Gelombang Kritik PascaPidato Jokowi di COP26

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Perubahan Iklim

Rabu, 03 November 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampil pada perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26 di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021) kemarin. Di sana Jokowi berpidato tentang komitmen Indonesia terhadap penanganan perubahan iklim. Segera gelombang komentar negatif dari kalangan aktivis lingkungan datang bergulung.

Sebagian besar komentar yang muncul bernada negatif, bahkan ada yang menganggap Presiden Jokowi hanya beromong kosong belaka. Lantaran, apa yang disampaikannya memunggungi kenyataan sebenarnya di Indonesia.

Greenpeace Indonesia misalnya, menilai isi pidato Presiden Jokowi tidak memperlihatkan komitmen serius dan ambisius, yang merupakan inisiatif pemerintah sendiri. Sebagai anggota G20 dan bahkan memegang presidensi G20 di 2022, Indonesia seharusnya bisa menjadi contoh bagi banyak negara berkembang untuk memutus ketergantungan terhadap energi kotor, mewujudkan nol deforestasi, serta tidak bergantung pada dukungan internasional.

"Sebagai bagian dari 20 ekonomi terbesar di dunia, dan 10 negara pengemisi terbesar, seharusnya Indonesia memimpin dengan komitmen ambisius dan aksi nyata untuk dekarbonisasi ekonominya. Yaitu dengan berkomitmen untuk mencapai karbon netral pada 2050, menghentikan dominasi batubara pada sektor energi, dan tidak menggantungkan diri pada perdagangan karbon yang merupakan solusi palsu terhadap krisis iklim," kata Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, dalam siaran persnya, Selasa (2/11/2021).

Presiden Joko Widodo berpidato pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26, di Glasgow, Senin (01/11/2021)./Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev

Greenpeace Indonesia mencatatkan sejumlah ketidaksesuaian pernyataan Presiden Jokowi dengan kondisi faktual di dalam negeri.

  1. Laju deforestasi diklaim turun signifikan terendah dalam 20 tahun terakhir.
    Yang terjadi deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta hektare per tahun (2003-2011), menjadi 4,8 juta hektare per tahun (2011-2019). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi.
    Tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021 tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat. Faktanya dari tahun 2002-2019, saat ini terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektar dari konsesi HTI dan 2,77 juta hektare kebun sawit.
    Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan akan tetap tinggi. Deforestasi di masa depan, akan semakin meningkat saat proyek food estate, salah satu proyek PSN dan PEN dijalankan. Akan ada jutaan hektar hutan alam yang akan hilang untuk pengembangan industrialisasi pangan ini.
  2. Kebakaran hutan diklaim turun 82 persen di tahun 2020
    Penurunan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2020 jika dibandingkan 2019 yang mencapai 296.942 hektare ini adalah angka kebakaran yang luasnya setara dengan 4 kali luas DKI Jakarta. Penurunan ini juga disebabkan gangguan anomali fenomena La Nina, bukan sepenuhnya hasil upaya langsung pemerintah.
    Pemerintah tidak boleh menganggap sepele angka tersebut, sebab ongkos sesungguhnya harus ditinjau dari masalah kesehatan masyarakat, biaya penanggulangan, kerugian ekonomi dan kerusakan lingkungan yang sangat besar. Tingkat keseriusan pemerintah harus ditindaklanjuti dengan proaktif menyasar lahan gambut yang dieksploitasi atau dikeringkan oleh perusahaan yang berawal dari pemberian izin-izin pembukaan lahan di atas ekosistem lahan gambut.
    Selain itu, pemerintah bisa mengevaluasi kebijakan sebelumnya yang melegalisasi atau mempercepat terjadinya degradasi gambut. Komitmen ini harus ditindaklanjuti dengan penindakan tegas dengan mencabut izin usaha dan ganti rugi pemulihan lingkungan sehingga memberikan efek jera, ketimbang sanksi administrasi yang lunak bagi perusak lingkungan.
    Indonesia sulit berharap terbebas dari karhutla tahunan dalam waktu dekat, pasalnya pemerintah masih bersikap permisif memberi kelonggaran kepada industri menggarap lahan gambut. Penelitian Greenpeace Indonesia terbaru mengungkapkan hampir sepertiga dari Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) di 7 provinsi prioritas restorasi gambut, berada pada level kritis yang disebabkan penggunaan lahan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit skala besar.
  3. Indonesia disebut telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektar sampai di 2024
    Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia yaitu 3.489.140,68 hektare (tahun 2015) yaitu 23 persen dari ekosistem mangrove dunia. Namun lebih dari setengah dalam kondisi rusak yaitu seluas 1.817.999,93 hektare.
    Sampai hari ini alih fungsi lahan gambut untuk tambak, pemukiman, illegal logging, perkebunan, infrastruktur di kawasan pesisir seperti reklamasi, jalan, pariwisata dan pelabuhan, masih terus terjadi. Kondisi ini diperburuk dengan pencemaran dari darat seperti limbah plastik, limbah rumah tangga, tumpahan minyak dan juga sedimentasi akibat rusaknya kawasan hulu sungai.
    Rencana pemerintah untuk merestorasi hutan mangrove seluas 600.000 hektare di tahun 2024 terdengar sangat hebat, tetapi jika dibandingkan luas hutan mangrove yang rusak di Indonesia yang telah mencapai 1,8 juta hektare, hal ini tidak ambisius mengingat hutan mangrove mempunyai fungsi ekologi yang sangat vital bagi kawasan pesisir yang saat ini sedang menghadapi ancaman krisis iklim.
    Selain itu, hal ini sepertinya bertolak belakang dengan kebijakan utama Pemerintah Indonesia yang saat ini lebih mengutamakan laju investasi yang telah menyebabkan masifnya pembangunan kawasan industri dan infrastruktur di kawasan pesisir. Kebijakan utama ini akan mengorbankan dan merusak ekosistem mangrove yang masih ada, dan juga akan menghambat laju pertumbuhan mangrove yang sedang direhabilitasi karena rehabilitasi mangrove membutuhkan kondisi lingkungan yang baik.
  4. Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta hektare lahan kritis antara 2010-2019
    Capaian ini perlu dipertanyakan ulang mengingat terdapat peningkatan laju deforestasi di Indonesia dari yang sebelumnya 1,1 juta hektare per tahun (2009-2013) menjadi 1,47 juta hektare per tahun (2013-2017). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi. Walaupun ada klaim penurunan laju deforestasi dari pemerintah dalam 2 tahun terakhir, angka itu menjadi kurang berarti karena adanya pergeseran area-area terdeforestasi dari wilayah barat ke wilayah timur (Papua).
    Nasib komitmen moratorium sawit yang tidak jelas sampai saat ini menjadi sinyal perlunya peningkatan target perbaikan tata kelola hutan. Hasil analisis Greenpeace Indonesia dan The Tree Map menemukan seluas 3,12 juta hektare perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan hingga akhir tahun 2019, setidaknya terdapat 600 perusahan perkebunan di dalam kawasan hutan, dan sekitar 90.200 hektare perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan konservasi.
    Letak perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan paling luas berada di pulau Sumatera (61,5 persen) dan Kalimantan (35,7 persen). Dari dua pulau tersebut, terdapat dua provinsi dengan ekspansi sawit terbesar yaitu provinsi Riau (1.231.614 hektare) dan Kalimantan Tengah (821.862 hektare). Dua provinsi ini menyumbang dua pertiga dari total nasional.
  5. Sektor kehutanan dan lahan yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia akan mencapai carbon net sink pada 2030
    Sudah saatnya Indonesia untuk segera mengakhiri deforestasi, didukung oleh undang-undang dan kebijakan yang ketat, yang mengakui hak atas tanah masyarakat adat, melindungi hutan secara total, juga menghilangkan deforestasi melalui rantai pasokan industri berbasis lahan. Masyarakat adat dan praktek pengelolaan berkelanjutan terhadap sumberdaya alam adalah solusi untuk krisis iklim. Hak-hak masyarakat adat dan lokal harus menjadi inti dari semua kebijakan perlindungan alam.
  6. Terkait sektor energi, pemerintah menjalankan pengembangan ekosistem mobil listrik
    Sektor kelistrikan Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, khususnya batu bara. Bauran energi batu bara pada kelistrikan saat ini mencapai 67 persen dan tetap mendominasi hingga 2030, yaitu sebesar 59 persen. Untuk itu, jika pengembangan mobil listrik tersebut dilakukan dengan kondisi jaringan yang masih brown, maka tujuan pengurangan emisi secara signifikan tidak akan tercapai karena hal tersebut sama saja dengan memindahkan emisi dari sektor transportasi ke sektor pembangkitan listrik.
    Selain itu, Indonesia juga dihadapkan dengan permasalahan over supply listrik yang mencapai 45 persen di Pulau Jawa-Bali dan 55 persen di Pulau Sumatera dan juga pembangunan PLTU batu bara baru sebesar 12,5 gigawatt di wilayah-wilayah tersebut. Apabila ekosistem mobil listrik dibuat hanya untuk menyerap kelebihan pasokan listrik dari energi kotor batu bara, maka Indonesia akan semakin jauh dari pencapaian target Paris Agreement.
  7. Pemanfaatan energi baru dan terbarukan termasuk biofuel
    Biofuel merupakan solusi semu bagi transisi energi, karena akan menaikkan laju deforestasi untuk pemenuhan produksi dan akan memperlebar penyelewengan penggunaan dana pemulihan ekonomi kepada subsidi minyak bumi dan kegiatan ekstensifikasi lahan bagi industri berbasis kelapa sawit atau biomassa (wood pellet, dsb).
    Jika melihat dari program biodiesel pemerintah yang berbasis minyak sawit, biodiesel yang level blending 30 persen, akan memerlukan 5,2 juta hektare di atas 16 juta hektare perkebunan sawit yang sudah ada, jika menggunakan skenario tambahan blending 50 persen maka akan ada penambahan 9 juta hektare pada 2025 di atas perkebunan sawit yang sudah ada.
  8. Pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara
    Presiden Jokowi dalam pidatonya masih terjebak pada proyek-proyek rekor, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terbesar dan kawasan industri hijau terbesar. Indonesia seharusnya menempuh transisi ke ekonomi hijau dalam bentuk perubahan kebijakan mendasar, dan implementasinya seperti transisi energi secara masif dan cepat, untuk mencapai zero emission di 2050. Hal ini menunjukkan Presiden Jokowi belum memiliki komitmen serius dan masih menjadikan isu krisis iklim sebagai isu pinggiran dan solusinya sebagai gimmick.
  9. Carbon market dan carbon price harus menjadi bagian dari upaya penanganan isu perubahan iklim
    Greenpeace secara tegas menolak rencana penyeimbangan karbon atau carbon offset, karena Greenpeace berpandangan hal ini adalah solusi palsu bagi iklim, yang hanya akan memindahkan tanggung jawab, dibanding penurunan emisi karbon secara langsung dan masif yang harus dilakukan segera oleh industri ekstraktif. Sebaliknya, negara-negara di dunia termasuk Indonesia juga harus melakukan perubahan mendasar untuk mencapai zero emission yang sebenarnya melalui transisi hijau.

"Presiden Jokowi perlu menyadari bahwa 2 minggu ke depan dalam COP26 Glasgow ini akan sangat menentukan bagi keberlanjutan kemanusiaan kita. Indonesia perlu menunjukkan kepemimpinan yang nyata, melalui perubahan-perubahan fundamental pada sistem ekonominya yang dapat membantu untuk menghindarkan kita semua dari bencana iklim permanen di akhir abad ini," kata Leonard.

Di kesempatan lain, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik menyebutkan, kalaupun luas karhutla di Indonesia menurun dalam beberapa tahun terakhir, sebenarnya itu bukan semata karena adanya upaya hebat dari pemerintah Indonesia. Faktor utama bencana karhutla tidak terjadi begitu besar dua tahun terakhir adalah karena iklim di Indonesia yang cenderung basah.

"Bahwa Indonesia tidak melakukan apa-apa terhadap penjagaan hutan. Bahkan kalau kita tahu di tahun 2021 ini ada beberapa perusahaan yang sebelumnya terbakar pada 2015 dan 2019, terbakar lagi di 2021 di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat. Artinya, kebakaran hutan tidak bisa diklaim oleh Jokowi sebagai keberhasilan. Boleh dikatakan bahwa klaim-klaim Jokowi seluruhnya omong kosong," kata Iqbal dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Selasa (2/11/2021).

Iqbal menyebut, berdasarkan penelitian yang dilakukan Greenpeace, kebergantungan perekonomian Indonesia pada industri ekstraktif sebenarnya bisa dihentikan. Karena kalau dilihat lebih dalam, sebenarnya ada ruang-ruang pekerjaan hijau yang dapat terisi ketika terjadi suatu transisi.

"Industri ekstraktif tidak punya korelasi positif terhadap ekonomi daerah, bahkan penyerapan tenaga kerja. Semakin banyak industri ekstraktif, semakin tinggi pengangguran dan indeks pembangunan manusia. Artinya korelasinya negatif. Industri tidak membawa keberkahan. Kita harus segera keluar dari industri ekstraktif."

Di kesempatan sama, Manajer Kampanye Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yuyun Harmono mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi perhatian Walhi dari pidato Presiden Jokowi. Meskipun sebenarnya tidak ada hal baru yang disampaikan Presiden Jokowi dalam pidatonya pada COP26, bahkan apa yang disampaikan Presiden itu sudah sering disampaikan di berbagai forum, termasuk dalam pidatonya G20.

"Kemudian mendorong tanggung jawab negara maju dalam konteks pendanaan, dan tentu saja posisi ini adalah posisi yang sama di negara-negara berkembang. Dan yang terakhir adalah sekali lagi jualan hutan, kira-kira begitu ya," kata Yuyun.

Walhi menilai, dalam konteks transisi menuju energi terbarukan dari energi fosil, tidak dijelaskan kapan Indonesia akan meninggalkan energi kotor terutama batu bara dan mempensiunkan PLTU-PLTU. Karena kalau dilihat dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru yang diklaim sebagai RUPTL hijau, sampai 2030 masih akan dibangun 13,8 gigawatt sumber energi yang berasal dari batu bara.

"Salah satunya adalah yang akan dibangun di Jambi. Yang sekarang sedang digugat oleh kawan-kawan Walhi Jambi, PLTU Mulut Tambang 1. Ini salah satu upaya menghentikan supaya proyek-proyek pembangunan berbasis batu bara yang sudah terlanjur disetujui untuk tidak dibangun."

Yuyun menganggap upaya hukum terhadap pembangunan PLTU Mulut Tambang Jambi 1 ini merupakan bagian dari peran masyarakat sipil dengan cara menghentikan penggunaan energi kotor. Tidak hanya terhadap PLTU, proyek-proyek tambang batu bara juga tengah diupayakan, seperti dilakukan para aktivis lingkungan di Kalimantan Selatan.

Selanjutnya, Jokowi tidak menjelaskan secara detail tahapan-tahapan transisi dari energi kotor ke energi terbarukan. Jokowi hanya menyebut ekosistem mobil listrik. Padahal proyek mobil listrik ini juga berpotensi penghancuran lingkungan. Sulawesi bahkan Papua akan menjadi ladang penghancuran lingkungan baru, melalui tambang nikel.

"Bagi kami di Walhi transisi yang adil dari fosil ke energi terbarukan harus dimulai dari awal. Yaitu transisi dari materialnya. Kalau tidak begitu dia akan menyebabkan kerusakan baru dan kehancuran baru di dunia."

Yuyun kemudian menyoroti soal biofeul yang dianggap sebagai bagian dari energi terbarukan. Menurut Yuyun, proyek biofeul berpotensi akan memicu kehancuran lingkungan karena tidak ada jaminan bahwa proyek itu tidak akan menyebabkan ekspansi perkebunan sawit. Apalagi Undang-Undang Cipta Kerja tidak secara tegas menjamin perlindungan lingkungan.

Lain hal lagi, Jokowi dalam pidatonya juga tidak berani mengakui bahwa Indonesia sedang mengalami krisis iklim, termasuk pengakuan terhadap hak korban krisis iklim. Padahal saat ini PBB sudah mengakui krisis iklim sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Komentar negatif terhadap pidato Presiden Jokowi juga datang dari Erasmus Cahyadi, Deputi 2 Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Urusan Politik. Eras melihat, dalam perhelatan COP26 ini dapat diasumsikan bahwa hanya sedikit kepala negara yang hadir dan berpidato dengan membawa agenda bangsanya, sebagian besar hanya membawa agenda pemerintahannya, termasuk Presiden Jokowi.

"Presiden Jokowi gagal merepresentasikan kondisi bangsa indonesia. Berbeda dengan kepala negara lain yang menyinggung peran anak muda dan masyarakat adat sebagai bagian dari solusi krisis iklim," kata Erasmus.

Erasmus meyakini, tidak akan terjadi perubahan apapun di Indonesia menyangkut penanganan perubahan iklim. Karena perangkat kebijakan yang adasemuanya sudah menutup peluang terjadinya perubahan. Mulai dari Omnibus Law, aturan tentang nilai ekonomi karbon, aturan tentang perpajakan dan aturan yang lemah terhadap masyarakat adat.

"Itu semua menjadi instrumen, masyarakat adat dan perempuan tidak akan menjadi perhatian dari proyek iklim ini. Alih-alih membuat perubahan, proyek iklim ini akan jadi kuda tumpangan baru merampas lebih banyak."

Terakhir Erasmus menegaskan, bagi AMAN, jual beli karbon yang sedang digaungkan pemerintah, bahkan disampaikan pula oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya di COP26, merupakan mekanisme amoral. Bagi AMAN, negara penghasil emisi karbon mestinya dihukum, bukan malah diberi peluang cuci dosa dengan membeli karbon dari negara lain sambil masih tetap bisa melakukan pencemaran.

"Si poluter akan tetap melalukan pencemaran dan membeli karbon dari tempat lain. Bagi AMAN hal itu tidak bermoral. Kita curiga bahwa mekanisme ini suatu mekanisme yang bisa dipakai untuk merampas lebih lanjut. Sangat rentang bagi masyarakat adat. Harusnya mengurangi sampai stop emisi, bukan memberikan konsesi hijau lagi."

Berikut ini pidato lengkap Presiden Jokowi, seperti ditayangkan di kanal you tube Sekretariat Presiden:

"Perubahan iklim adalah ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Solidaritas, kemitraan, kerja sama, kolaborasi global, merupakan kunci. Dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus bekontribusi dalam penanganan perubahan iklim. Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan juga turun 82 persen di tahun 2020.

Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare di 2024, terluas di dunia. Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara tahun 2010 sampai 2019. Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia akan mencapai carbon net sink, selambatnya tahun 2030.

Di sektor energi kami juga terus melangkah maju. Dengan pengembangan ekosistem mobil listrik, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis clean energy termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia, di Kalimantan Utara.

Tetapi hal itu tak cukup. Kami terutama negara yang mempunyai lahan luas yang hijau dan berpotensi dihijaukan, serta negara yang memiliki laut luas yang potensial menyumbang karbon, membutuhkan dukungan dan kontribusi dari internasional, dari negara-negara maju. Indonesia akan terus memobilisasi pembiayaan iklim dan pembiayaan inovatif serta pembiayaan campuran, obligasi hijau, dan sukuk hijau.

Penyediaan pendanaan iklim dengan pendanaan negara maju merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. Indonesia akan dapat bekontribusi lebih cepat bagi net zero emissions dunia.

Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Ini butuh aksi, butuh implementasi secepatnya. Selain itu carbon market dan carbon price harus menjadi bagian dari isu perubahan iklim. Ekosistem ekonomi karbon yang transparan, berintegritas, inklusif, dan adil harus diciptakan.

Sebagai penutup di KTT ini, atas nama Forum Negara-negara Kepulauan dan Pulau Kecil (AIS), Indonesia merasa terhormat bisa mensirkulasikan pernyataan bersama para pemimpin AIS Forum. Sudah jadi komitmen AIS Forum untuk terus memajukan kerjasama kelautan dan aksi iklim di UNFCCC. Terima kasih."