Tak Ada Energi Baru Dalam RUU Energi Baru Terbarukan

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Kamis, 07 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  RUU Energi Baru Terbarukan (EBT) memasukkan nuklir, gasifikasi batubara, dan batubara cair sebagai bagian dari EBT. Keputusan ini kontroversial karena EBT masih menggunakan bahan berbasis fosil dan memiliki risiko lingkungan tinggi. 

Deputi Direktur Program ICEL, Grita Anindarini, mengungkap masuknya nuklir, batubara cair, dan gasifikasi batubara dalam RUU EBT tak sesuai dengan semangat mengurangi karbon dan risiko kerusakan lingkungan untuk menangani perubahan iklim. Gasifikasi batubara dan batubara cair masih berbasis energi fosil dan menghasilkan karbon yang tinggi. Sedangkan energi nuklir sendiri memiliki risiko tinggi terhadap lingkungan dan manusia. 

“Nuklir, gasifikasi batubara, dan batubara itu bukan solusi untuk keluar dari ancaman perubahan iklim,” ucap dia dalam ‘Diskusi Publik: Energi Baru Terbarukan Tapi Gak Baru?’ yang digelar change.org pada Rabu (6/10). 

Menurutnya RUU EBT ini justru memberi ruang kepada pengusaha batubara karena memberikan berbagai insentif kepada pelaku usaha yang membangun pembangkit listrik berbahan fosil.

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap batu bara. Foto: Getty Images

Selain itu pemanfaatan nuklir sudah diatur dalam perundangan sendiri, yakni UU No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran. Adanya peraturan ini seharusnya DPR tidak memasukkan nuklir dalam RUU EBT karena menyebabkan tumpang tindih aturan. 

Komisi VII DPR telah menyelesaikan pembahasan RUU Energi Baru Terbarukan (EBT). Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PPP, Anwar Idris, menyebutkan komisinya telah menyerahkan draf perundangan itu kepada badan legislatif untuk pembahasan lanjutan dan harmonisasi. 

“Sekarang di Komisi VII sudah selesai dan status sudah di Baleg (badan legislatif),” ucapnya.

Anggota komisi setuju jika gasifikasi batubara, batubara cair, dan nuklir menjadi bagian dari EBT. Rekan-rekannya di parlemen beranggapan klasifikasi batubara cair dan gasifikasi batubara sebagai EBT merupakan titik tengah atas kontroversi keberadaan bahan bakar fosil dalam RUU ini. 

Selama ini kapasitas pembangkit listrik di Indonesia mencapai daya 71 Giga Watt (GW). Mayoritas daya tersebut didukung oleh pembangkit listrik dengan bahan batubara, yakni mencapai 35,36 persen. Sedangkan energi terbarukan baru mencapai 10,9 persen.

Angka ini menunjukkan dominasi batubara sebagai sumber energi listrik masih dominan. Makanya proses pengaturan EBT harus mengakomodir kemampuan dan kepentingan ekonomi. Ketergantungan terhadap batubara ini tidak bisa langsung dilakukan karena kepentingan tersebut.

“Ini butuh proses jadi tidak bisa langsung karena biaya mahal,” ucap dia.

Anggota Komisi VII dari Fraksi PKS, Mulyanto, mengungkap masuknya pembangkit listrik tenaga nuklir dalam perundangan ini untuk memperketat regulasi pemanfaatan nuklir. Ia mengakui sudah ada regulasi mengenai nuklir yakni UU No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran. 

“Masuknya nuklir di RUU EBT untuk mengoptimalisasi implementasi agar sesuai dengan kondisi dan keuangan masyarakat,” ucapnya. 

Bahkan pengaturan nuklir dalam RUU EBT justru memperketat pemanfaatan nuklir sebagai sumber energi pembangkit listrik. Pengetatan ini antara lain pihak yang membangun PLTN hanya BUMN Khusus, soal perizinan dua lapis diantaranya Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) dan pemerintah pusat, serta lainnya. 

Namun ia memastikan pembangunan PLTN sendiri tidak menjadi prioritas dalam waktu dekat.