Presiden Jokowi Seharusnya Tak Keluhkan Biaya Transisi Energi

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Rabu, 24 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Presiden Jokowi seharusnya tak mengeluh soal mahalnya transisi energi. Berbagai subsidi-kompensasi PLTU dapat dialihkan untuk kebutuhan transisi energi.

Keluhan Presiden Jokowi ini terungkap saat membuka The 10th Indonesia EBTKE ConEX 2021 di Istana Presiden, Jakarta pada Senin (22/11/2021). Ia mengaku negara tidak mampu menambal ratusan triliun untuk transisi energi ini dan tak ingin membebani rakyat dengan menaikkan tarif listrik.

“Sudah bicara dengan World Bank dengan investor dari Inggris juga waktu di Glasgow. Pertanyaannya pasti kesana, siapa yang menanggung (transisi energi),” keluh dia.

Peneliti Auriga Nusantara, Widya Kartika, menganggap Jokowi seharusnya tak mengeluh soal transisi energi. Jika benar-benar mau melakukan transisi energi maka yang dapat dilakukannya adalah mengubah alokasi dana berbagai penjaminan PLTU dan subsidi harga batu bara. Dana itu  dapat dialihkan untuk membangun infrastruktur energi terbarukan

Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kamis (2/6) sore melakukan Groundbreaking Mobile Power Plant (MPP) 100MW dan meresmikan PLTU Ketapang 20MW di Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar).

Selama ini pemerintah berani menjamin pembangunan PLTU melalui berbagai kebijakan pembangunan seperti Penjaminan Jual Beli Listrik (PJBL), jaminan resiko kelayakan usaha, dan beban perubahan kurs yang ditanggung pemerintah sejak 2016. 

“Jika sebuah PLTU saja dijamin senilai 40 triliun bayangkan ada berapa PLTU dan berapa triliun uang yang dikeluarkan,” ucap dia.

Menurutnya selama ini negara memberikan banyak subsidi kepada energi fosil. Selain menghambat rencana memangkas emisi gas rumah kaca dan dekarbonisasi, subsidi ini justru tak efisien, boros, dan tak tepat sasaran. Dampak dari subsidi energi, kata dia, juga membuat harga energi terbarukan tidak kompetitif. 

Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Walhi, Dwi Sawung, mengungkapkan hal sama, selama ini masih saja ada subsidi dan kompensasi untuk bahan bakar fosil. Belum lagi ditambah dengan penyertaan modal negara (PMN). Seharusnya PMN ini dimanfaatkan untuk energi terbarukan. 

Namun sikap pemerintah sendiri masih memberikan ruang bagi energi fosil. Misalnya saja memasukkan gasifikasi batu bara dalam kategori energi baru terbarukan (EBT) dalam draf UU EBT. Gasifikasi batu bura mendapat insentif dari hulu, berupa  royalti 0 persen, dan pada midstream mendapat tax holiday, pembebasan PPN, serta pembebasan PPN EPC kandungan lokal. 

“Jokowi ini belum melihat transisi sebagai kebutuhan indonesia tapi masih jadi beban,” ucap dia. 

Pemerintah Indonesia sendiri berkomitmen mencapai netral karbon pada 2060. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, Jokowi masih merencanakan PLTU sebesar 13,8 Giga Watt (GW) dengan rincian PLTU mulut tambang 3,3 GW dan PLTU non-mulut tambang 10,5 GW.