Peneliti: Bahan Bakar Fosil Biarkan Tetap di Tanah
Penulis : Tim Betahita
Energi
Jumat, 10 September 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Penelitian yang diterbitkan pada jurnal Nature, menemukan bahwa hampir 90 persen batu bara dan 60 persen sisa minyak dan gas yang ada di bumi harus tetap ada berada dalam tanah pada 2050.
Para ilmuwan menggarisbawahi, sebagian besar wilayah di dunia harus mencapai puncak produksi bahan bakar fosil sekarang atau 10 tahun kedepan untuk menghindari ambang krisis iklim.
"Pemotongan drastis dalam produksi bahan bakar fosil diperlukan segera agar dapat bergerak menuju batasan pemanasan global hingga 1,5 derajat," jelas Dan Welsby, penulis utama laporan dan peneliti di University College London, pada konferensi pers Selasa lalu. "Tetapi ‘lintasan’ produksi bahan bakar fosil saat ini dan yang ditunjukkan secara global ‘menggerakkan’ kita ke arah yang salah."
Para ilmuwan mengatakan, hanya dengan pemotongan cepat dan parah terhadap emisi gas rumah kaca dan menghilangkan karbon dari atmosfer, kita dapat menghentikan tren pemanasan global yang ekstrem.
"Pilihannya adalah untuk benar-benar dekarbonisasi mulai dari sekarang, daripada menaikkan atau meningkat emisi global," jelas James Price, rekan penulis studi itu dan asosiasi peneliti di University College London, kepada CNN. "Kita perlu mendekarbonisasi secepat mungkin untuk meningkatkan peluang kita tetap di bawah 1,5 derajat."
Bahan bakar fosil menyumbang lebih dari 80% dari konsumsi energi global sehingga para peneliti mendesak untuk menekan produksi turun secara substansial. Sayangnya, banyak proyek ekstraksi bahan bakar fosil yang sudah direncanakan dan sedang beroperasi yang tersebar luas di dunia. Ini berpeluang untuk merusak dunia dan menggagalkan batas target pemanasan global sesuai kesepakatan Perjanjian Paris 2015.
Berdasarkan penelitian itu, produksi minyak dan gas harus menurun 3 persen setiap tahunnya hingga 2050, ini peringatan bagi produsen yang mengandalkan keuntungan berkelanjutan dari produksi bahan bakar fosil.
Untuk batu bara, Welsby mengatakan bahwa semua wilayah harus mencapai produksi puncak, sebuah hal yang menjanjikan jika melihat produksi puncak pada 2013, meskipun banyak negara masih bergantung pada bahan bakar tersebut. Untuk minyak, semua wilayah seharusnya sudah mencapai puncaknya sekarang atau pada tahun 2025. Sementara untuk gas, prospeknya bervariasi tergantung pada wilayahnya.
"Kami menemukan bahwa di beberapa bagian Eropa, AS, Rusia, dan Kaspia, produksi gas perlu mencapai puncaknya sekarang," jelas Welsby. "Penurunan produksi ini diimbangi dengan peningkatan produksi hingga tahun 2030-an di Timur Tengah, Afrika, dan bagian lain dari negara berkembang Asia. Sebagian besar peningkatan produksi di wilayah tersebut disebabkan oleh pertumbuhan permintaan domestik yang kuat, terutama di pembangkit listrik dan industri."
Penelitian ini memperjelas satu hal: investasi bahan bakar fosil yang dilakukan hari ini berisiko menelantarkan krisis iklim di masa depan.
Ketika negara-negara semakin serius menangani krisis iklim, Steve Pye, salah satu penulis studi tersebut, mengatakan, ekonomi dari investasi semacam itu ‘akan mulai terlihat semakin bermasalah.’
"Ada risiko transisi utama, didorong oleh penurunan permintaan [bahan bakar fosil] karena peningkatan teknologi energi bersih," tambahnya, "dan juga meningkatnya tekanan pada aktivitas berbasis produksi itu sendiri oleh investor dalam bentuk aktivisme pemegang saham atau undang-undang baru."
Berdasarkan laporan tahun 2020 oleh Institut Lingkungan Stockholm dan Program Lingkungan PBB, beberapa negara mengalami peningkatkan rata-rata produksi bahan bakar fosil sebesar 2% per tahun, menghiraukan target yang ketat dan signifikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Para peneliti mengatakan itu perlu segera diubah. Negara-negara dengan cadangan bahan bakar fosil terbesar memiliki pengaruh global terbesar untuk membatasi perubahan iklim. Indonesia sendiri, diperkirakan memiliki cadangan gas untuk lebih dari 20 tahun, dilansir dari katadata.co.id.
Sementara itu, semua wilayah penghasil minyak—kecuali AS— akan mengalami penurunan produksi yang kuat menjelang tahun 2050. AS tidak akan mencapai puncaknya hingga tahun 2025, menurut penelitian, sebelum menurun karena anjloknya impor minyak dan penggunaan bahan bakar fosil yang terus berlanjut. bahan bakar di sektor transportasi.
"Penelitian ini benar-benar membahas gajah di dalam ruangan," jelas Maisa Rojas Corradi, koordinator penulis utama laporan utama PBB tentang perubahan iklim, tetapi tidak terlibat dengan penelitian ini, kepada CNN.
"Kami telah mengetahui sejak kami menandatangani Perjanjian Paris pada tahun 2015, bahwa ini berarti kami harus berhenti membakar bahan bakar fosil pada pertengahan abad ini," tambahnya. "Selama enam tahun, kita telah mengetahui konsekuensi logisnya adalah bahwa ada banyak bahan bakar fosil yang tidak dapat diekstraksi. Sangat bagus bahwa penelitian ini menunjukkan dengan sangat jelas dengan istilah yang sangat praktis, arti sebenarnya."
Penelitian ini didasari pada penelitian sebelumnya yang diterbitkan pada 2015, yang memperkirakan lebih dari 30% cadangan minyak, hampir 50% cadangan gas, dan lebih dari 80% cadangan batu bara tidak boleh diekstraksi pada 2050 untuk berhenti bergerak menuju pemanasan global 2 derajat celcius lebih tinggi dari tingkat pra-industri.
Perkiraan terbaru dalam penelitian ini mengungkapkan angka yang lebih tinggi dan menilai cadangan hingga 2100 di bawah skenario 1,5 derajat. Temuan itu menunjukkan bagian cadangan bahan bakar fosil —58% untuk minyak, 59% gas alam, dan 89% batu bara pada tahun 2050— yang dianggap ekonomis saat ini tidak dapat ditarik di bawah target global 1,5 derajat.
Terlepas dari apa yang diperlukan untuk menghindari perubahan iklim yang kritis, para peneliti mengatakan negara-negara masih memiliki perjalanan yang panjang, yang berarti perlu ada tindakan segera mungkin. Untuk melakukannya, Pye mengatakan, produsen bahan bakar fosil dan investor perlu menyadari bahwa ekstraksi lebih lanjut tidak lagi cocok untuk bumi ini. Negara-negara maju juga perlu membantu mereka yang masih melakukan industrialisasi untuk menghentikan tren tersebut.
"Ada banyak hal yang dapat dilakukan negara maju untuk membantu mendukung transisi yang adil," jelas Pye. "Dan itulah satu-satunya cara kita akan mendapatkan dukungan dari berbagai negara yang lebih luas untuk benar-benar mendiversifikasi ekonomi dari minyak dan gas."
Penulis: Syifa Dwi Mutia, reporter magang di betahita.id