Konflik Orang Rimba dan Perusahaan Sawit Terjadi Lagi di Jambi

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Senin, 01 November 2021

Editor : Kennial Laia

BETAHITA.ID -  Konflik antara Orang Rimba dan perusahaan kelapa sawit kembali terjadi di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Kejadian beruntun, dimulai dari perselisihan di kebun sawit yang berujung pada pembakaran rumah dan properti milik kelompok minoritas tersebut.

Keterangan yang didapatkan Betahita, konflik terbaru terjadi pada Jumat (29/10) lalu. Perempuan rimba sedang mengambil brondol sawit di area kebun milik perusahaan PT PKM di Kecamatan Air Hitam Sarolangu. Tak lama, satpam perusahaan datang dan mengambil buah yang sudah dikumpulkan. Hal ini diprotes oleh perempuan komunitas adat tersebut.

Menurut Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Orang Rimba bernama Besayung datang untuk melindungi perempuan yang berhadapan dengan satpam. Besayung kemudian dipukuli. Perselisihan berlanjut kala orang rimba lainnya lewat “membawa senjata rakitan.”

Dalam situasi gaduh, orang rimba menembakkan senjatanya dan mengenai tiga orang satpam. Satu tembakan kena di kaki, satu tangan, dan satu di bagian belakang. Mereka lalu dibawa ke rumah sakit oleh pihak perusahaan.

Suku Anak Dalam atau Orang Rimba tinggal nomaden di dalam hutan selama ratusan tahun. Orang Rimba mulai kesulitan mencari pangan akibat ekspansi bisnis kehutanan termasuk perkebunan kelapa sawit yang masuk ke wilayah jelajah mereka, yang kerap berujung pada konflik antara kedua belah pihak. Foto: KKI Warsi

Perselisihan di kebun diikuti dengan penyerangan ke pemukiman Orang Rimba yang menumpang tinggal di pemukiman madani Desa Lubuk Jering, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. KKI Warsi menyebut, sudung (rumah) Orang Rimba yang berdiri di dalam perkebunan sawit  milik orang lain, diobrak-abrik. Total ada 5 unit sepeda motor yang terbakar.

“Saat ini kondisinya Orang Rimba lari mengungsi, ketakutan pasca bentrok yang terjadi,” kata Manager Program Suku-Suku KKI Warsi Robert Aritonang dalam keterangan tertulis, Senin, 1 November 2021.

Menurut Robert, bentrokan yang terjadi merupakan rentetan konflik yang sebelumnya terjadi pada 17 September 2021. Saat itu sembilan beberapa Orang Rimba mengambil buah sawit yang jatuh dari pohon di area perusahaan PT PKM.  Dalam perjalanan pulang, mereka dihadang satpam dan pekerja perusahaan PKM. Satpam meminta mereka menurunkan hasil brondolan.

Para satpam juga memukuli Orang Rimba, menyebabkan tiga luka-luka. Enam motor milik Orang Rimba dirampas dan dibuang ke parit perusahaan yang lokasinya berada di kawasan gambut Sarolangun. Tujuh Orang Rimba lainnya yang melewati lokasi kejadian juga ikut dipukuli. Terdapat 17 motor Orang Rimba yang dirampas dan dibuang ke parit dalam kejadian tersebut.

Menurut Robert, perselisihan tersebut disusul dengan kesepakatan damai pada 13 Oktober 2021. Perusahaan berjanji membayar denda adat atas luka yang dialami Orang Rimba sebesar Rp 36 juta. Sementara itu, 17 motor yang dibenamkan di parit dikembalikan ke Orang Rimba dalam kondisi sudah diperbaiki. Perusahaan berjanji akan melaksanakan kesepakatan dalam.

Hingga Jumat, 29 Oktober, perusahaan tak kunjung melakukan janjinya. Orang Rimba kemudian kembali membrondol sawit yang berujung pada meletusnya konflik yang semakin luas.

Menurut Robert, konflik yang terus berlangsung antara Orang Rimba dan perusahaan kelapa sawit berakar pada akumulasi persoalan marginalisasi komunitas adat tersebut yang tidak kunjung selesai.

Perusahaan sawit yang berkonflik dengan Orang Rimba, merupakan wilayah jelajah suku ini sejak sebelum ada perusahaan. Ketika perusahaan datang membuka lahan, komunitas terlunta-lunta di lahan mereka. Pasalnya, tidak ada upaya untuk mengakomodir suku ini.

“Ini yang jadi intinya, Orang Rimba kehilangan sumber penghidupan mereka, akibat beralih fungsi menjadi perkebunan sawit,” kata Robert.

Orang Rimba juga kehilangan sumber pangan (umbi-umbian dan buah) akibat lahan yang ditanami sawit. Kondisi ini memaksa Orang Rimba mengambil brondol yang jatuh untuk ditukarkan dengan beras.

“Kondisi ini yang jadi sumber persoalan. Pembiaran yang terlalu lama pada nasib Orang Rimba telah menyebabkan semakin buruknya kualitas hidup Orang Rimba,” tutur Robert.

Ketika Orang Rimba melakukan aktivitas mengambil brondol dianggap sebagai pencuri pelaku kriminal, dan juga dengan sangat mudah mereka diperlakukan sewenang-wenang. Kekerasan kerap mereka terima dari satpam perusahaan.

“Tidak ada perhitungan dari perusahaan bahwa orang rimba sudah ada di situ jauh sebelum mereka hadir,”kata Robert.

“Sama sekali perusahaan tidak melihat Orang Rimba bagian yang harusnya dicarikan solusi permanen untuk mereka. Orang Rimba seolah dianggap sebagai penumpang di lahan tersebut. Sehingga semua tindakan mereka dianggap sebagai pelaku kriminal. Kesalahannya disitu, tidak melihat Orang Rimba bagian dari anak bangsa,” kata Robert. 

Robert menambahkan, harus ada itikad baik perusahaan dan pemerintah untuk mengakomodir Orang Rimba dalam sistem penghidupan yang diakui semua pihak.

“Sebenarnya sejak beberapa tahun ini, sudah ada skema yang paling tepat untuk Orang Rimba yang berada di kebun sawit, yaitu dengan adanya skema reforma agraria. Pengakuan orang rimba di wilayah itu dan diberi sumber penghidupan yang dihargai semua pihak,”kata Robert.

Kondisi serupa juga terjadi di banyak kelompok Orang Rimba yang tinggal di bawah perkebunan sawit. KKI Warsi mencatat, terdapat lebih dari 414 Kepala Keluarga Orang Rimba yang tinggal di dalam perkebunan sawit, diantaranya perusahaan sawit skala besar milik Sinar Mas Plantation yaitu PT PKM dan  KDA, serta milik ASTRA yaitu PT SAL.

“Manajemen perusahaan harus bertanggung jawab secara utuh atas Orang Rimba yang ada di lahan mereka, dan tidak membenturkan Orang Rimba dengan pekerja perusahaan, sehingga konflik ini bisa diakhiri secara permanen,” pungkas Robert.