Badan Geologi Beberkan Adanya Potensi Tanah Jarang di Indonesia

Penulis : Tim Betahita

Tambang

Senin, 13 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Logam tanah jarang atau rare earth element kini sangat dibutuhkan. Sebab rare erarth merupakan bahan baku baterai, telepon seluler, komputer, industri elektronika hingga pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT), seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/ Angin (PLTB). Lalu, bisa juga untuk bahan baku industri pertahanan hingga kendaraan listrik.

Menurut Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono Indonesia belum memproduksi logam tanah jarang ini, meski memiliki sumber dayanya.

Eko mengatakan, di Indonesia ada tiga potensi mineral yang mengandung logam tanah jarang, di antaranya dari pertambangan timah dan sudah dikonfirmasi keberadaannya. Lalu, dari tambang bauksit dan ketiga dari nikel scandium.

Menurutnya, Badan Geologi Kementerian ESDM sudah melakukan survei mengenai LTJ sejak 2009 sampai dengan 2020. Namun sayangnya, belum seluruh wilayah Indonesia disurvei karena keterbatasan sumber daya.

Tambang timah ilegal di kawasan hutan produksi Sungai Liat Mapur, Bangka. Foto: Istimewa

"Kalau kita lihat logam tanah jarang di Indonesia, ada di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dengan berbagai endapan," ungkapnya dalam Closing Bell CNBC Indonesia.

Eko menjabarkan, di Tapanuli, Sumatera Utara terdapat sumber daya LTJ sebesar 20.000 ton. Lalu, di Bangka Belitung ada mineral monasit yang mengandung logam tanah jarang, dan monasit ini dijumpai bersama endapan timah dengan sumber daya sekitar 186.000 ton.

"Di Kalimantan, ada kajian di Kalimantan Barat potensi logam tanah jarang dalam bentuk laterit 219 ton dan Sulawesi 443 ton," imbuhnya.

Namun demikian, dia mengakui bahwa sampai saat ini data mengenai LTJ baru sebatas sumber daya dan belum ada data mengenai cadangan karena belum dieksplorasi lebih lanjut.

"Saat ini baru sebatas sumber daya," ujarnya.

Kendala utama dalam mengembangkan LTJ, imbuhnya, adalah infrastruktur, belum adanya data cadangan, dan juga tata kelola belum diatur.

Mengenai infrastruktur, menurutnya perlu dilihat dari hulu sampai ke hilir. Di sisi hulu, menurutnya perlu dilihat ada inventori berapa. Lalu di sisi industri, perlu didukung oleh industri ekstraksi sesuai karakter LTJ sampai hasil akhirnya logam tanah jarang.

"Pengembangan industri hilir yang berbasis pada logam tanah jarang perlu didukung kebijakan kuat dari kementerian dan lembaga berkaitan dengan LTJ. Ini perlu ada regulasi dari hulu-hilir," paparnya.

Dari sisi regulasi, menurutnya perlu mencakup dari mulai proses penambangan, pengolahan ekstraksi, sampai dengan pemanfaatan di industri berbasis pada logam tanah jarang.

"Kendalanya, belum ada infrastruktur industri logam tanah jarang, data cadangan LTJ belum tersedia, dan tata kelola belum diatur. Masalah mendasar belum diketahui pasti potensi tanah jarang Indonesia, tapi dapat diusahakan," jelasnya.

Sementara itu, pilot plan dari monasit juga belum dikembangkan dalam skala industri. LTJ dari ikutan penambangan timah menurutnya juga belum dimanfaatkan.

"Terkait dengan inventarisasi IUP timah, perlu lagi bekerja sama dengan memberi akses Badan Geologi untuk hitung berapa potensi di sana," ujarnya.