Mereka yang Terjepit Konflik Gajah Vs Manusia
Penulis : Aryo Bhawono
Satwa
Minggu, 26 September 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Umpatan dan acungan parang menyambut L. Andreas Sarwono dan rombongannya ketika hendak masuk ke sebuah desa di Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi. Kala itu, maksud kedatangannya baik, Andreas dan tim hendal membantu menghalau gajah yang diduga masuk desa itu. Namun warga sudah menganggap mamalia besar itu sebagai pengganggu, sontak Andreas pun terjepit di tengah konflik antara gajah dan warga.
Kala itu 2017, desa itu masuk dalam perlintasan gajah Sumatera di Jambi. Beberapa gajah diduga masuk ke kebun warga. Andreas bersama timnya dari Yayasan Konservasi Satwa Liar Indonesia (YKSLI) tengah berpatroli mereka ingin memastikan keberadaan gajah dan menggiringnya keluar.
“Kami dilarang masuk, suasananya seperti perang. Ada petasan, umpatan, hingga ancaman parang. Kalau tak ingat tugas, sudah ribut itu,” ucap lelaki yang kini duduk sebagai Koordinator. Bidang Komunikasi dan Jurnalistik FKGI ketika ditelepon betahita.
Cacian warga sudah menjadi hal lumrah bagi pegiat konservasi gajah di lapangan. Mereka terhimpit dalam konflik manusia dan gajah. Caci maki itu tak pandang bulu beberapa relawan yang berasal dari desa itu juga kena makian.
Andreas dan rekannya mafhum dengan kemarahan itu. Mereka mundur lalu mencari jalan lain untuk memastikan gajah tak dilukai. Kalau semua jalan tertutup terkadang mereka meminta tolong kenalan yang kebetulan tinggal di desa itu, sekedar meminta informasi keberadaan gajah.
Andreas sendiri duduk sebagai ketua YKSLI di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Ia mengaku tak mudah menjalankan tugas sebagai pegiat konservasi gajah di tapak.
Menurut catatannya pada 2011 ada dua kelompok besar gajah Sumatera di kawasan Jambi, yakni kelompok Jambi-Riau sebanyak 33 ekor dan Kelompok Sumay sebanyak 99 ekor. Kini kemungkinan mereka sudah menjadi satu kelompok dengan jumlah 100-120 ekor.
Daya jelajah mereka 80 persen berada di luar taman nasional. Jalur gajah Sumatera di Jambi banyak beririsan dengan lahan garapan milik warga dan perusahaan, apalagi habitat mereka semakin mengecil dengan perambahan hutan. Tak ayal konflik antara manusia dengan satwa pun sering terjadi.
Menurutnya sepanjang organisasinya aktif, 2015-2019, rentang konflik antara warga dengan gajah Sumatera tak pernah surut. Pegiat satwa di tapak pun rutin menjumpai amarah warga karena gajah.
Kerja keras tak hanya untuk menengahi konflik satwa dengan warga. Andreas bercerita timnya pernah mengawal pejantan gajah Sumatera yang dipindahkan ke Hutan Harapan di perbatasan Jambi dengan Sumsel selama tiga bulan.
Gajah itu dipindahkan untuk menambah jumlah gajah jantan karena di hutan harapan hanya terdapat satu ekor gajah jantan sedangkan betinanya berjumlah tujuh. Mereka membututi gajah itu setiap hari agar ketika menjelajah tidak diburu ataupun terlibat konflik dengan warga. Padahal sekali menjelajah gajah jantan itu mencapai jarak tempuh 50 km.
“Disana konfliknya tinggi dan warganya emosian karena tak begitu familiar,” jelasnya.
Advisory Head Flora Fauna Aceh, Dewa Gumay, mengungkap konflik dan tingkat kesulitan pegiat konservasi gajah Sumatera di Aceh tak seberat di daerah lain. Kawasan hutan yang masih luas mengurangi konflik antara satwa dengan warga. Namun seiring dengan pembukaan kawasan hutan konflik mulai terjadi.
Ketika konflik GAM berlangsung, penduduk maupun korporasi, tak menjamah hutan. Pihak GAM dan tentara pun tak mau macam-macam ketika bertemu gajah, alhasil populasi gajah masih bagus. Kini Aceh menampung sekitar seribuan gajah di tujuh kantong aktif.
Dewa menganggap Provinsi Aceh lebih siap melakukan konservasi satwa liar, termasuk Gajah dengan warisan hutan yang tak terjamah itu. Satwa yang melimpah dan habitat tak terjamah ini menjamin kesejahteraan satwa liar.
Konflik dengan warga maupun korporasi justru terjadi tujuh tahun belakangan ketika mulai terjadi pembukaan hutan. Apalagi jika ketemu perkebunan sawit, Gajah gemar makan tanaman itu karena pelepah. Bahkan satu malam mereka bisa menghabiskan sawit satu hingga dua hektar, setelah itu mereka bergeser ke wilayah lain.
Dewa menyebutkan salah satu kematian tak alami yang menjadi perhatian itu mulai dari temuan lima mayat gajah yang diduga kena setrum pagar listrik milik PT. Aceh Jaya pada awal 2020.
Menurutnya peristiwa itu menuntut pegiat konservasi di tapak untuk bekerja keras melakukan mitigasi. Kematian gajah semacam ini bakal semakin banyak jika mitigasi tidak dilakukan.
Apalagi di Aceh dari 170 perusahaan perkebunan baru 17 yang memiliki mandatory Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Artinya baru 10 persen yang memiliki fasilitas untuk mendukung satwa liar di sekitar perkebunan.
Selain itu perburuan kini juga menjadi ancaman bagi gajah Sumatera di Aceh. Pada Agustus lalu misalnya, polisi menangkap lima orang yang meracuni gajah dan mengambil kepalanya. Diduga mereka terlibat dalam perburuan liar.
“Jadi semakin hutan itu terbuka maka satwa, termasuk gajah Sumatera, ancamannya bertambah. Ini yang harus dijaga. Dan teman-teman di lapangan itu sedang bekerja keras karena tak rela gajah mati,” jelasnya.
Tulisan ini merupakan bagian keempat dari seri liputan “Konservasi Gajah yang Kini Punah Arah”.