Walhi NTT: Pulau-Pulau Kecil Alami Dampak Nyata Krisis Iklim  

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Jumat, 12 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Saat ini diskursus krisis iklim dikuasai oleh didominasi oleh isu komitmen penurunan emisi dan perdagangan karbon. Namun, pulau-pulau kecil serta komunitas yang hidup di dalamnya yang turut terdampak jarang dibicarakan.

Hal itu disampaikan oleh Walhi yang turut memantau proses konferensi tingkat tinggi tentang perubahan iklim (COP26) di Glasgow. Menurut organisasi tersebut, dampak krisis iklim sudah dialami oleh komunitas di garis depan terlihat dengan intensitas bencana alam dan kehilangan penghidupan rakyat.

Direktur Eksekutif Walhi Nusa Tenggara Timur Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, yang mewakili Walhi dalam konferensi tersebut mengatakan, hal tersebut terjadi di pulau-pulau kecil di Indonesia.

Menurutnya, dalam 10 tahun terakhir Nusa Tenggara Timur mengalami kekeringan berkepanjangan, kebakaran hutan dan lahan yang semakin sering. Dampaknya meluas, gagal tanam, gagal panen, krisis air, stunting, dan kemiskinan terjadi.

Aktivis lingkungan dan iklim dari berbagai dunia turut berkumpul di Glasgow selama COP26 untuk menyuarakan perubahan sistem kapitalistik yang diyakini mendorong terjadinya perubahan iklim. Foto: Istimewa

“Kami meyakini ini akan terus meningkat ke depannya,” kata Umbu Wulang dalam keterangan yang diterima Betahita, Jumat, 12 November 2021.

Salah satu bencana yang paling buruk di Nusa Tenggara Timur terjadi pada April 2020. Provinsi berpenduduk 5 juta jiwa itu dilanda badai siklon tropis varian baru yakni Siklon Tropis Seroja. Akibatnya, 182 orang meninggal, ratusan ribu kehilangan rumah dan harus mengungsi. Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai triliunan rupiah. 

“Krisis iklim memberikan pesan akan hilangnya eksistensi bagi orang yang hidup di pulau-pulau kecil. Kenaikan permukaan air laut yang berpotensi menenggelamkan sebagian hingga seluruh daratan pulau kecil, hal ini sudah kami rasakan. Masyarakat di Pulau Halura, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur merasakan berkurangnya wilayah daratan mereka sedikit demi sedikit,” jelas Umbu Wulang.

Menurut Umbu Wulang, masyarakat dampingan di Nusa Tenggara Timur mengaku telah mendapati luas daratan yang semakin berkurang akibat kenaikan permukaan air laut. Sementara itu, berdasarkan data coastal.climatecentral.org, seperdelapan dari pulau yang saat ini seluas 29km persegi akan tenggelam pada 2050. 

“Kondisi yang sama juga kami dapatkan dari pengakuan masyarakat di berbagai pulau lainnya di Nusa Tenggara Timur,” kata Umbu Wulang. 

Selain dampak perubahan iklim, pulau-pulau kecil di Nusa Tenggara Timur juga dibebani oleh pembangunan infrastruktur skala besar oleh pemerintah maupun pihak swasta. Pembangunan tersebut sering abai pada daya dukung dan daya tampung pulau serta tidak berkeadilan, kata Umbu Wulang. 

Umbu Wulang mencontohkan, rencana pembangunan industri pariwisata di Kawasan Taman Nasional Komodo. Industri ini diyakini berpotensi menghancurkan ekosistem Komodo dan masyarakat adat di dalamnya. Komodo dan ekosistemnya yang merupakan bagian dari situs warisan dunia menghadapi ancaman nyata. 

“Pembangunan infrastruktur skala besar dan pemberian konsesi pariwisata dengan skala lahan yang luas jelas telah mengabaikan prinsip-prinsip konservasi berbasis masyarakat,” kata Umbu Wulang.

Pada 2019, seorang petani di bernama Porro Duka di Sumba Barat ditembak mati karena mempertahankan tanah sukunya yang diambil paksa untuk pembangunan pariwisata. “Ini jadi penanda bahwa nilai keadilan dan kemanusiaan hilang dalam derap pembangunan infrastruktur atas nama industri pariwisata,” kata Umbu Wulang.

Selain industri pariwisata, Nusa Tenggara Timur juga sudah dibebani lagi dengan investasi pertambangan dan perkebunan monokulutur skala besar di berbagai pulau. Aktivitas pertambangan dalam sejarah Nusa Tenggara Timur telah banyak menimbulkan kerusakan sosial-ekologis.

Kerusakan tersebut tidak pernah diupayakan untuk dipulihkan oleh para pemilik tambang. Dampak dari kerusakan tersebut ditanggung sendiri oleh masyarakat lokal, kata Umbu Wulang.

Walhi Nusa Tenggara Timur mendesak pemerintah agar melakukan pembangunan yang ramah lingkungan. Umbu Wulang juga meminta pemerintah menghormati hak dan kedaulatan warga dalam pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan.

“Kami percaya, jika saat ini, keselamatan rakyat Indonesia dan pulau-pulaunya terancam bencana akibat krisis iklim, tinggal menunggu waktu saja bagi keluarga dan negara Anda,” pungkas Umbu Wulang.