COP26: Dunia Ada di Jalur Kenaikan Suhu 2.4C yang Katastrofik
Penulis : Tim Betahita
Perubahan Iklim
Kamis, 11 November 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Saat ini suhu bumi berada pada tingkat pemanasan global yang berbahaya dan jauh melebihi ambang batas perjanjian iklim Paris. Kenaikan besar pun tetap diprediksi terjadi meskipun negara-negara telah berjanji untuk mengurangi karbon pada Konferensi Tingkat Tinggi tentang Perubahan Iklim (COP26) di Glasgow.
Kenaikan suhu akan mencapai 2.4C pada akhir abad ini, dengan menghitung target jangka pendek yang telah ditetapkan negara-negara di dunia, menurut sebuah studi terbaru yang diterbitkan di Glasgow, Selasa, 9 November 2021.
Angka tersebut jauh melebihi batas atas 2C, yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris pada 2015. Untuk menghindari bencana iklim, para ilmuwan mengatakan dunia harus tetap berada jauh di bawah batas atas atau setidaknya berada pada 1.5C yang jauh lebih aman. Jika tidak, cuaca ekstrem akan meluas – kenaikan permukaan laut, kekeringan, banjir, gelombang panas, dan badai yang lebih ganas – akan menyebabkan kehancuran di seluruh dunia.
Hasil studi tersebut kontras dengan perkiraan optimistis yang diterbitkan minggu lalu, yang menyebut bahwa pemanasan dapat dipertahankan hingga 1.9C atau 1.8C berkat komitmen yang diumumkan negara-negara selama COP26.
Perkiraan tersebut didasarkan pada tujuan jangka panjang yang ditetapkan oleh negara-negara termasuk India, penghasil emisi terbesar ketiga dunia, yang menargetkan emisi nol bersih pada 2070.
Sebaliknya, asesmen mengenai kenaikan suhu 2.4C dari Climate Action Tracker (CAT), sebuah koalisi penelitian iklim paling kredibel di dunia, terbit 9 November 2021, didasarkan pada target jangka pendek selama satu dekade mendatang.
Kepala Eksekutif Climate Analytics Bill Hare, salah satu organisasi anggota CAT, mengaku khawatir sebab beberapa negara mencoba menggambarkan bahwa hasil pembicaraan COP26 telah mencapai target 1.5C.
“Tapi sebenarnya sangat jauh dari itu. Dan mereka meremehkan kebutuhan untuk membuat target jangka pendek untuk 2030 yang seharusnya sesuai dengan kenaikan suhu 1.5C,” kata Hare, dikutip The Guardian, Selasa (9/11).
CAT mengungkap, emisi akan naik dua kali lipat pada 2030 seiring dengan upaya dunia mempertahankan kenaikan pada 1.5C, seperti yang dijanjikan dalam Perjanjian Paris. Ilmuwan juga telah memperingatkan jika melebihi 1.5C, beberapa dampak kerusakan pada iklim bumi tidak akan dapat diubah atau diperbaiki.
Para analis juga menemukan adanya jurang pemisah antara pernyataan negara-negara dan rencana nyata mereka terkait emisi gas rumah kaca. Berdasarkan analisis CAT, suhu bumi justru naik menjadi 2.7C berdasarkan kebijakan dan aksi yang ada saat ini.
Salah satu penulis laporan Niklas Höhne mengatakan temuan terbaru tersebut seharusnya mengetuk pintu kesadaran pemimpin dunia. “Target jangka pendek negara-negara saat ini memang bagus, namun implementasi target jangka pendeknya tidak memadai,” katanya.
Sebanyak 197 negara yang hadir pada COP26 di Glasgow merupakan mereka yang menyepakati Perjanjian Paris pada 2015. Tindak lanjut kesepakatan itu harusnya menjadi tujuan dari konferensi kali ini: target jangka panjang untuk mencapai emisi nol bersih global sekitar pertengahan abad ini; serta rencana nasional jangka pendek yang dikenal sebagai kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC), yang bertujuan mengurangi emisi pada 2030.
Para ilmuwan mengatakan emisi gas rumah kaca harus turun sekitar 45% dekade ini agar suhu global tetap berada dalam koridor 1.5C dari tingkat pra-Industri.
Negara yang bertanggung jawab atas sekitar 90% emisi global telah berkomitmen mencapai emisi nol bersih, sebagian besar pada 2050 bagi negara maju. Cina berkomitmen pada 2060 dan India pada 2070. Akan tetapi, aksi NDC pada satu dekade mendatang justru tidak sesuai dengan ambisi jangka panjang yang diumumkan.
Untuk diketahui, iklim merespons karbon kumulatif di atmosfer. Maka, jika emisi cukup tinggi dalam dua dekade mendatang, dunia bisa melampaui batas 1.5C bahkan jika nanti karbon mencapai nol bersih.
“Memiliki target nol bersih jangka panjang memang sangat bagus, namun mereka juga perlu menutup kesenjangan dengan target jangka pendek,” kata Hare.
Minggu pertama pembicaraan COP26 didominasi oleh pengumuman terburu-buru dari delegasi yang hadir, termasuk komitmen untuk melestarikan hutan, pembiayaan sektor swasta untuk energi bersih, dan negara secara bertahap menghentikan penggunaan batu bara. Namun, beberapa dari komitmen ini mulai ‘rancu’ saat negara-negara mengklarifikasi beberapa komitmen mereka.
Pada awal minggu kedua perundingan, keretakan tajam mulai muncul di antara negara-negara yang menginginkan aksi lebih agresif, khususnya yang memaksa negara-negara untuk merevisi NDC setiap tahun jika tidak sejalan dengan target 1.5C dan negara-negara lain yang tetap berpegang pada jadwal revisi lima tahunan Paris. Ada juga perselisihan tentang bagaimana negara harus memantau emisi, dan tentang pendanaan iklim untuk negara-negara miskin.
Sebaliknya, Hare mencatat tidak ada kontradiksi di antara berbagai asesmen dan penelitian dari ahli dan universitas, yang terbit oleh Melbourne University dan International Energy Agency (IEA) minggu lalu. Hasil studi mereka serupa dengan kesimpulan bahwa suhu akan naik 1.8C namun dihitung berdasarkan target jangka panjang.
Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) juga memutakhirkan analisisnya mengenai kesenjangan emisi antara pemotongan yang diperlukan untuk tetap berada dalam 1.5C dan yang ditawarkan oleh berbagai pemerintah dunia.
UNEP menemukan bahwa dengan janji yang baru-baru ini diumumkan oleh Cina, Arab Saudi, dan lainnya, suhu kemungkinan akan meningkat antara 1.9C dan 2.1C. Namun seperti perkiraan IEA dan Melbourne University, hal ini bergantung pada implementasi penuh jangka panjang.
Hare mengatakan bahwa banyak target jangka panjang yang ditetapkan negara-negara tidak kredibel. Dia menunjuk Brasil, Australia dan Rusia. “Kami khawatir tidak ada keseriusan mengenai target di COP26. Target mencapai emisi nol bersih pada 2050 pun sangat hipotetis,” katanya.
Höhne mengatakan negara-negara harus setuju untuk merevisi NDC setiap tahun jika ternyata tidak memadai, “Jika kita merevisi setiap lima tahun, itu akan menjadi pilihan yang sangat buruk. Jika negara-negara setuju untuk kembali setiap tahun, mereka akan memiliki peluang untuk menutup kesenjangan emisi karbon.”
Direkur Eksekutif Greenpeace Internasional Jennifer Morgan mengatakan, “Perhitungan baru ini seperti teleskop yang dilatih di asteroid menuju Bumi. Ini adalah laporan yang mengerikan, dan kita memiliki waktu hingga akhir pekan ini untuk membalikkan keadaan. Itu berarti negara-negara harus menyetujui bagaimana mereka akan kembali tahun depan dan setiap tahun setelah itu hingga kesenjangan 1.5C tertutupi. Para menteri tidak boleh meninggalkan kota ini sampai mereka memahaminya.”
Salah seorang juru bicara COP26 mengatakan, “Kami tahu bahwa jendela untuk menjaga 1.5C semakin mustahil. Namun Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim memperjelas bahwa hal ini masih dapat tercapai. Seperti yang dijelaskan laporan hari ini, kami telah melihat kemajuan nyata di minggu pertama COP26. Namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus kami lakukan.”
Konferensi tersebut akan berakhir minggu ini, pada 12 November.