GLOW Bakal jadi Tekanan bagi Ekosistem Kebun Raya Bogor
Penulis : Syifa Dwi Mutia
Ekosistem
Senin, 11 Oktober 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Rencana atraksi sinar lampu malam, Glow, di Kebun Raya Bogor, tidak henti-hentinya menjadi perbincangan di kalangan masyarakat dan para peneliti.
Pada akhir September lalu, Arsitektur Lanskap IPB mengadakan webinar bertema “Apa Kata Mereka tentang Kebun Raya?” yang dihadiri oleh berbagai kalangan pecinta kebun raya di kota hujan itu.
Dalam diskusi itu, Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB, Dr. Melani Abdulkadir-sutino, menyayangkan sekali adanya aktivitas-aktivitas yang dapat memberikan tekanan terhadap ekosistem Kebun Raya.
“Aktivitas-aktivitas yang memberi tekanan dari dalam, tidak cuma GLOW, jalan ginco yang disemen dan sebagainya, perubahan-perubahan itu adalah tekanan yang kemudian dari luar dan kemudian ada lagi dari dalam,” ujar Melani.
“Saya agak khawatir bahwa ekosistem itu akan runtuh seperti ada satu jerami diletakkan di keledai yang sudah sangat keberatan dengan segala bebannya. Apa kita seburuk itu sebagai orang?” lanjutnya.
Ia menjelaskan, Kebun Raya Bogor merupakan ekosistem yang sudah terbentuk selama lebih dari 200 tahun, dan sepanjang proses itu Kebun Raya telah mengelola diri dengan sangat luar biasa ketika menghadapi tekanan dari luar. Untuk itu, ia sangat menghimbau untuk tidak melakukan aktivitas yang dapat memberikan tekanan lingkungan terhadap Kebun Raya.
Melani merupakan salah satu sosok yang memperjuangkan Kebun Raya Bogor untuk dikenal di kancah Internasional. Sampai pada 2018, Kebun Raya Bogor resmi terdaftar World Heritage site oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural (UNESCO). Ia mengatakan, otentisitas merupakan salah satu syarat dalam UNESCO.
Kebun Raya Bogor tidak dapat dilihat sebagai tempat wisata semata karena banyak nilai historis dan hubungan makhluk hidup yang sudah terjalin lama di dalamnya.
“Kebun raya yang berusia 200 tahun ini tidak bisa disamakan dengan berbagai kebun raya lainnya yang usianya jauh lebih muda,” tegasnya.
Ia menegaskan, Kebun Raya Bogor bertahan di tengah-tengah perkembangan kota, sehingga perlu perhatian khusus dan tidak dapat disamakan dengan kebun raya yang lainnya.
Sebagai dosen dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Melani mengajak masyarakat untuk menggeser cara berelasi dengan alam yang dapat dimulai dengan Kebun Raya, sehingga masyarakat memiliki cara pandang yang lebih holistik dan berpikir lebih berimbang untuk peduli dan menjaga Kebun Raya.
Sementara itu, pensiunan dosen Divisi Planning and Design Departemen Arsitektur Lanskap IPB, Dr. Siti Nursijah melihat Kebun Raya Bogor sebagai lokasi kegiatan akademik utama dan juga non-akademik yang memiliki kenangan nostalgia.
Ia menjelaskan, segala kegiatan di Kebun Raya Bogor seharusnya berkaitan pola pikir dari tidak tahu menjadi tahu sehingga paham untuk melestarikan tumbuhan dan rasa kecintaan terhadap kebun raya.
“Bagaimana kita bisa mencintai, karena aspek inilah yang bisa membuat kita mempertahankan Kebun Raya Bogor sebagai satu aset tidak hanya aset negara tapi asek lingkungan, aset semua,” jelasnya.
Untuk menjaga kelestariannya, ia merekomendasikan untuk membuat pemetaan Kebun Raya berdasarkan kepekaan tumbuhan di kawasan itu. Pemetaan itu dapat dinilai dari beberapa aspek yang nantinya dapat diklasifikasikan menjadi tiga area: 1) area sangat peka; 2) area cukup peka; dan 3) area tidak peka. Setiap area dilihat mana yang dapat didatangi atau hanya bisa dikunjungi para peneliti dan penempatan sarana sekitar yang tepat.
Rekomendasi ini didukung oleh para peserta diskusi dan juga ahli konservasi alam serta Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Hidup IPB, Prof. Hadi Sukadi Alikodra karena sejalan seperti zonasi konservasi.
Menurut Hadi, keberadaan Kebun Raya Bogor menjadi daya tarik yang memberikan dampak ekonomi bagi industri-industri di sekitarnya mulai dari kuliner hingga akomodasi . Namun, ia berharap jangan ada komersialisasi di kebun raya yang dapat merusak kelestarian kebun raya.
“Jangan ada komersialisasi-komersialisasi yang akhirnya rusak, akhirnya diprotes dan sebagainya,” ujar Hadi. “Kalau kebun raya hilang apa gunanya kita hidup?”
Menurut Hadi, perlu dikenalkan dan diterapkan conservation management dengan aspek biodiversity prospecting sehingga Kebun Raya Bogor bukan semata-mata hanya eco-wisata.
Penulis merupakan reporter magang di Betahita.id