Pajak Karbon Demi Kendalikan Perubahan Iklim

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Perubahan Iklim

Jumat, 15 Oktober 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Pada 7 Oktober 2021 pekan lalu, pajak karbon lahir melalui Undang-Undang (UU) Harmoniasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan menambah sederet kebijakan fiskal yang digunakan sebagai instrumen pengendali perubahan iklim. Pajak karbon ini rencananya akan mulai diterapkan sejak April 2022, dengan tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) yang diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan.

"Indonesia menjadi penggerak pertama pajak karbon di Dunia, terutama dari Negara kekuatan ekonomi baru (emerging). Ini bukti konsistensi Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan ekonomi yang kuat, berkeadilan dan berkelanjutan." ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, dalam siaran pers yang dipublikasikan pada Rabu (13/10).

Febrio melanjutkan, sebagai negara yang tergolong rawan terhadap ancaman perubahan iklim, Indonesia meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2016 dan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan 2020-2024. Di dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbahaya bagi lingkungan, dengan penurunan sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.

Prioritas utama penurunan emisi GRK tersebut berada pada sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi NDC Indonesia. Lebih jauh lagi, dengan semakin kuatnya tren global terhadap isu perubahan iklim, Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) di 2060 atau lebih awal.

Ilustrasi emisi karbon (wikipedia)

Dalam rangka mencapai target tersebut, agenda reformasi dalam kebijakan fiskal untuk mempercepat investasi hijau telah dimulai secara intensif. Pemerintah telah memberikan insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance, dan fasilitas PPN untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan. Dalam 5 tahun terakhir, belanja negara untuk penanganan perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1 persen dari APBN.

Dari sisi pembiayaan APBN, pemerintah juga telah menerbitkan green sukuk sejak 2018 yang di antaranya digunakan membiayai transportasi berkelanjutan, mitigasi bencana, pengelolaan limbah, akses energi sumber terbarukan, dan efisiensi energi. Pada tahun 2021 ini, Pemerintah baru saja menerbitkan Global Green Sukuk pertama dengan tenor 30 tahun senilai USD750 juta dan SDGs Global Bond senilai Euro500 juta.

Hal ini menunjukkan tingginya kepercayaan investor hijau atas upaya Pemerintah dalam menangani isu perubahan iklim. Pemerintah juga tengah menyusun Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim (Climate Change Fiscal Framework/CCFF) untuk memperkuat pembiayaan berkelanjutan, termasuk pencapaian NDC dengan melibatkan masyarakat dan swasta.

Untuk memperkuat instrumen kebijakan pengendalian dampak perubahan iklim, Pemerintah menetapkan kebijakan nilai ekonomi karbon (carbon pricing) yang didalamnya termasuk implementasi pajak karbon. Dengan memperkenalkan pajak karbon dalam UU HPP, Indonesia telah menjadi salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang akan mengimplementasikannya lebih dahulu.

"Bahkan implementasi pajak karbon ini menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini, di antaranya Inggris, Jepang dan Singapura," lanjut Febrio.

Sebagai sebuah kebijakan yang sangat strategis dalam penanganan perubahan iklim, pengenaan pajak karbon memberikan sinyal kuat yang akan mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan. Dalam konteks pembangunan, penerimaan negara dari pajak karbon dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.

Meskipun demikian, tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku (changing behavior) para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Hal ini sejalan dengan berbagai upaya pemerintah dalam rangka mencapai target penurunan emisi GRK dalam jangka menengah dan panjang.

Penerapan pajak karbon dan pengembangan pasar karbon merupakan milestones penting menuju perekonomian Indonesia yang berkelanjutan, serta menjadi bukti keseriusan Indonesia dalam agenda pengendalian perubahan iklim di tingkat global. Momentum ini menjadi kesempatan berharga bagi Indonesia untuk mendapatkan manfaat penggerak pertama (first-mover advantage).

"Indonesia menjadi penentu arah kebijakan global, bukan pengikut, dalam melakukan transisi menuju pembangunan yang berkelanjutan. Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon, di berbagai sektor pembangunan baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur," ujar Febrio.

Diterapkan Mulai April 2022

Pada kesempatan sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan penerapan pajak karbon dengan tarif sebesar Rp30 per kilogram karbondioksida ekuivalen (CO2e) pada jumlah emisi yang melebihi cap diterapkan mulai 2 April 2022.

"Elemen pajak karbon mulai 1 April 2022, namun mengikuti peta jalan bidang karbon yang berhubungan climate change," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers yang digelar pada Kamis (7/10/2021), dikutip dari Antara.

Penerapan pajak karbon dilakukan secara bertahap serta diselaraskan dengan carbon trading sebagai bagian dari roadmap green economy untuk meminimalisasi dampaknya terhadap dunia usaha dengan tetap berperan menurunkan emisi karbon. Dalam mekanisme pengenaannya, wajib pajak dapat memanfaatkan sertifikat karbon yang telah dibelinya di pasar karbon sebagai pengurang kewajiban pajak karbonnya.

Untuk tahap awal, sejak 1 April 2022, pajak karbon akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax). Tarif Rp30 per kilogram CO2e diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan, sejalan dengan pengembangan pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor PLTU batu bara.

Pada sidang paripurna DPR RI, Kamis pekan lalu, Sri Mulyani juga bilang, dalam penerapannya, pemerintah akan melakukan transisi yang tepat agar pengenaan pajak karbon tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Pengenaan pajak karbon dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi.

"Dengan demikian, sistem pengenaan pajak karbon yang berlaku di Indonesia bukan hanya adil (just), tapi juga terjangkau (affordable) dan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat luas," kata Sri Mulyani saat pidato pengantar RUU HPP pada sidang paripurna DPR RI, Kamis (7/10/2021) pekan lalu.

Pajak Karbon Dapat Dorong Daya Saing Industri

Menurut pengamat kebijakan energi, Paul Butarbutar, penerapan pajak karbon yang sedang direncanakan pemerintah dapat mendorong perwujudan ekonomi rendah karbon dan menjaga daya saing industri Indonesia.

Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia ini mengatakan, penundaan atas pengenaan nilai ekonomi karbon akan berdampak negatif terhadap daya saing industri di pasar dunia.

"Penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) di sektor ketenagalistrikan serta inisiatif rendah karbon yang digunakan di industri-industri lain merupakan contoh nyata pergerakan menuju ekonomi rendah karbon," kata Paul, dikutip dari Antara.

Pendiri Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI) Eddi Widiono juga mengatakan, pasar dunia saat ini sudah bergerak dalam pengembangan ekonomi rendah karbon di segala lini dan menjadi pertimbangan dalam hubungan perdagangan bilateral dan multilateral.

Sebagai contoh, Uni Eropa telah memulai diskusi dengan Parlemen Eropa mengenai implementasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang menyatakan produk-produk yang masuk ke pasar Uni Eropa akan mengalami penyesuaian harga sesuai dengan tingkat emisi karbon yang terkandung dalam produk tersebut.

"Penyesuaian juga menyangkut apakah negara asal produk tersebut sudah mengatur nilai ekonomi karbon," kata Eddi.

Untuk itu, Eddi menegaskan pentingnya nilai ekonomi karbon bagi daya saing sektor industri, apalagi Indonesia tidak memiliki keleluasaan untuk menunda penerapan nilai ekonomi karbon.

Tak hanya itu, konsep daya saing sebuah negara di pasar global saat ini mengalami pergeseran. Karena daya saing tidak hanya ditentukan oleh kualitas atau harga dari barang dan jasa tetapi juga memperhitungkan biaya eksternalitas yang ditimbulkan dari jejak emisi karbon barang dan jasa.

"Menunda penerapan nilai karbon dengan tujuan menjaga daya saing Indonesia sebenarnya kontraproduktif dalam kerangka berpikir daya saing global saat ini."