Pertimbangan Putusan Gugatan Satwa di Luar Nalar Hukum
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Satwa
Rabu, 03 November 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Padang Sidimpuan memutuskan menolak gugatan perdata konvensi satwa yang diajukan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) kepada PT Nuansa Alam Nusantara (NAN). Putusan tersebut dibacakan Majelis Hakim dalam persidangan perkara nomor 9/Pdt.G/LH/2021/PN Psp yang digelar di PN Padang Sidimpuan, Selasa (2/11/2021). Pertimbangan yang digunakan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara ini dianggap di luar nalar hukum.
Majelis Hakim menilai, PT NAN sebagai pihak Tergugat tidak ada niatan atau secara sengaja menguasai satwa orangutan sumatera (Pongo abelli) yang dijadikan objek perkara. Majelis Hakim menganggap keberadaan orangutan di fasilitas kebun binatang mini PT NAN itu adalah karena keinginan dari pemerintah, dalam hal ini Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara (Sumut).
"Sehingga dia (PT NAN) dianggap tidak punya niat atau kesengajaan melakukan perbuatan melawan hukum. Kemudian, BBKSDA sebagai Turut Tergugat, menitipkan orangutan di Tergugat dengan alasan kalau dibawa ke lembaga konservasi yang resmi yang sudah ada izin, itu jauh dan berpotensi membahayakan keselamatan orangutannya," kata Kuasa Hukum Penggugat, Muhammad Alinafsiah Matondang, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Selasa (1/22/2021).
Meski demikian, lanjut Ali, pihaknya masih beranggapan bahwa keberadaan orangutan di kebun binatang mini PT NAN tetaplah merupakan pelanggaran hukum. Karena saat orangutan itu berada di kebun binatang mini, PT NAN tidak memiliki Izin Lembaga Konservasi, sehingga memelihara orangutan adalah perbuatan melawan hukum.
"Cuma tetap saja, yang ada di pikiran kita sebagai orang hukum, walaupun ada itikad baik dari BBKSDA, kan tahu kalau itu (PT NAN) tidak ada izin, apapun alasannya tidak ada izin. Kalaupun persoalan di jalan itu panjang, ya itukan BBKSDA punya sumber daya yang bisa digunakan. Bagaimana caranya orangutan aman di perjalanan. Itu tidak menjadi alasan sebenarnya. Karena persoalan izin inikan sudah cerita soal kelayakan. Sepanjang tidak ada izin, artinya tidak layak. Begitu saja."
Menurut Direktur Hukum, Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputera, pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara gugatan satwa PT NAN itu seperti di luar nalar atau logika hukum. Karena secara faktual PT NAN telah membuka kebun binatang dengan menempatkan satwa dilindungi di dalamnya tanpa izin yang sah, sehingga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Tapi ditafsirkan sah secara hukum. Pertimbangan ini dapat saja menjadi preseden bagi banyak orang yang ingin memelihara satwa dilindungi tanpa harus memiliki izin," kata Roni, Selasa (1/11/2021).
Selain itu, lanjut Roni, pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa niat menguasai satwa untuk menyelamatkan satwa dari kepunahan, juga jelas tidak dapat diterima dengan akal sehat. Lantaran, alaminya satwa itu mempunyai habitatnya sendiri.
"Dan ketika ia dipelihara oleh manusia, maka perannya terhadap habitatnya jelas akan hilang. Apalagi satwa-satwa itu ditempatkan di areal yang terbatas dan dipertontonkan."
Yayasan Auriga Nusantara sendiri, diketahui merupakan organisasi masyarakat sipil yang belum lama ini memberikan pendapat hukum atau amicus curiae terhadap perkara gugatan satwa, kepada Majelis Hakim PN Padang Sidimpuan. Dalam amicus curiae-nya, Yayasan Auriga memberikan 11 poin pendapat, sebagai berikut:
- Pertanggungjawaban perdata di Indonesia yang berinduk pada sistem civil law menganut konsep pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Tunc sebagaimana dikutip Andri G. Wibisono menyatakan dasar dari pertanggungjawaban perdata (tort) adalah aturan yang menyatakan bahwa “every act whatever of man that cuases damages to another, obliges him by whose fault it happened to repair it.” Aturan inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan perbuatan melawan hukum (PMH).
- Untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum, Agustina menyebutkan adanya 5 syarat yang harus dipenuhi, yaitu: (1) Harus ada perbuatan, baik dalam arti melakukan perbuatan maupun tidak melakukan perbuatan; (2) Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang melawan hukum; (3) Adanya kerugian; (4) Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan yang melawan hukum dengan kerugian; dan (5) Adanya kesalahan (schuld).
- Hakikat dari kesalahan menurut pandangan yurisprudensi Belanda sebagaimana dikutip oleh Martokusumo ialah bahwa perbuatan dan akibatnya dapat dipertanggungjawabkan pada si pembuat. Kesalahan dalam arti luas mengandung 2 unsur, yaitu culpa (kurang penduga) dan dolus (kesengajaan). Namun dalam hukum sipil sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 BW tidak perlu dihiraukan adanya kesengajaan atau kurang penduga.
- Dalam perkara a quo, berdasarkan jawab-jinawab persidangan setidaknya terdapat fakta hukum bahwa PT NAN sejak tahun 2017 telah memelihara satwa-satwa dilindungi termasuk salah satunya adalah orangutan sumatera (Pongo abelli) di dalam mini zoo PT NAN.
- Orangutan sumatera (Pongo abelli) sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 merupakan salah satu jenis satwa dilindungi di Indonesia, dan berdasarkan The IUCN Red List of Threatened Species, orangutan sumatera berstatus Critically Endangered atau spesies terancam punah kategori kritis. Dalam Konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), orangutan sumatera dikategorikan dalam Appendiks I, yaitu spesies yang sangat langka yang mengalami tekanan tinggi sehingga dilarang sama sekali dalam perdagangan lintas negara.
- Mini zoo PT NAN sejak tahun 2017 hingga Januari 2020, belum memiliki izin sebagai Lembaga Konservasi sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kehutanan P.31/Menhut-II/2012 yang terakhir dicabut dan diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.22/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2019 tentang Lembaga Konservasi.
- Sebagaimana terlihat melalui riwayatnya yang bisa disimpulkan melalui data registrasi badan usaha yang dikelola Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU), PT NAN sejak berdiri hingga perubahan akta pada 13 Desember 2019 tercatat tidak memiliki bidang usaha kebun binatang dan atau konservasi alam.
- Bahkan, pada tahun 2017 BBKSDA Sumatera Utara pernah menerbitkan surat Nomor: 3630/K3/BIDTEK/KSA/2017 yang intinya melarang PT NAN menerima satwa dari masyarakat karena belum memiliki izin sebagai lembaga konservasi.
- Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dan berdasarkan pendapat ahli mengenai perbuatan melawan hukum (PMH), maka tindakan PT NAN yang telah membuka kebun binatang sebelum memiliki izin sebagai Lembaga Konservasi dan menempatkan satwa-satwa dilindungi di dalamnya adalah jelas sebagai perbuatan melawan hukum.
- Meski konsepsi perbuatan melawan hukum dalam perkara lingkungan tidak dirumuskan secara eksplisit, namun pemaknaan perbuatan melawan hukum dapat dilihat dari riwayat pengaturan mengenai lingkungan hidup di Indonesia. Pada undang-undang mengenai lingkungan hidup pertama kali di Indonesia, yakni UU Nomor 4 Tahun 82 tentang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, perbuatan melawan hukum dapat dilihat pada Pasal 20 ayat (1): “barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup memiliki tanggung jawab dengan membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Pada undang-undang perubahannya, yakni UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Pasal 34 ayat (1) disebutkan: “setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan atau melakukan tindakan tertentu”. Norma ini kembali disadur oleh undang-undang perubahannya, yakni UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagaimana pada Pasal 87 ayat (1) disebutkan: “setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan atau melakukan tindakan tertentu.”
- Terdapat banyak alasan di balik ditetapkannya sebuah satwa pada kategori dilindungi, baik alasan eksistensial, akademis, hingga kemanfaatan. Dicerabutnya satwa dilindungi dari alamnya, apalagi satwa yang berkategori kritis seperti orangutan sumatera (Pongo abelii), akan berimplikasi serius pada kepunahannya. Tak hanya itu, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak riset, orangutan sumatera juga banyak berjasa bagi petani karena turut menata tumbuhan hutan yang selain mengakibatkan terjaganya tutupan hutan yang menjaga air, juga berperan menjaga kelangsungan berbagai tumbuhan hutan yang banyak bermanfaat ekonomi bagi penduduk sekitar. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa tindakan PT NAN memelihara satwa dilindungi tanpa izin merupakan perbuatan melawan hukum karena selain melanggar aturan juga menimbulkan kerugian, tak hanya terhadap spesies dilindungi tersebut, tapi juga kemanfaatannya bagi manusia.
Kronologi Kasus Mini Zoo PT NAN
Dalam dokumen amicus curiae brief-nya, Yayasan Auriga juga menyampakkan kronologis bagaimana PT Nuansa Alam Nusantara (PT NAN) memiliki dan mengelola berbagai satwa dilindungi di dalam kebun binatang mini (mini zoo) yang dikelolanya.
- Pada 17 Mei 2016, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara menerbitkan izin penangkaran rusa (Cervus spp) kepada Partomuan Siregar. Berniat mengembangkan aktivitas pemeliharaan satwa yang dikelolanya menjadi kebun binatang, Partomuan Siregar selanjutnya mendirikan perusahaan dengan nama PT Nuansa Alam Nusantara (PT NAN) pada 10 April 2017. Perusahaan ini mendapatkan pengesahan sebagai perseroan terbatas melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM dan kemudian terdaftar pada registrasi badan hukum AHU-0017186.AH.01.01. Tahun 2017 pada tanggal 12 April 2017.
- Berselang sekitar 2 bulan kemudian, tepatnya 21 Juni 2017, diketahui bahwa terjadi penambahan jumlah dan jenis satwa liar di mini zoo PT NAN. Perusahaan ini berkilah bahwa satwa-satwa tersebut diperoleh langsung dari masyarakat. BBKSDA Sumatera Utara kemudian menerbitkan surat Nomor: 3630/K3/BIDTEK/KSA/2017 yang intinya melarang PT NAN menerima satwa dari masyarakat karena belum memiliki izin sebagai lembaga konservasi.
- Meski demikian, beberapa bulan kemudian BBKSDA Sumatera Utara menerima informasi dari masyarakat mengenai keberadaan satwa liar di mini zoo PT NAN. Terhadap ini, BBKSDA Sumatera Utara menyusun berita acara penitipan satwa ke mini zoo PT NAN bernomor BA.1241/K.3/BKWIII/TSL/11/2017 tanggal 29 November 2017. Tercatat di dalamnya penitipan 1 ekor beruang madu (Helarctos malayanus), 3 kasuari kerdil (Casuarius bennetti), 5 burung unta (Struthio camelus), 5 burung mambruk (Goura sp.), 2 buaya senyulong (Tomistoma schlegelii), dan 1 orangutan (Pongo abelii).
- Pada 18 Januari 2018, PT NAN menggelar konsultasi publik mengenai pembukaan ekowisata. Acara ini dihadiri jajaran Pemerintah Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), seperti Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PMP2TSP), Bappeda, Satpol PP, Dinas Lingkungan Hidup. Berbagai tokoh dan lembaga kemasyarakatan juga turut hadir, seperti MUI, Lembaga Adat dan Budaya Paluta, ICW Paluta, Kementerian Agama, Koramil 05 Padang Bolak, Polsek Padang Bolak, Lurah Pasar Gunungtua, dan sebagainya, termasuk masyarakat yang tinggal di sekitar mini zoo. Pada acara ini Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Paluta, Marahamid Harahap menyampaikan bahwa Dinas Lingkungan Hidup mendukung pengembangan ekowisata PT NAN tersebut menjadi tempat rekreasi masyarakat.
- Namun demikian, justru pada hari yang sama organisasi Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Paluta meminta Pemkab Paluta, melalui surat No. 0022/PALUTA/KTNA/2018 tanggal 18 Januari 2018, untuk segera menutup mini zoo PT NAN.
- Pada 22 Juli 2018, BBKSDA Sumatera Utara melakukan pemeriksaan terhadap mini zoo PT NAN, dan menemukan berbagai satwa dilindungi yang tidak memiliki alas hukum pemeliharaannya. Oleh karenanya, BBKSDA Sumatera Utara melakukan penyitaan terhadap 2 ekor komodo (Varanus komodoenesis), 20 ekor junai emas (Caloenas nicobarica), dan 3 ekor ular piton (Pythonidae). Namun demikian, pada hari yang sama BBKSDA justru menitipkan satwa-satwa sitaan tersebut ke mini zoo PT NAN.
- Pada 7 November 2018, Perkumpulan Konservasionis Hutan dan Satwa (PINUS) Tapanuli melakukan pemantauan ke mini zoo PT NAN dan menemukan berbagai satwa dilindungi di dalamnya, seperti orangutan (Pongo abelii), merak (Phasianidae), burung unta (Struthio camelus), kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), kakatua raja (Probosciger aterrimus), buaya (Crocodylidae), rusa (Cervus spp.), rangkong badak (Buceros rhinoceros), murai batu (Copsychus malabaricus), lovebird (Agapornis), kancil (Tragulus kanchil), landak (Hystricidae), kera albino (Macaca spp.), ular piton (Pythonidae), siamang (Symphalangus syndactylus), kera (Macaca spp.). Temuan ini dilaporkan ke BBKSDA Sumatera Utara pada 20 November 2018. Enam belas hari kemudian, 6 Desember 2018, PINUS Tapanuli melaporkan temuan ini Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Manggala Wanabakti, Jakarta, dengan nomor registrasi pengaduan 180687.
- Laporan PINUS Tapanuli ini direspon oleh Direktur Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administrasi Ditjen Gakkum KLHK, salah satunya dengan mengirimkan surat ke BBKSDA Sumatera Utara. Menjawab surat Ditjen Gakkum ini, BBKSDA Sumut menyampaikan klarifikasi bahwa pada prinsipnya satwa dilindungi di mini zoo PT NAN adalah milik negara yang dalam rangka keselamatan satwa tersebut dititip di mini zoo PT NAN untuk dirawat namun sewaktu-waktu dapat diambil oleh negara.
- Meski demikian, satwa dilindungi di dalam mini zoo PT NAN tampaknya bertambah terus. Setidaknya terindikasi dari laporan pengaduan masyarakat tanggal 2 Maret 2019. Pengaduan ini ditindaklanjuti dengan penelusuran pada tanggal 1 Juni 2019, yang menghasilkan beberapa temuan, seperti: (1) tidak ditemukan plang izin mini zoo, (2) terdapat beragam satwa dilindungi yang patut diduga tidak dilengkapi perizinan memadai di dalam mini zoo PT NAN, seperti cenderawasih bilah rotan (Cicinnurus magnificus), cenderawasih kecil (Paradisaea minor), kakatua maluku (Cacatua moluccensis), kakatua raja (Probosciger aterrimus), nuri kepala hitam (Lorius lory), kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), rangkong badak (Buceros rhinoceros), komodo (Varanus komodoenesis), buaya (Crocodylidae), binturong (Arctictis binturong), beruang madu (Helarctos malayanus), siamang (Symphalangus syndactylus), rusa totol (Axis axis), rusa sambar (Rusa unicolor), orangutan (Pongo abelii). Temuan ini selanjutnya disampaikan ke Kepolisian Republik Indonesia.
- Setelah melakukan pendalaman, kepolisian membuat laporan polisi model A, yaitu Laporan Polisi No. LP/A/0650/VII/2019/Bareskrim, mengenai dugaan tindak pidana “menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a juncto Pasal 40 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Selanjutnya, kepolisian mengirim surat No. B/379/VII/2019/Tipidter ke Ketua Pengadilan Negeri Padang Sidempuan perihal permohonan persetujuan penetapan penggeledahan atas Laporan Polisi No. LP/A/0650/VII/2019/Bareskrim tersebut di atas.
- Pada 21 Juli 2019, Kepolisian menerbitkan surat nomor B/741/VII/2019/Tipidter yang menitipkan beragam satwa dalam penggeledahan mini zoo tersebut ke BBKSDA Sumatera Utara, yakni 2 ekor cenderawasih minor (Paradisae minor), 1 ekor cenderawasih belah rotan (Cicinnurus magnificus), 4 ekor kakatua maluku (Cacatua moluccensis), 1 ekor nuri bayan (Eclectus roratus), 2 ekor tiong emas (Gracula spp), 2 ekor nuri kepala hitam (Lorius lory), dan 1 ekor binturong (Arctictis binturong). Terhadap satwa ini, melalui surat No. BA.536/K.3/BKWIII/TSL/7/2019 dititipkan BBKSDA Sumatera Utara ke Lembaga Konservasi yang sudah terdaftar di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Terhadap barang bukti lainnya yang sebelumnya dititipkan BBKSDA Sumatera Utara ke mini zoo PT NAN diambil seluruhnya oleh BBKSDA Sumatera Utara, yang kemudian dititipkan ke Lembaga Konservasi Taman Hewan Pematang Siantar melalui Berita Acara Penitipan Satwa No. BA.538/K.3/BKWIII/TSL/7/2019 pada tanggal 23 Juli 2019. Satwa-satwa ini adalah 2 ekor kakatua raja (Probosciger aterrimus), 2 ekor cenderawasih kecil (Paradisaea minor), 1 ekor komodo (Varanus komodoenesis), 3 ekor siamang (Symphalangus syndactylus), 1 ekor orangutan (Pongo abelii), beruang madu (Helarctos malayanus), dan rangkong badak (Buceros rhinoceros). - Pada 5 Desember 2019, PT NAN melakukan perubahan anggaran dasar yang selanjutnya disahkan Kementerian Hukum dan HAM sehingga terdaftar pada registrasi badan hukum AHU-0101930.AH.01.02.Tahun 2019. Perubahan dilakukan hanya mengenai maksud dan tujuan perusahaan tersebut, sehingga mencakup juga bidang usaha daya tarik wisata, jasa penunjang kehutanan, jasa perlindungan hutan, konservasi alam, perburuan, penangkapan dan penangkaran tumbuhan/satwa liar, dan penangkaran reptil. Pada 13 Desember 2019 PT NAN melakukan lagi perubahan anggaran dasarnya, sehingga mencakup juga bidang usaha kebun binatang, taman botani dan cadangan alam, taman konservasi alam.
- Pada 7 Januari 2020, PT NAN dianggap memenuhi persyaratan sebagai Lembaga Konservasi, dan kemudian disahkan secara resmi sebagai Lembaga Konservasi pada 23 Januari 2020.
- PT NAN mengirim somasi ke Kepala Kantor BBKSDA Sumatera Utara pada 12 Juli 2021 yang pada intinya menyatakan satwa yang dititip BBKSDA Sumatera Utara melalui berita acara BA.536/K.3/BKWIII/TSL/7/2019 (nomor 11 di atas) adalah milik PT NAN.