Mengubur Inpres Moratorium Sawit
Penulis : Aryo Bhawono
Sawit
Jumat, 24 September 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Kebijakan moratorium sawit berakhir pada Minggu lalu (19/9/2021). Perjalanan kebijakan yang diharapkan mencegah bertambahnya deforestasi akibat perkebunan ini terseok-seok di perjalanannya dan justru tergulung oleh UU Cipta Kerja di akhir masa berlakunya .
Harapan untuk mengurangi deforestasi melalui kebijakan yang tertuang melalui Instruksi Presiden No.8 Tahun 2018 Tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit sudah lenyap. Tak ada kabar dari pemerintah untuk melanjutkan kebijakan ini setelah melewati masa berlaku.
Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Adrianus Eryan, merasa pesimis kebijakan ini akan dilanjutkan. Paling tidak ada dua asumsi yang mendasari pesimisme ini, pertama adalah alasan pandemi.
“Kalau kita lihat timeline-nya, pemerintah konsolidasi untuk instruksi di akhir tahun 2019 tetapi tiga bulan kemudian pandemi, itu mungkin menjadi alasan,” ucap dia ketika dihubungi betahita.
Kedua, adalah tidak adanya niat politik untuk menyelesaikan soal kegiatan ilegal perkebunan melalui mekanisme inpres. Jika persoalan ini dilakukan melalui mekanisme inpres maka perkebunan ilegal akan ditinjau ulang dan akan dipidanakan.
Namun UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, yang disahkan DPR pada 5 Oktober 2020, memberikan mekanisme lain. Aturan turunan UU Cipta Kerja mengenai mekanisme aktivitas ilegal, yakni Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
“Kalau tadi di inpres kan kalau ada yang ilegal di dalam kawasan hutan dievaluasi, kalau yang ini justru dimaafkan dan dia boleh melakukan kegiatan asalkan sudah membayar denda. Semangat penyelesaiannya itu denda,” jelasnya.
Aturan turunan omnibuslaw ini, menurut Adrianus, merusak tindak lanjut inpres yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah, salah satunya di Provinsi Papua Barat. Mereka sudah melakukan pendataan terhadap 300 -an ribu ha kawasan hutan yang dipakai untuk perkebunan tanpa izin.
Tetapi dengan PP No. 24 Tahun 2021 maka kawasan hutan itu akan bisa dibuka kembali untuk perkebunan asalkan perusahaan membayar . “Ini kan sama saja omong kosong,” keluhnya.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Muhammad Busyrol Fuad, menyebutkan selain PP No.24 Tahun 2021 terdapat aturan turunan omnibuslaw satu lagi yang merusak arah inpres moratorium sawit, yakni PP No. 23 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Aturan itu membuka celah untuk konversi kawasan hutan menjadi perkebunan.
Dua aturan ini menunjukkan bahwa pemerintah sudah memalingkan mukanya terhadap kebijakan moratorium sawit.
“Perbaikan tata kelola sawit melalui dua aturan ini agak susah karena seharusnya evaluasi total. Evaluasi ini tadinya dibawa oleh inpres moratorium sawit tetapi sekarang jadi buyar dengan dua aturan itu,” ucap dia.
Pegiat lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Moratorium Sawit sendiri masih mencatat bahwa implementasi inpres moratorium sawit hingga 2,5 tahun pada Juni 2021 lalu masih minim. Catatan ini mereka tuliskan dalam Kertas Kebijakan bertajuk ‘Urgensi Perpanjangan Moratorium Sawit Untuk Mempercepat Perbaikan Tata Kelola Sawit Indonesia’.
Pemerintah baru berhasil menetapkan konsolidasi data dan menyelesaikan penghitungan luasan perkebunan sawit yang tertuang dalam Kepmentan Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019. Sedangkan langkah evaluasi yang sudah ‘terlanjur’ dilakukan oleh pemerintah daerah, seperti Papua Barat, kini pun sia-sia.