Beban Petani Sawit Swadaya: Sertifikasi Kebun Sawit dan Tantangan

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Sabtu, 09 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuestus Darto mengatakan, petani sawit swadaya masih kesulitan mengurus sertifikasi keberlanjutan. Ini dapat menjadi hambatan dalam menghadapi tren pasar yang semakin mementingkan praktik keberlanjutan.

Pemerintah Indonesia juga mewajibkan pekebun sawit, termasuk petani sawit swadaya tersertifikasi pada 2025 melalui skema Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Salah satu syarat untuk mengurus sertifikat ini adalah dengan menyerahkan dokumen kepemilikan lahan.

Namun, Darto menyebut hal tersebut beban bagi petani kecil. Pasalnya saat ini banyak petani yang tidak memiliki sertifikat hak milik atau dokumen kepemilikan lainnya. Biaya yang cukup besar membuat petani enggan mengurusnya. 

Di Pulau Kalimantan, misalnya, petani harus mengeluarkan duit sebesar Rp 3 – 5 juta per hektare untuk mengurus sertifikasi. Jumlah tersebut terbilang cukup besar. Sementara itu rata-rata luas lahan yang dikelola petani kecil adalah 0,26 hektare hingga 6 hektare.

Ilustrasi seorang petani sawit memanggul tandan buah segar. Foto: WRI Indonesia.

“Mereka kesulitan akses itu karena harus mengeluarkan biaya cukup besar. Banyak petani berpikir uang sebesar itu untuk membeli pupuk,” jelas Darto dalam diskusi publik pekan ini.

Tantangan lain yang dihadapi petani sawit swadaya adalah keterbatasan pilihan dalam menjual hasil kebun. Saat ini banyak petani menjual ke tengkulak, karena tidak memiliki akses menjual ke pabrik. Pasalnya, akses penuh ke pabrik dikuasai oleh pihak yang disebutnya individual grower.

Banyaknya tantangan itu otomatis menyulitkan petani untuk mencapai pasar yang lebih luas, seperti pasar global. Apalagi saat ini belum ada kelembagaan yang mendukung pengembangan dan perbaikan kapasitas petani terkait praktik pengelolaan kebun.