Krisis Iklim di Kenya Mulai Nyata Ancam Kehidupan

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Senin, 08 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kekeringan dilaporkan mulai kembali melanda bagian utara Kenya. Bencana ini menyebabkan ternak dan manusia kekurangan makanan.

Kekeringan ini menyusul serangkaian guncangan perubahan iklim di Semenanjung Tanduk Afrika.

Para penggembala Kenya terpaksa membiarkan ternak mereka kurus akibat kekurangan minum dan makanan. “Jika mereka mati, kita mati,” kata Yusuf Abdullahi, seorang peternak Kenya.

Bencana kekeringan membuat pemerintah Kenya mengumumkan situasi darurat di 10 dari 47 provinsinya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut lebih dari dua juta warga Kenya terancam kekurangan makanan.

Ilustrasi perubahan iklim. (Sandy Indra Pratama| Betahita)

Kekeringan pun memaksa warga menjelajah lebih jauh untuk mencari sumber air minum dan makanan. Hal ini pun dapat menyebabkan ketegangan antarkomunitas atau etnis.

Akibat kekeringan, satwa liar di Kenya dilaporkan mulai mati. “Panas di daratan memberi tahu Anda tanda kelaparan yang kami hadapi,” kata Ketua Badan Konservasi Satwa Liar Subuli Muhammad Sharmarke.

Para ahli memperingatkan bahwa bencana seperti kekeringan akibat krisis iklim akan semakin sering melanda Benua Afika.

“Kita tidak punya planet cadangan untuk mengungsi sekalinya kita berhasil menghancurkan planet ini,” kata Direktur Eksekutif Otoritas Pembangunan Antarpemerintah Afrika Timur Workneh Gebeyehu.

Benua Afrika sendiri hanya bertanggung jawab atas 4% dari keseluruhan emisi gas rumah akca. Namun, para ahli menyebut benua ini memanas lebih cepat dari rata-rata global dan paling terancam oleh dampak krisis iklim.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan kekeringan sebagai resiko tersembunyi dari krisis global, dan berpotensi menjadi “pandemi berikutnya” jika negara-negara di dunia tidak mengambil tindakan urgen terkait pengelolaan air dan tanah, serta mengatasi darurat iklim.

Saat ini setidaknya terdapat 1,5 miliar jiwa yang secara langsung terdampak oleh kekeringan pada abad ini, dengan perkiraan kerugian ekonomi mencapai $124 miliar. PBB memperkirakan angka sesungguhnya jauh lebih tinggi karena angka saat ini tidak memasukkan dampak yang terjadi di negara berkembang, menurut laporan yang diterbitkan Kantor PBB untuk Pengurangi Resiko Bencana (UNDRR), Kamis, 17 Juni 2021.

Mami Mizutori, perwakilan khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk pengurangan resiko bencana, mengatakan sebagian besar orang akan menderita kekurangan air beberapa tahun mendatang. Dalam periode tertentu, permintaan akan melebihi pasokan. Kekeringan juga menjadi faktor utama dalam degradasi lahan dan penurunan hasil panen utama.

“Kekeringan sebentar lagi akan menjadi pandemi berikutnya, tak ada vaksin untuk menyembuhkannya,” kata Mizutori, dalam keterangan tertulis di situs UNDRR.

Kekeringan tidak hanya akan terjadi di wilayah gurun Afrika, namun juga menyebar ke berbagai tempat. Pada akhir abad ini, banyak negara di dunia diperkirakan mengalami kekeringan dalam berbagai bentu—kecuali segelintir negara, tulis laporan tersebut.

Menurut Mizutori, manusia telah mengalami berbagai bentuk kekeringan selama 5,000 tahun. “Namun apa yang kita lihat sekarang sangat berbeda. Aktivitas manusia telah memperburuk kekeringan dan meningkatkan dampaknya.” Kondisi in pun mengancam upaya-upaya saat ini untuk menangkat manusia dari garis kemiskinan, tulis laporan berjudul Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction: Special Report on Drought 2021.

Negara-negara maju juga tidak kebal dari kekeringan. Beberapa tahun terakhir, Amerika Serikat, Australia, dan Eropa bagian selatan telah mengalaminya. Di Amerika Serikat, kerugian yang ditmbulkan mencapai $6 miliar per tahun, dan Eropa menderita kerugian ekonomi sekitar 9 miliar Euro. Angka itu pun dinilai masih konservatif.

Laporan itu juga menyebut pertumbuhan populasi turut mengekspos lebih banyak jiwa terhadap dampak kekeringan di berbagai wilayah di dunia. Perubahan pola hujan yang disebabkan oleh perubahan iklim disebut sebagai faktor utama kekeringan, namun laporan itu juga mengidentifikasi penggunaan air yang tidak efisien. Degradasi lahan akibat aktivitas pertanian intensif dan praktik pertanian yang tidak berkelanjutan juga menyumbang memburuknya kekeringan.