Aksi Iklim Indonesia Dinilai Sangat Tak Memadai

Penulis : Syifa Dwi Mutia

Perubahan Iklim

Sabtu, 30 Oktober 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Indonesia telah memutakhirkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC). Namun, target Indonesia untuk mencapai netral karbon pada 2060 dinilai “Sangat Tidak Memadai” berdasarkan press rilis Institute for Essential Services Reform (28/10).

Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan dan aksi iklim di Indonesia masih mengarah pada peningkatan emisi. Agar selaras dengan Persetujuan Paris, Indonesia perlu menetapkan target dan kebijakan yang lebih ambisius terutama pada sektor yang berkontribusi pada peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK), dan mendorong aliran pendanaan internasional.

Sepanjang 2019, sektor energi masih menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) terbesar, yaitu 44,7% selain sektor FOLU atau hutan dan penggunaan lahan. Sub sektor pembangkit listrik bertanggung jawab terhadap 35% emisi GRK, diikuti oleh transportasi dan industri masing-masing 27%.

Berdasarkan Laporan Transparansi Iklim atau Climate Transparency 2021 yang dirilis oleh IESR, Indonesia belum memiliki strategi penghentian batubara secara bertahap serta kebijakan yang mendorong persaingan energi terbarukan dengan batubara, walaupun Indonesia sudah mengusulkan peningkatan energi terbarukan di bidang ketenagalistrikan, transportasi, dan industri. Laporan tersebut juga memproyeksikan emisi GRK Indonesia pasca pandemi akan melonjak melebihi emisinya pada 2019 seiring dengan bangkitnya aktivitas ekonomi.

Aksi anak muda menuntut pemerintah agar menyetop penggunaan batu bara untuk menghadapi krisis iklim. Foto: Istimewa

“Berdasarkan kajian IESR, paling tidak, agar selaras dengan Persetujuan Paris, penurunan emisi karbon kita di sektor energi seharusnya di atas 500 juta ton," ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform pada peluncuran Climate Transparency Report, Profil Negara Indonesia 2021 (28/10).

Fabby memaparkan ada tiga strategi yang pemerintah bisa lakukan untuk menekan emisi GRK dari sektor emisi.

"Pertama, peningkatan bauran energi terbarukan. Kenaikan bauran energi terbarukan harus mencapai 50% di 2030.  Kedua, mendorong efisiensi energi, khususnya dari sektor transportasi. Konsumsi energi kita per kapita untuk listrik relatif rendah, sementara permintaan bahan bakar transportasi sangat tinggi dan penyumbang emisi tertinggi," ujarnya.

Ketiga, Fabby menuturkan bahwa dengan mempensiunkan dini paling sedikit 10 GW PLTU atau tidak memperpanjang kontraknya akan efektif menurunkan emisi.

Hingga 2020, sektor ketenagalistrikan Indonesia masih didominasi oleh bahan bakar fosil, yaitu 82% dengan batubara menyumbang pangsa tertinggi, yaitu 62% dalam pembangkitan listrik pada 2020.

Akibatnya, intensitas emisi sektor ketenagalistrikan selama lima tahun dari 2015 hingga 2020 tidak mengalami perubahan signifikan, hanya menurun 1%. Sementara rata-rata negara anggota G20 telah menurun 10 kali lebih cepat.

Pemerintah Indonesia pun belum sepenuhnya menerapkan komitmennya untuk menekan emisi dari batubara. Demi memenuhi tujuan netral karbon pada 2060, pemerintah telah mengumumkan bahwa tidak akan membangun PLTU batubara baru setelah tahun 2023.

Namun, di saat yang bersamaan, sekitar 2 gigawatt kapasitas batubara sudah mulai beroperasi. Tidak hanya itu, dalam NDC, Indonesia berjanji untuk mengurangi batubara hingga 30% pada 2025 dan 25% pada 2050.

Sementara menurut analisis laporan, PLTU batubara bahkan harus mencapai puncaknya pada 2020 dan berhenti sepenuhnya pada 2037 untuk mencegah kenaikan suhu 1,5 derajat celcius.

Untuk mengurangi emisi GRK diperlukan pendanaan yang tidak sedikit. Oleh karena itu, pendanaan publik harus sudah mulai mengarah kepada aksi yang mampu mengatasi perubahan iklim yang lebih serius.

"Selain itu, subsidi di sektor energi fosil harus sudah mulai dihentikan dan mempercepat transisi energi melalui pendanaan energi terbarukan," kata Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau, IESR.

Menurutnya, investasi pada energi hijau dan infrastrukturnya perlu lebih besar dibandingkan investasi bahan bakar fosil pada 2025. Selama ini, Indonesia telah menghabiskan 8,6 miliar USD untuk subsidi bahan bakar fosil pada 2019. Sebesar 21,96% di antaranya untuk minyak bumi dan 38,46% untuk listrik.

Lebih jauh, Lisa menambahkan bahwa penerapan pajak karbon bisa menjadi awal yang baik dalam mendorong upaya pengurangan emisi GRK yang utamanya dikontribusikan dari sektor ketenagalistrikan, transportasi, dan industri sebagai penyumbang emisi terbesar di Indonesia pada sektor energi.

"Namun perlu adanya mekanisme yang lebih feasible (layak) agar penerapan pajak karbon mampu mengurangi emisi secara signifikan dan memajukan ekonomi yang berketahan iklim melalui upaya yang lebih besar lagi misalnya melalui carbon trading (perdagangan karbon).” kata Lisa.

Penulis merupakan reporter magang di betahita.id