Amicus Curiae untuk Hakim Perkara Gugatan Satwa

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Kamis, 21 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Perjalanan sidang gugatan satwa yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Padang Sidimpuan, nomor perkara 9/Pdt.G/LH/2021/PN Psp, menarik perhatian banyak kalangan, baik itu akademisi, pakar maupun organisasi masyarakat sipil. Perhatian terhadap perkara ini mungkin dikarenakan gugatan satwa antara Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sebagai Penggugat melawan PT Nuansa Alam Nusantara (NAN) sebagai Tergugat ini merupakan gugatan satwa yang pertama kalinya dilakukan di Indonesia, bahkan di Dunia.

Sebab sejauh ini ada 5 amicus curiae brief atau pendapat hukum sahabat pengadilan yang sudah dan akan diajukan kepada Ketua PN Padang Sidimpuan, untuk membantu majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara ini. 5 amicus curiae brief itu diajukan oleh (1)  Prof. Andri G. Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sekaligus merupakan Ketua Umum Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) periode 2021-2025, (2) Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr, Guru Besar Perlindungan Hutan, IPB University, (3) Prof. Unai Pascual dari Basque Centre for Climate Change (BC3) yang juga merupakan co-chairing the Values Assessment of the Science-Policy Intergovernmental Platform of Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), (4) Dr. Christoph Schwitzer, Deputy Chair, IUCN SSC Primate Specialist Group dan Dr. Ian Redmond OBE, Chair Ape Alliance, dan (5) Yayasan Auriga Nusantara.

Kuasa Hukum Penggugat, M. Alinafiah Matondang mengatakan, LBH Medan mengapresiasi inisiatif para pihak yang bersedia menyampaikan opini hukum atau amicus curiae-nya kepada Majelis Hakim PN Padang Sidimpuan yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara gugatan satwa yang diajukan oleh LBH Medan, yang mewakili kepentingan hukum Walhi, sebagai pihak yang menggugat PT NAN atas dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan, berupa kegiatan usaha kebun binatang serta penguasaan dan pertunjukan orangutan sumatera (Pongo abelii) secara ilegal dengan register perkara nomor 09/Pdt.G/LH/2021/PN Psp di PN Padang Sidimpuan.

"Dan dari beberapa opini yang ditembuskan ke pihak Penggugat dan apabila dibaca dan dipahami opininya, para akademisi ataupun pihak masyarakat, mendukung upaya gugatan yang ditempuh oleh Walhi ini. Dengan demikian selain sesuai dengan bukti bukti yang telah penggugat majukan, harapannya Majelis Hakim dalam perkara ini dapat menerima amicus curiae dari akademisi atau masyarakat dan untuk itu dapat mengabulkan tuntutan hukum Penggugat untuk seluruhnya," kata Ali, Rabu (20/10/2021).

Orangutan Sumatera, salah satu spesies Critically Endangered difoto di kebun binatang milik PT Nuansa Alam Nusantara sebelum disita tahun 2019./Foto: Walhi Sumatera Utara

Lebih lanjut Ali menjelaskan, amicus curiae dalam bahasa latin "friends of the court" atau sahabat pengadilan adalah penyampaian pendapat atau opini dari pihak yang merasa berkepentingan atas suatu perkara yang tengah diperiksa oleh hakim pengadilan. Namun pihak tersebut bukanlah para pihak dalam perkara tersebut yang sebenarnya praktik ini digunakan dalam sistem hukum common law bukan civil law seperti di negara Indonesia.

Meski begitu, ternyata dalam perkembangan hukum di Indonesia, hakim pengadilan dapat mempertimbangkan menerima atau menolak amicus curiae atau opini sahabat pengadilan ini, walau bukanlah merupakan para pihak yang berperkara dan bukan merupakan alat bukti dalam perkara perdata maupun pidana. Selain itu, amicus curiae itu juga tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk intervensi atau upaya mempengaruhi kemerdekaan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara.

"Oleh sebab telah ada aturan hukum yang dapat digunakan sebagai dasar hukumnya yaitu Pasal 5 ayat (1) Undang undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi 'Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat'."

Dalam dokumen amicus curiae-nya, para akademisi, pakar dan organisasi masyarakat sipil itu memberikan beragam pendapat hukum terhadap kasus mini zoo PT NAN ini. Namun secara umum, seluruhnya setuju apabila ada kerugian yang harus dipertanggungjawabkan oleh PT NAN dalam kasus kepemilikan sejumlah satwa dilindungi tanpa izin itu. Berikut ini ringkasan pendapat hukum dan rekomendasi dari para akademisi dan pakar serta organisasi masyarakat sipil, berdasarkan dokumen yang diterima Betahita.id.

Prof. Andri G. Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Dalam dokumen amicus curiae brief-nya, Prof, Andri sebagai amici (teman) mengatakan, dirinya menilai bahwa perkara a quo memiliki signifikansi dalam perkembangan hukum lingkungan di Indonesia, yang mana pertanggungjawaban perdata untuk pertama kali digunakan dalam kasus kerusakan lingkungan terkait dengan kejahatan konservasi terhadap spesies dilindungi.

Sejauh ini gugatan perdata untuk meminta tanggung jawab pelaku terhadap upaya pemulihan dan kerugian lingkungan hidup lainnya telah diterapkan pada kasus-kasus kerusakan habitat seperti kebakaran hutan dan lahan. Namun bentuk pertanggungjawaban ini belum dikenakan pada kasus-kasus kerusakan terhadap spesies yang tidak langsung terlihat dampaknya pada habitat, tapi sebenarnya berdampak pada integritas lingkungan hidup. Prof. Andri memberikan 4 poin pendapatnya terhadap persidangan perkara ini.

  1. Ruang lingkup kerusakan dan kerugian lingkungan dalam UU No. 32 Tahun 2009 juga mencakup kerugian terhadap keanekaragaman hayati. Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati merupakan bagian dari perlindungan lingkungan yang dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 2009.
  2. Pada dasarnya pelaku yang mengakibatkan kerusakan haruslah menanggung segala biaya yang timbul untuk pemulihan kerusakan tersebut (polluter pays principle).
  3. Pada praktek pengadilan, UU No. 32 Tahun 2009 dapat digunakan jika terdapat kerusakan lingkungan pada kasus-kasus lingkungan yang juga diatur dalam undang-undang sektoral.
  4. Pada praktek pengadilan, kerusakan terhadap keanekaragaman hayati (flora dan fauna) telah diterima sebagai salah satu komponen kerugian lingkungan yang ditanggung pelaku berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009.

Dalam beberapa perkara gugatan lingkungan hidup yang telah diputus oleh pengadilan, Prof. Andri melanjutkan, kerusakan terhadap keanekaragaman hayati (termasuk di dalamnya flora dan fauna) telah diterima sebagai salah satu komponen kerusakan lingkungan yang harus dipulihkan, dan juga komponen kerugian ekologis yang harus diganti rugi oleh pelaku.

Kasus-kasus yang telah diputus tersebut adalah gugatan kebakaran hutan dan lahan serta kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan pembalakan liar. Jika pengadilan mengakui hilang atau rusaknya keanekaragaman hayati akibat tindakan merusak habitat sebagai bagian dari komponen kerugian lingkungan yang harus diganti oleh pelaku, maka tidak ada alasan hal yang sama tidak berlaku pada kasus dimana kerusakan keanekaragaman hayati terjadi akibat dari tindakan yang langsung menyasar spesies seperti kejahatan terhadap satwa dilindungi.

Prof. Andri memberikan perbandingan sederhana. Jika terlukanya orangutan akibat kebakaran hutan dan lahan diakui sebagai salah satu kerugian lingkungan, maka seharusnya terlukanya orangutan akibat perdagangan, kepemilikan atau peragaan satwa ilegal juga harus dipandang sebagai suatu kerugian lingkungan.

Prof. Andri berharap Majelis Hakim perkara a quo dapat mempertimbangkan argumentasi dalam amicus curiae brief yang ia ajukan itu dalam pertimbangan hukum amar putusannya. Kemudian, Majelis Hakim diharapkan dapat mengukuhkan bahwa kerugian dan biaya pemulihan keanekaragaman hayati yang timbul akibat kejahatan konservasi merupakan kerugian lingkungan yang wajib ditanggung pelaku sebagaimana yang diatur dalam pasal 87 UU No. 32 Tahun 2009.

Prof. Unai Pascual dari Basque Centre for Climate Change (BC3)

Kemudian Unai Pascual yang merupakan seorang Profesor Ekonomi Lingkungan dan Kebijakan pada Pusat Perubahan Iklim Basque dalam amicus curiae brief-nya mengaku tertarik dengan gugatan satwa ini dan termotivasi untuk memberikan opini singkat. Karena menurutnya kasus ini penting secara global karena membahas masalah hubungan antara berbagai nilai lingkungan, dalam hal ini nilai satwa liar dan kesejahteraan manusia.

  1. Kesejahteraan manusia dirugikan oleh kerusakan terhadap spesies yang terancam
    Unai menjelaskan, kasus ini meminta pengadilan untuk mengakui bahwa tindakan ilegal yang menimbulkan kerusakan terhadap satwa yang terancam punah juga akan menyebabkan kerugian secara langsung pada kesejahteraan manusia, dengan mengurangi berbagai nilai yang berbeda, seperti nilai budaya tidak berwujud/non-materaial, yang diberikan manusia kepada alam.
  2. Putusan pengadilan dapat secara adil mencerminkan nilai-nilai yang tidak berwujud/non-material
    Nilai tidak berwujud/non-material mungkin sulit untuk diukur atau dinyatakan dengan menggunakan jumlah uang, tetapi secara global terdapat beberapa kasus di mana jenis nilai ini telah tercermin secara bermakna dalam gugatan hukum lingkungan. Seperti nilai tidak berwujud/non-material dalam pada kasus penangkapan ikan ilegal di Taman Nasional Calanques Perancis, kasus pencemaran Ramapo oleh Ford Motor Company dan dalam kasus limbah beracun di Buenos Aires.

Selain menyampaikan pendapat hukum, Prof. Unai juga memberikan rekomendasi kepada PN Padang Sidimpuan agar, (1) mengakui bahwa nilai-nilai tidak berwujud/non-material memang ada, merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat dan diakui oleh lembaga-lembaga ilmu pengetahuan--kebijakan seluruh Dunia, dan harus diakui secara jelas oleh pengadilan sebagai nilai-nilai yang dapat dirugikan dan memerlukan ganti rugi.

Kemudian, (2) agar PN Padang Sidimpuan dapat mempertimbangkan kasus-kasus sebelumnya dari seluruh Dunia, di mana nilai-nilai tidak berwujud/non-material telah berhasil diakui oleh pengadilan, dan (3) mengakui bahwa ganti rugi atas kerugian terhadap nilai-nilai tak berwujud/non-material bisa sangat beragam dan tidak selalu mengharuskan kompensasi atas hilangnya nilai-nilai ekonomis berwujud yang relatif lebih mudah diukur dari sisi finansial.

Dr.Christoph Schwitzer Wakil Ketua IUCN Primate Specialist Group dan Dr.Ian Redmond Ketua Ape Alliance

Dr.Christoph Schwitzer, yang juga Direktur Kebun Binatang Dublin, Irlandia dan Dr. Ian Redmond yang merupakan pakar biologi dan konservasi satwa liar menganggap orangutan sumatera merupakan spesies yang sangat terancam punah dan kerugian yang ditimbulkan dalam kasus ini sangat penting di tingkat lokal. Kasus ini juga penting secara global bagi pihak-pihak di luar mereka yang terlibat dalam litigasi.

Menurut mereka, tindakan merugikan terhadap sejumlah kecil individu dari spesies yang terancam dapat menyebabkan kerusakan besar bagi kelangsungan hidup spesies. Dalam amicus curiae brief yang mereka buat dijelaskan, Ketika Tindakan merugikan ditimbulkan pada sejumlah kecil individu suatu spesies--jika itu adalah spesies yang terancam seperti orangutan sumatera yang sangat terancam punah--ini dapat berdampak pada kelangsungan hidup sub-populasi spesies tersebut dan populasi keseluruhannya.

Poin ini disampaikan dalam kasus Penggugat. Namun, Dr.Christian dan Dr.Ian mencatat bahwa pihak awam mungkin menganggap bahwa dampaknya hanya pada individu satwa yang terlibat dalam kasus tersebut, yaitu satwa tertentu di dalam kendang. Amicus curiae ini menyoroti bahwa ilmu pengetahuan menunjukkan kepada kita bahwa hal ini mungkin juga menimbulkan dampak langsung pada kelangsungan hidup spesies yang bahkan lebih mendesak daripada perlakuan kejam yang ditimbulkan pada satu individu hewan.

Oleh karena itu, ganti rugi sangat penting. Ganti rugi ini sangat tidak mungkin tercermin dalam nilai satwa secara ekonomis, seperti dengan menggunakan harga pasar. Sebagai gantinya, pemulihan berbasis ilmu pengetahuan dapat mencakup meminta tanggung jawab Tergugat untuk melakukan, atau mendanai, tindakan konservasi tambahan di lapangan yang memungkinkan populasi spesies pulih. Kegagalan untuk mengenali dinamika ini dapat berakibat kerusakan paling serius yang diakibatkan Tergugat tidak dipulihkan secara berarti. Dr. Christoph Schwitzer dan Dr. Ian memberikan dua pandangan terhadap perkara ini.

  1. Kerugian terhadap spesies telah terjadi dalam kasus ini
    Ketika perlakuan merugikan ditimbulkan pada sejumlah kecil individu dari suatu spesies--dalam hal ini, perlakuan merugikan terhadap satu orangutan--pihak awam mungkin hanya fokus pada kerugian yang ditimbulkan pada individu satwa tersebut. Namun, jika itu adalah spesies yang terancam punah seperti orangutan sumatera, ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa ada bentuk kerugian lebih genting yang harus dipertanggungjawabkan.
  2. Ganti rugi diperlukan dan melibatkan langkah-langkah tindakan konservasi
    Kerugian terhadap kelangsungan hidup spesies ini tidak memiliki dampak ekonomi yang dapat diukur dengan mudan atau akurat. Kita tidak bisa dengan mudah menetapkan harga atas kerugian yang ditimbulkan oleh Tergugat. Ini karena spesies yang terancam tidak dimonetisasi--perdagangan mereka ilegal sehingga tidak dapat atau tidak boleh memperlakukan mereka menurut nilai pasar. Menggunakan harga pasar untuk menilai satwa liar tidaklah tepat. Namun, kerugian dapat dipastikan terjadi dan bersifat sangat serius.
    Ada cara lain untuk merespon kerugian yang merugikan, yaitu dengan melakukan tindakan berbasis ilmu pengetahuan untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan Tergugat. Dalam hal ini, tindakan korektif harus mencakup tindakan konservasi di lapangan yang membantu memungkinkan spesies pulih dan jumlahnya meningkat. Proses korektif tersebut tidak akan terjadi dengan sendirinya, karena spesies tersebut sangat terancam dan habitatnya juga terancam, oleh karena itu, diperlukan tindakan tambahan.

Yayasan Auriga Nusanatara

Selain dari para akademisi dan pegiat konservasi. Amicus curiae brief juga datang dari organisasi masyarakat sipil Yayasan Auriga Nusantara. Dalam dokumen brief-nya Yayasan Auriga memberikan 11 poin pendapat. Yang secara umum menyimpulkan bahwa pemeliharaan dan pengelolaan satwa tanpa izin adalah melawan hukum. Pendapat hukum tersebut 5 di antaranya yakni:

  1. Pertanggungjawaban perdata di Indonesia yang berinduk pada sistem civil law menganut konsep pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Tunc sebagaimana dikutip Andri G. Wibisono menyatakan dasar dari pertanggungjawaban perdata (tort) adalah aturan yang menyatakan bahwa “every act whatever of man that causes damages to another, obliges him by whose fault it happened to repair it.” Aturan inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan perbuatan melawan hukum (Andri G. Wibisana, 2017).
  2. Untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum, Agustinia menyebutkan adanya 5 syarat yang harus dipenuhi, yaitu: (1) Harus ada perbuatan, baik dalam arti melakukan perbuatan maupun tidak melakukan perbuatan, (2) Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melawan hukum, (3) Adanya kerugian, (4) Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan yang melawan hukum dengan kerugian, dan (5) Adanya kesalahan atau schuld (Rosa Agustinia, 2003).
  3. Hakikat dari kesalahan menurut pandangan yurisprudensi Belanda sebagaimana dikutip oleh Martokusumo ialah bahwa perbuatan dan akibatnya dapat dipertanggungjawabkan pada si pembuat. Kesalahan dalam arti luas mengandung 2 unsur, yaitu culpa (kurang penduga) dan dolus (kesengajaan). Namun dalam hukum sipil sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 BW tidak perlu dihiraukan adanya kesengajaan atau kurang penduga (Sudikno Mertokusumo, 2014).
  4. Dalam perkara a quo, berdasarkan jawab-jinawab persidangan setidaknya terdapat fakta hukum bahwa PT NAN sejak tahun 2017 telah memelihara satwa-satwa dilindungi termasuk salah satunya adalah orangutan sumatera (Pongo abelii) di dalam mini zoo PT NAN.
  5. Terdapat banyak alasan di balik ditetapkannya sebuah satwa pada kategori dilindungi, baik alasan eksistensial, akademis, hingga kemanfaatan. Dicerabutnya satwa dilindungi dari alamnya, apalagi satwa yang berkategori kritis seperti orangutan sumatera, akan berimplikasi serius pada kepunahannya.
    Tak hanya itu, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak riset, orangutan sumatera juga banyak berjasa bagi petani karena turut menata tumbuhan hutan yang selain mengakibatkan terjaganya tutupan hutan yang menjaga air, juga berperan menjaga kelangsungan berbagai tumbuhan hutan yang banyak bermanfaat ekonomi bagi penduduk sekitar.
    Dengan demikian, dapat diartikan bahwa tindakan PT NAN memelihara satwa dilindungi tanpa izin merupakan perbuatan melawan hukum karena selain melanggar aturan juga menimbulkan kerugian, tak hanya terhadap spesies dilindungi tersebut, tapi juga kemanfaatannya bagi manusia.

Selain memberikan pendapat hukum, Yayasan yang diketuai Timer Manurung ini juga memberikan sejumlah rekomendasi kepada Majelis Hakim PN Padang Sidimpuan, (1) untuk mengedepankan asas in dubio pro natura dalam proses pembuktian juga memutus perkara mengenai lingkungan hidup, karena tidak hanya berdampak pada keselamatan lingkungan hidup itu sendiri, tapi juga pada keselamatan hingga kesejahteraan umat manusia, dan (2) mengedepankan pemulihan keragaman hayati dan lingkungan hidup dalam memutus perkara perusakan keragaman hayati dan lingkungan hidup.

Kronologi Kasus Mini Zoo PT NAN

Dalam dokumen amicus curiae brief-nya, Yayasan Auriga juga menyampakkan kronologis bagaimana PT Nuansa Alam Nusantara (PT NAN) memiliki dan mengelola berbagai satwa dilindungi di dalam kebun binatang mini (mini zoo) yang dikelolanya.

  1. Pada 17 Mei 2016, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara menerbitkan izin penangkaran rusa (Cervus spp) kepada Partomuan Siregar. Berniat mengembangkan aktivitas pemeliharaan satwa yang dikelolanya menjadi kebun binatang, Partomuan Siregar selanjutnya mendirikan perusahaan dengan nama PT Nuansa Alam Nusantara (PT NAN) pada 10 April 2017. Perusahaan ini mendapatkan pengesahan sebagai perseroan terbatas melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM dan kemudian terdaftar pada registrasi badan hukum AHU-0017186.AH.01.01. Tahun 2017 pada tanggal 12 April 2017.
  2. Berselang sekitar 2 bulan kemudian, tepatnya 21 Juni 2017, diketahui bahwa terjadi penambahan jumlah dan jenis satwa liar di mini zoo PT NAN. Perusahaan ini berkilah bahwa satwa-satwa tersebut diperoleh langsung dari masyarakat. BBKSDA Sumatera Utara kemudian menerbitkan surat Nomor: 3630/K3/BIDTEK/KSA/2017 yang intinya melarang PT NAN menerima satwa dari masyarakat karena belum memiliki izin sebagai lembaga konservasi.
  3. Meski demikian, beberapa bulan kemudian BBKSDA Sumatera Utara menerima informasi dari masyarakat mengenai keberadaan satwa liar di mini zoo PT NAN. Terhadap ini, BBKSDA Sumatera Utara menyusun berita acara penitipan satwa ke mini zoo PT NAN bernomor BA.1241/K.3/BKWIII/TSL/11/2017 tanggal 29 November 2017. Tercatat di dalamnya penitipan 1 ekor beruang madu (Helarctos malayanus), 3 kasuari kerdil (Casuarius bennetti), 5 burung unta (Struthio camelus), 5 burung mambruk (Goura sp.), 2 buaya senyulong (Tomistoma schlegelii), dan 1 orangutan (Pongo abelii).
  4. Pada 18 Januari 2018, PT NAN menggelar konsultasi publik mengenai pembukaan ekowisata. Acara ini dihadiri jajaran Pemerintah Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), seperti Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PMP2TSP), Bappeda, Satpol PP, Dinas Lingkungan Hidup. Berbagai tokoh dan lembaga kemasyarakatan juga turut hadir, seperti MUI, Lembaga Adat dan Budaya Paluta, ICW Paluta, Kementerian Agama, Koramil 05 Padang Bolak, Polsek Padang Bolak, Lurah Pasar Gunungtua, dan sebagainya, termasuk masyarakat yang tinggal di sekitar mini zoo. Pada acara ini Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Paluta, Marahamid Harahap menyampaikan bahwa Dinas Lingkungan Hidup mendukung pengembangan ekowisata PT NAN tersebut menjadi tempat rekreasi masyarakat.
  5. Namun demikian, justru pada hari yang sama organisasi Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Paluta meminta Pemkab Paluta, melalui surat No. 0022/PALUTA/KTNA/2018 tanggal 18 Januari 2018, untuk segera menutup mini zoo PT NAN.
  6. Pada 22 Juli 2018, BBKSDA Sumatera Utara melakukan pemeriksaan terhadap mini zoo PT NAN, dan menemukan berbagai satwa dilindungi yang tidak memiliki alas hukum pemeliharaannya. Oleh karenanya, BBKSDA Sumatera Utara melakukan penyitaan terhadap 2 ekor komodo (Varanus komodoenesis), 20 ekor junai emas (Caloenas nicobarica), dan 3 ekor ular piton (Pythonidae). Namun demikian, pada hari yang sama BBKSDA justru menitipkan satwa-satwa sitaan tersebut ke mini zoo PT NAN.
  7. Pada 7 November 2018, Perkumpulan Konservasionis Hutan dan Satwa (PINUS) Tapanuli melakukan pemantauan ke mini zoo PT NAN dan menemukan berbagai satwa dilindungi di dalamnya, seperti orangutan (Pongo abelii), merak (Phasianidae), burung unta (Struthio camelus), kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), kakatua raja (Probosciger aterrimus), buaya (Crocodylidae), rusa (Cervus spp.), rangkong badak (Buceros rhinoceros), murai batu (Copsychus malabaricus), lovebird (Agapornis), kancil (Tragulus kanchil), landak (Hystricidae), kera albino (Macaca spp.), ular piton (Pythonidae), siamang (Symphalangus syndactylus), kera (Macaca spp.). Temuan ini dilaporkan ke BBKSDA Sumatera Utara pada 20 November 2018. Enam belas hari kemudian, 6 Desember 2018, PINUS Tapanuli melaporkan temuan ini Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Manggala Wanabakti, Jakarta, dengan nomor registrasi pengaduan 180687.
  8. Laporan PINUS Tapanuli ini direspon oleh Direktur Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administrasi Ditjen Gakkum KLHK, salah satunya dengan mengirimkan surat ke BBKSDA Sumatera Utara. Menjawab surat Ditjen Gakkum ini, BBKSDA Sumut menyampaikan klarifikasi bahwa pada prinsipnya satwa dilindungi di mini zoo PT NAN adalah milik negara yang dalam rangka keselamatan satwa tersebut dititip di mini zoo PT NAN untuk dirawat namun sewaktu-waktu dapat diambil oleh negara.
  9. Meski demikian, satwa dilindungi di dalam mini zoo PT NAN tampaknya bertambah terus. Setidaknya terindikasi dari laporan pengaduan masyarakat tanggal 2 Maret 2019. Pengaduan ini ditindaklanjuti dengan penelusuran pada tanggal 1 Juni 2019, yang menghasilkan beberapa temuan, seperti: (1) tidak ditemukan plang izin mini zoo, (2) terdapat beragam satwa dilindungi yang patut diduga tidak dilengkapi perizinan memadai di dalam mini zoo PT NAN, seperti cenderawasih bilah rotan (Cicinnurus magnificus), cenderawasih kecil (Paradisaea minor), kakatua maluku (Cacatua moluccensis), kakatua raja (Probosciger aterrimus), nuri kepala hitam (Lorius lory), kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), rangkong badak (Buceros rhinoceros), komodo (Varanus komodoenesis), buaya (Crocodylidae), binturong (Arctictis binturong), beruang madu (Helarctos malayanus), siamang (Symphalangus syndactylus), rusa totol (Axis axis), rusa sambar (Rusa unicolor), orangutan (Pongo abelii). Temuan ini selanjutnya disampaikan ke Kepolisian Republik Indonesia.
  10. Setelah melakukan pendalaman, kepolisian membuat laporan polisi model A, yaitu Laporan Polisi No. LP/A/0650/VII/2019/Bareskrim, mengenai dugaan tindak pidana “menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a juncto Pasal 40 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Selanjutnya, kepolisian mengirim surat No. B/379/VII/2019/Tipidter ke Ketua Pengadilan Negeri Padang Sidempuan perihal permohonan persetujuan penetapan penggeledahan atas Laporan Polisi No. LP/A/0650/VII/2019/Bareskrim tersebut di atas.
  11. Pada 21 Juli 2019, Kepolisian menerbitkan surat nomor B/741/VII/2019/Tipidter yang menitipkan beragam satwa dalam penggeledahan mini zoo tersebut ke BBKSDA Sumatera Utara, yakni 2 ekor cenderawasih minor (Paradisae minor), 1 ekor cenderawasih belah rotan (Cicinnurus magnificus), 4 ekor kakatua maluku (Cacatua moluccensis), 1 ekor nuri bayan (Eclectus roratus), 2 ekor tiong emas (Gracula spp), 2 ekor nuri kepala hitam (Lorius lory), dan 1 ekor binturong (Arctictis binturong). Terhadap satwa ini, melalui surat No. BA.536/K.3/BKWIII/TSL/7/2019 dititipkan BBKSDA Sumatera Utara ke Lembaga Konservasi yang sudah terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
    Terhadap barang bukti lainnya yang sebelumnya dititipkan BBKSDA Sumatera Utara ke mini zoo PT NAN diambil seluruhnya oleh BBKSDA Sumatera Utara, yang kemudian dititipkan ke Lembaga Konservasi Taman Hewan Pematang Siantar melalui Berita Acara Penitipan Satwa No. BA.538/K.3/BKWIII/TSL/7/2019 pada tanggal 23 Juli 2019. Satwa-satwa ini adalah 2 ekor kakatua raja (Probosciger aterrimus), 2 ekor cenderawasih kecil (Paradisaea minor), 1 ekor komodo (Varanus komodoenesis), 3 ekor siamang (Symphalangus syndactylus), 1 ekor orangutan (Pongo abelii), beruang madu (Helarctos malayanus), dan rangkong badak (Buceros rhinoceros).
  12. Pada 5 Desember 2019, PT NAN melakukan perubahan anggaran dasar yang selanjutnya disahkan Kementerian Hukum dan HAM sehingga terdaftar pada registrasi badan hukum AHU-0101930.AH.01.02.Tahun 2019. Perubahan dilakukan hanya mengenai maksud dan tujuan perusahaan tersebut, sehingga mencakup juga bidang usaha daya tarik wisata, jasa penunjang kehutanan, jasa perlindungan hutan, konservasi alam, perburuan, penangkapan dan penangkaran tumbuhan/satwa liar, dan penangkaran reptil. Pada 13 Desember 2019 PT NAN melakukan lagi perubahan anggaran dasarnya, sehingga mencakup juga bidang usaha kebun binatang, taman botani dan cadangan alam, taman konservasi alam.
  13. Pada 7 Januari 2020, PT NAN dianggap memenuhi persyaratan sebagai Lembaga Konservasi, dan kemudian disahkan secara resmi sebagai Lembaga Konservasi pada 23 Januari 2020.
  14. PT NAN mengirim somasi ke Kepala Kantor BBKSDA Sumatera Utara pada 12 Juli 2021 yang pada intinya menyatakan satwa yang dititip BBKSDA Sumatera Utara melalui berita acara BA.536/K.3/BKWIII/TSL/7/2019 (nomor 11 di atas) adalah milik PT NAN.