Greta: Inggris Penjahat Iklim
Penulis : Tim Betahita
Perubahan Iklim
Kamis, 30 September 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Aktivis muda pengkampanye dampak negatif perubahan iklim, Vanessa Nakate dan Greta Thunberg mengecam para pemimpin dunia atas kegagalan mereka menepati janji membantu mendanai negara-negara miskin, untuk beradaptasi dengan ancaman perubahan iklim.
Pernyataan itu terlontar dalam pertemuan puncak Youth4Climate yang dihadiri empat ratus aktivis lingkungan dari 180 negara di ibukota keuangan Italia, Milan. Pertemuan selama tiga hari itu pada akhirnya akan menghasilkan rekomendasi untuk pertemuan puncak iklim PBB di Glasgow, Skotlandia, yang akan dimulai pada 31 Oktober mendatang.
Dalam sebuah wawancara dengan lembaga penyiaran Inggris Sky News, Thunberg dan Nakate menggambarkan Inggris, yang akan menjadi tuan rumah KTT iklim bulan depan, sebagai "salah satu penjahat iklim terbesar".
Inggris sendiri telah berjanji untuk mengurangi emisi karbonnya menjadi nol pada tahun 2050, dan Perdana Menteri Boris Johnson telah memperjuangkan perluasan energi terbarukan, dengan mengatakan Inggris bisa menjadi "Arab Saudi untuk energi angin."
Namun ia dikecam para pencinta lingkungan karena gagal menghentikan pengeboran minyak baru di Laut Utara Inggris dan proposal tambang batu bara baru di barat laut Inggris.
Soal Greta si Cerewet
Greta adalah bocah perempuan asal Swedia yang selalu berkicau soal dampak negatif perubahan iklim. Greta memulai gerakan advokasi lingkungannya dengan cara mogok sekolah pada usia 15 tahun, Agustus 2018. Ia melakukan aksi tiga pekan sebelum Swedia, negara tempat tinggal Greta, melakukan pemilu.
Friday for Future (FFF) boleh dikatakan menjadi pengembangan gerakan mogok sekolah Greta. Aksi ini memberikan tekanan kepada pemerintah untuk memenuhi target emisi karbon. Aksi serupa dilakukan lebih dari 20 ribu pelajar Inggris hingga Jepang pada Desember 2018, tujuannya menagih politisi memberikan kebijakan penanganan perubahan iklim.
BBC menuliskan setahun setelah aksi ini ia duduk sebagai nominasi Nobel Perdamaian untuk aktivis iklim. Aksinya tak pernah surut walau ia mengidap sindrom Asperger, gangguan neurologis yang tergolong ke dalam gangguan spektrum autisme.