Hari Owa Sedunia: Aktivitas Manusia Ancaman Utama bagi Rumah Owa

Penulis : Tim Betahita

Satwa

Jumat, 29 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Indonesia menjadi rumah bagi sembilan dari 20 spesies owa di dunia. Semuanya dikategorikan terancam punah dari daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Tujuh dari sembilan spesies owa melindungi, sehingga haram hukumnya untuk berbagai aktivitas yang mengancam nyawa dan habitatnya. Namun, aktivitas manusia masih menjadi ancaman bagi habitat dan nyawa primata yang gemar menyanyi ini.

24 Oktober kemarin, diperingatik sebagai Hari Owa Dunia. Dikenal sebagai mamalia arboreal non-terbang tercepat, owa dapat berayun di pohon dengan mencapai 30 km/jam di atas tanah. Hampir seluruh pergerakkan owa berada di atas pohon, mulai dari mencari makanan, bersosialisasi, dan beristirahat.

Hilangnya pepohonan tentu menjadi ancaman bagi habitat dan kehidupan owa di Indonesia. Salah satunya Hutan Petungkriyono di Jawa Tengah, benteng pertahanan bagi Owa Jawa atau silvery gibbon (Hylobates moloch) yang keutuhan hutannya terancam akibat alihfungsih lahan.

“Ancaman yang nyata sekarang adalah keutuhan hutan ini. Karena semakin banyak aktivitas manusia juga, orang banyak merambah juga, membuka hutan yang awalnya itu tempat owa. Sekarang owa nya nggak ada lagi. Nah, ini yang sebenarnya lebih nyata,” jelas peneliti SwaraOwa, Arif Setiawan pada Reuters.

Seekor owa ungko atau Hylobates agilis di Riau dievakuasi oleh BBKSDA Riau setelah dipelihara warga selama 6 tahun./Foto: ANTARA FOTO/FB Anggoro/aww.

Hutan Petungkriyono memiliki keanekaragaman buah-buahan yang tersedia untuk dimakan sepanjang tahun. Sisa makanan dari buah-buahan jatuh ke tanah menjadi benih seiring berayunnya owa di pepohonan.

Tidak hanya alih fungsi lahan yang mengancam, cuaca yang tidak menentu akibat krisis iklim menjadi ancaman untuk ketersediaan pangan owa jawa.

“Ketika yang seharusnya musim panas tetapi masih turun hujan, itu berdampak pada vegetasi tumbuhan. Misalkan, bunga yang seharusnya menjadi buah malah menjadi daun lagi dan daunnya rontok. Itu yang memengaruhi hewan yang ada di hutan Petungkriyono ini,” jelas konversiaris Pekalongan Forestry Agency, Untoro Tri Kurniawan pada Reuters.

Hingga saat diestimasikan tersisa sekitar 4.000 ekor owa jawa dewasa dan kemungkinan kepunahan dalam satu dekade mendatang.

Ancaman terbesar lainnya ditemukan dari penelitian Arif Setiawan dari SwaraOwa dan peneliti satwa lainnya pada 6 September 2021. Penelitian yang berjudul “The future of Indonesian gibbons: challenges and recommendations” menemukan, habitat owa di Sumatera dan Mentawai terfragmentasi dan terjangkit penyakit.

“Owa siamang (Symphalangus syndactylus), owa ukong (Hylobates agilis), dan owa serudung (Hylobates lar) diketahui terdapat di hutan yang terfragmentasi, tetapi tingkat persistensi populasinya masih belum diketahui, dan telah terjadi wabah scabies pada populasi siamang,” jelas penelitian tersebut.

Sehingga para peneliti menyarankan untuk perlu adanya penegakan hukum pada penggunaan lahan dan penelitian berlanjut terhadap penyakit tersebut. Sementara owa bilau (Hylobates klossii) di Mentawai disebutkan masih dalam survey..

Selain itu, para peneliti juga menemukan dua isu utama pada owa di Kalimantan. Pertama, hanya owa kalawat (Hylobates muelleri) dan owa jenggot-putih (Hylobates albibarbis) yang terdaftar hewan dilindungi sedangkan owa kelempiau (Hylobates funereus) dan owa kelempiau barat (Hylobates abbotti) belum termasuk daftar hewan dilindungi. Kedua, keempat spesies tersebut berada di luar kawasan lindung, di area pribadi dan masyarakat.

“.. oleh karena itu perlu ada keterlibatan multi-stakeholder untuk pengembangan strategi konservasi,” jelas rekomendasi dari penelitian tersebut.

Owa memiliki keunikan yang dapat bernyanyi bahkan dapat berduet dengan owa lainnya. Suaranya menjadi penting untuk menandakan dan menjaga teritori mereka. Namun, sejak kebakaran hutan besar pada 2015 di Hutan Sebangau, Kalimantan Tengah, akibat El Nino, ditemukan perubahan perilaku populasi terhadap owa jenggot-putih. Tidak hanya kesulitan mencari habitat baru, berdasarkan laporan Borneo Nature Foundation terdapat perubahan bagaimana owa bernyanyi.

“Saat terjadi kebakaran hutan, di situ ada asap yang tebal, owa ini tidak bisa bersuara,” jelas Community Leader Gibbonesia, Afrizal Abdi pada betahita.id (28/10).

Untuk menandakan teritori mereka terutama pada owa non-endemik, Afrizal mengatakan bahwa owa-owa Kalimantan dan Sumatera saling berduet. Namun, akibat asap owa tidak dapat berduet.

“Berduet ini kan salah satunya untuk menjaga teritori, karena mereka berasap mereka akhirnya tidak bersuara mereka tidak bisa bernyanyi akhirnya mereka tidak bisa menandai teritori mereka,” tambah Afrizal.

Tidak sampai di situ, Gibbonesia juga memaparkan kondisi perdagangan jual beli owa di media sosial Facebook. Hingga akhir 2020 Gibbonesia masih menemukan banyak owa yang dijual belikan secara diam-diam. Afrizal menjelaskan tren jual-beli cenderung meningkat dari tahun ke tahun meskipun ada fluktuasi.

“Untuk keterancamannya kami menemukan data owa siamang itu paling banyak diperdagangkan bayinya secara ilegal. Dari 719, yang bisa kami identifikasi 40% nya itu owa siamang. Jadi urutannya owa siamang, owa ungko, owa jawa, owa kalawat, dan terakhir owa jenggot putih. Dan memang owa siamang ini yang paling banyak kami temui di facebook,” jelas Afrizal.

Afrizal menghimbau para pengguna media sosial untuk me-report as spam jika melihat postingan mengenai penjualan ilegal di media sosial dan melaporkan ke BKSDA atau balai hukum agar ditindak lanjuti.