pihak yang berkepentingan harus mengawal Penetapan PN Suka Makmue tersebut untuk dijalankan sesegera mungkin. Yang mana, semua upaya yang sudah dilakukan adalah untuk memulihkan lingkungan Rawa Tripa yang dirusak agar dapat kembali berperan kembali sebagai pengatur siklus air tawar dan banjir, serta benteng alami jika suatu hari nanti terjadi bencana tsunami di pantai barat Provinsi Nangroe Aceh Darussalam," tutup Roni.