Kontradiksi Jokowi: Pidato COP26 dan Ambisi Membangun PLTU

Penulis : Aryo Bhawono

Perubahan Iklim

Sabtu, 06 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Jokowi menjadi presiden paling berambisi membangun PLTU dibanding presiden sebelumnya. Periode kedua pemerintahannya memproyeksikan pembangunan PLTU dengan kapasitas produksi 60.927 MW. 

Data Auriga Nusantara mencatat angka ini berdasar berbagai proyeksi dan realisasi proyek pembangunan PLTU. Pada periode pertama pemerintahannya bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (2014-2019), ia mewarisi PLTU dengan produksi listrik 25.104 MW dari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode (2004-2014).

Hingga akhir pemerintahan Jokowi periode pertama, pemerintahannya menambah kapasitas produksi listrik sebesar 9.564 MW. Angka ini mendudukkan produksi listrik nasional di angka 34.668 MW. Kini ia menargetkan pencapaian kapasitas listrik hingga 26.259 MW untuk mencapai produksi 60.927 MW pada 2024 kelak.

Ambisi pembangunan PLTU ini menjadi prestasi buruk bagi upaya penanganan pemanasan global. Gencarnya pembangunan pembangkit berbahan bakar batu bara ini menghasilkan karbon yang tinggi. 

Presiden Joko Widodo berpidato pada KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26, di Glasgow, Senin (01/11/2021)./Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev

Apalagi ambisi ini bertolak belakang dengan pidato Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau COP26 di Glasgow, Irlandia, pada Senin lalu (1/1). Jokowi mengaku memulai langkah untuk merespons perubahan iklim seperti pengembangan ekosistem mobil listrik, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terbesar di Asia Tenggara, dan lainnya.

Peneliti Auriga Nusantara, Widya Kartika, beranggapan Presiden Jokowi tak serius membuat komitmen perjanjian internasional. Indonesia sendiri meratifikasi Perjanjian Paris Tentang Perubahan Iklim melalui UU No. 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement To The UNFCCC. Seharusnya dengan perundangan ini, kata Widya, Indonesia melakukan upaya penurunan emisi 29 persen dan 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030. 

Tapi kenyataannya dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, Jokowi masih merencanakan PLTU sebesar 13,8 gigawatt (GW) dengan rincian PLTU mulut tambang 3,3 GW dan PLTU non-mulut tambang 10,5 GW.

“Presiden Jokowi tidak serius dalam setiap komitmen-komitmen perjanjian internasional yang ditandatangani atau disepakati, motifnya apakah hanya mengejar simpati dari global,” ucap dia pada Jumat (5/11). 

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, mengungkapkan selama ini pemerintah selalu melakukan kebijakan kontradiktif soal penekanan karbon. Pemerintah, melalui menteri ESDM berkomitmen dan menyetujui poin kesepakatan yang tertuang Global Coal to Clean Power Transition Statement namun Indonesia tidak mau berkomitmen menghentikan Izin pembangunan PLTU baru sebagaimana tertuang dalam poin ketiga deklarasi tersebut. 

Selain itu RUPTL 2021-2030 menyebutkan akan mempensiunkan dini 5,5 GW PLTU batu bara namun terus membangun 13,8 GW. 

"Pembangunan PLTU batu bara baru harus dihentikan, seiring dengan mempensiunkan dini PLTU yang ada. Untuk apa negara ini terus membangun energi kotor, jika suatu saat nanti tidak ada lagi tempat yang layak huni akibat bencana iklim," ujarnya.