Sawit Ilegal dan Ancaman bagi Habitat Satwa yang Kritis
Penulis : Syifa Dwi Mutia
Satwa
Rabu, 27 Oktober 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Ekspansi kebun sawit semakin merambah ke habitat spesies yang terancam punah. Pembukaan demi pembukaan lahan kian menghancurkan hutan, menghilangkan keanekaragaman hayati secara langsung.
Laporan terbaru Greenpeace mengenai Kelapa Sawit Ilegal di Indonesia merincikan setidaknya terdapat 49 wilayah konservasi yang lebih dari 100 ha hingga belasan ribu hektare dikuasai perkebunan kelapa sawit ilegal. Merusak dan menghilangkan habitat bagi flora dan fauna yang dilindungi.
Salah satu di antaranya adalah Suaka Margasatwa Bangkiriang di Sulawesi Tengah, seluas 802 ha areanya dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit. Padahal wilayah tersebut ditetapkan KLHK sebagai kawasan konservasi sehingga “haram hukumnya untuk ditanami kelapa sawit atau komoditas apapun,” tegas Greenpeace dalam laporan tersebut.
Ekspansi lahan kelapa sawit menjadi ancaman bagi satwa-satwa kritis di Indonesia, terutama tiga megafauna yang terancam: orangutan, gajah, dan harimau.
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan Greenpeace, hingga 2019, seluas 183.687 ha habitat orangutan (Ponggo spp.) dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Salah satunya rumah bagi orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh dan Sumatera Utara. Seluas 1.243 ha dikonversi menjadi perkebunan Kelapa Sawit. Padahal, Taman Nasional Gunung Leuser merupakan bagian dari Situs Warisan Dunia UNESCO yang memiliki daftar nama burung terpanjang di dunia.
Tidak hanya habitatnya yang terancam, Greenpeace juga menunjukkan ancaman besar lainnya juga datang dari perburuan dan perdagangan ilegal pada orangutan.
Perburuan orangutan salah satunya masih ditemukan di Taman Nasional Gunung Palung, Kalimantan Barat. Pembukaan hutan di kawasan konservasi tersebut menjadi celah kesempatan perburuan orangutan.
Sementara pada habitat gajah, dalam kurun waktu yang sama Greenpeace menemukan seluas 18.504 ha habitatnya dikonversikan menjadi perkebunan kelapa sawit. Greenpeace memperkirakan, populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus spp.) menurun hingga 50% sejak 1985 terutama akibat deforestasi.
Pada Harimau Sumatera, Greenpeace menghitungkan hingga akhir 2019, seluas 148.839 ha kawasan hutan telah menjadi kelapa sawit, 12.515 ha diantaranya termasuk gabungan habitat dengan gajah. Populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) liar yang terancam punah diperkirakan sekitar 600 ekor, menurut data The State of Indonesia’s Forests 2020 oleh KLHK, berdasarkan laporan tersebut.
Sama dengan nasib orangutan, perburuan liar masih menjadi ancaman besar bagi harimau sumatera sejak dulu hingga saat ini. Adanya pembukaan hutan semakin memperparah kepunahan nenek moyang masyarakat Minangkabau itu.
Taman Nasional Tesso Nilo di Riau, yang dikenal keanekaragaman hayatinya yang luar biasa, menjadi kawasan konservasi dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit terluas dengan 16.362 ha, mengancam habitat gajah dan harimau sumatera.
Orangutan, harimau, dan gajah tidak punya pilihan untuk pergi meninggalkan habitatnya yang dipangkas habis. Ancaman lainnya pun datang dari luar kawasan hutan. Tidak jarang konflik antara hewan dengan manusia yang mengakibatkan cedera hingga kematian pada kedua sisi, berujung pada pembunuhan balas dendam terhadap satwa.
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas mengatakan bahwa data ini cukup mengkhawatirkan dan habitat yang dilindungi seharusnya dipertahankan dan diperluas
“Memang dampaknya akan serius, artinya keanekaragam termasuk satwa liar yang memang dilindungi misalnya harimau sumatera itu akan punah dan gajah tinggal sedikit habitatnya termasuk orangutan,” ujar Arie.
Satwa-satwa liar yang dilindungi ini memiliki karakteristik yang hanya ditemukan di Indonesia, jelas Arie. “Jadi kalau misalnya Indonesia kehilangan habitatnya tentu itu akan berujung pada kepunahan,” kata Arie.
“Memang pemerintah harus memastikan mengidentifikasi kembali sebenarnya habitat-habitat orangutan, gajah yang hilang termasuk harimau itu dipulihkan kembali, dilindungi yang masih tersisa atau yang saat ini sudah terkonversi seharusnya dipulihkan kembali, direstorasi,” ujar Arie.
Penulis merupakan reporter magang di betahita.id