Polemik Gasifikasi dan Masalah di Wilayah Tambang Batu Bara
Penulis : Aryo Bhawono
Energi
Selasa, 16 November 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Rencana pemerintah menggunakan gasifikasi batu bara untuk menekan karbon dianggap sebagai solusi palsu. Selain teknologi ini diragukan efektivitasnya, kerusakan lingkungan akibat penambangan batu bara akan terus terjadi. Aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Mareta Sari, mengungkap kerusakan ini dirasakan di Kalimantan Timur.
Penambangan batu bara oleh PT. Kaltim Prima Coal (KPC) selama ini merusak sungai di tiga kecamatan yang menjadi tempat operasi pertambangan. Perusahaan itu sedang dan akan mengeruk batubara di tanah seluas 90.938 ha di kecamatan Sangatta Utara, Rantau Pulung, dan Bengalon. Hasilnya adalah kerusakan lingkungan, mulai dari pencemaran air, kerusakan ekosistem, hingga lainnya.
“KPC adalah etalase bencana ekologis,” ucap dia dalam diskusi ‘Bukan Net Zero Emissions, Tapi Biarkan Batu Bara Tetap di Dalam Tanah’ yang diselenggarakan oleh Jatam pada Senin (15/11).
Ia menyebutkan kerusakan lingkungan ini memaksa warga Sangatta tak bisa mengakses kembali air bersih dari sungai. Mereka harus membeli air kemasan atau isi ulang untuk kebutuhan konsumsi.
Penelitian Jatam berjudul ‘Hungry Coal: Pertambangan Batu Bara dan Dampaknya Terhadap Ketahanan Pangan Indonesia’ menyebutkan penelitian sampel air di jalur air tambang KPC berada di bawah kriteria kuantitas maksimum aluminium dalam air berdasarkan rekomendasi US EPA.
Uji sampel juga menemukan kualitas air minum di bawah kriteria kandungan besi, mangan, dan keasaman untuk dikonsumsi.
Tambang batu bara itu akan tetap beraktivitas walaupun pemerintah tengah menekan emisi karbon demi mencapai net-zero emission (NZE). Pemerintah tetap akan memanfaatkan batu bara sebagai bahan bakar sumber energi listrik melalui gasifikasi.
Parahnya PT. KPC turut ambil bagian dalam hilirisasi baru bara melalui proyek gasifikasi. proyek gasifikasi mengolah batu bara kalori rendah menjadi Dimethyl Ether (DME) untuk menggantikan liquefied petroleum gas (LPG).
Eta, nama sapaan Mareta Sari, menyebutkan PT. KPC akan mengerjakan proyek ini bersama Ithaca Group dan Air Products. Mereka akan membangun pabrik pengolahan di Pantai Sekerat, Bengalon, Kalimantan Timur.
“Kami khawatir walaupun ini disebut proyek untuk NZE tetapi dampaknya sama saja merusak ekosistem dan mengganggu masyarakat,” ucapnya.
Kekhawatiran ini bukan isapan jempol, pasalnya selama ini saja operasi PT. KPC telah merusak ekosistem yang menjadi tempat hidup Dayak Basap. Tetapi mereka bersikukuh melakukan penambangan dan justru suku tersebut ditawari relokasi.
Direktur Genesis Bengkulu, Egi Ade Saputra, menyebutkan aktivitas pertambangan di daerahnya juga menimbulkan masalah. Kawasan hulu Sungai Bengkulu telah habis dikapling oleh delapan perusahaan tambang batu bara dan satu perusahaan perkebunan sawit. Operasi tambang ini mengakibatkan banjir besar pada April 2019 lalu.
Luapan Sungai Bengkulu dan anak sungainya menggenangi sejumlah desa di Bengkulu Tengah seperti Desa Talang Empat, Desa Genting dan Bang Haji dan menggenangi pemukiman warga di sejumlah kelurahan dalam Kota Bengkulu yang berada di sepanjang aliran Sungai Bengkulu seperti Rawa Makmur, Tanjung Jaya, Tanjung Agung, dan Bentiring.
Delapan perusahaan tambang tersebut antara lain adalah PT Bengkulu Bio Energi, PT Kusuma Raya Utama, PT Bara Mega Quantum, PT Inti Bara Perdana, PT Danau Mas Hitam, PT Ratu Samban Mining, PT Griya Pat Petulai, PT Cipta Buana Seraya dengan luas total 19.000 hektare. Ditambah lagi satu perusahaan perkebunan sawit milik PT Agri Andalas.
“Sampai sekarang pun beberapa tambang yang tidak beroperasi belum melakukan reklamasi lubang tambang. Ini jadi masalah juga,” ucap dia.
Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry, menyebutkan kerusakan ekosistem di area tambang selama ini kurang mendapat perhatian pemerintah di dunia. Gelar COP 26 di Glasgow, Irlandia, Britania Raya, kemarin pun tak memiliki perhatian atas kondisi ini.
Sikap forum pemimpin dunia atas perubahan iklim itu sendiri tak tegas melarang penggunaan batu bara, hanya mengurangi dan masih memberikan kesempatan pada gasifikasi.
“Para delegasi di COP itu bicara atas nama kita, tetapi mereka tak membawa pesan kita. Kalau mereka tidak menyegerakan setop penggunaan batu bara. Maka kita yang melakukan tindakan mendorong penutupan PLTU,” ucap dia.