Perubahan Iklim Paksa Albatros Bercerai

Penulis : Aryo Bhawono

Satwa

Kamis, 25 November 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Perubahan iklim memaksa Albatros, hewan monogami paling setia, untuk lebih sering bercerai. Laju penurunan populasi albatros pengembara mencapai 5-10% setiap tahun.

Studi Royal Society menyebutkan perubahan iklim dan menghangatnya air laut mendorong tingkat perceraian albatros alis hitam. Peneliti lembaga ini ini mengamati populasi liar dari 15.500 pasangan yang berkembang biak di Kepulauan Falkland selama 15 tahun. 

Dikutip dari The Guardian, biasanya angka perceraian burung ini mencapai 1 hingga 3 persen karena faktor mencari lokasi yang lebih romantis. Menghangatnya suhu air laut membuat tingkat perceraian albatros meningkat hingga 8 persen. 

Penasihat Sains Departemen Konservasi Selandia Baru, Graeme Elliot, mengungkap kesetiaan pasangan elang laut selama ini telah menjadi pokok penelitian. Perubahan perilaku berpasangan menunjukkan adanya kendala ekosistem.

10 burung bermigrasi

Burung ini memiliki sifat seperti manusia, seperti hidup selama 50 hingga 60 tahun, memiliki fase remaja yang canggung, merayu betina dengan tarian dan melakukan perjalanan bertahun-tahun jauh dari rumah saat mereka dewasa. Mereka biasanya kawin seumur hidup, dan merayakannya dengan meriah saat menyapa pasangannya setelah lama absen.

Menghangatnya perairan membuat populasi ikan menurun, bagi albatros berarti sumber makanan kian sedikit. Akibatnya lebih sedikit betina yang dapat bertahan hidup. Hormon stres burung ini pun meningkat karena jelajah perburuan makanan mereka semakin jauh. 

Ritus kehidupan mereka pun beralih karena hal tersebut. Seperti manusia muda di bawah tekanan krisis iklim, bekerja lebih lama untuk makan, dihadapkan dengan kesulitan logistik mitra perjalanan, dan beberapa berjuang untuk mempertahankan hubungan.

Peneliti di University of Lisbon dan rekan penulis studi Royal Society, Francesco Ventura, mengatakan para peneliti terkejut menemukan keterkaitan perceraian ini dengan perubahan iklim. Biasanya perceraian elang laut diprediksi oleh kegagalan reproduksi. Jika pasangan gagal menghasilkan anak, mereka memiliki peluang lebih tinggi untuk berpisah. 

Lebih sedikit makanan untuk burung pun dapat menyebabkan lebih banyak kegagalan reproduksi. Makanya keterkaitan soal menghangatnya suhu air dengan perceraian albatros cukup mengejutkan. 

Ia mengemukakan masa perburuan yang lebih lama dan terbang lebih jauh kemungkinan membuat mereka gagal kembali di musim kawin. Maka pasangannya mungkin menemukan mitra baru. Selain itu air yang lebih hangat dan di lingkungan yang lebih keras meningkatkan hormon stres albatros. Burung mungkin merasakan itu, kata dia, dan menyalahkan pasangannya.

“Kami mengusulkan hipotesis menyalahkan pasangan ini – betina yang stres mungkin merasakan stres fisiologis ini, dan menghubungkan tingkat stres yang lebih tinggi ini dengan kinerja pria yang buruk,” katanya.

Penelitian ini sendiri dilakukan karena banyak populasi elang laut internasional berada dalam masalah, jumlah mereka turun drastis. 

Populasi albatros pengembara sekarang mengalami penurunan sejak 2005 dengan laju 5-10% setiap tahun. Penurunan jumlah tersebut disebabkan karena berkurangnya mangsa, pemanasan laut, dan meningkatnya perjumpaan dengan perahu nelayan yang secara tidak sengaja menangkap dan membunuh burung.

Dampak lainnya adalah munculnya lebih banyak pasangan homoseksual. Elliot mengaku peneliti menemukan pasangan jantan dengan jantan diantara burung-burung di Pulau Antipodes. 

“Beberapa persen anak laki-laki berpasangan dengan anak laki-laki lain karena mereka tidak dapat menemukan pasangan perempuan,” ucap dia. 

Selama ini studi Royal Society mengamati albatros alis hitam di Kepulauan Falkland. Populasi mereka tergolong masih kuat, dan perceraian masih bisa ditolerir.. Namun dinamika yang sama dapat berlaku untuk populasi albatros lainnya, dan memiliki efek yang lebih merusak di mana jumlah burung lebih rapuh. 

Elliot berharap orang-orang memberi perhatian dengan kondisi burung ini. Paling tidak mereka memahami perubahan iklim turut mengancam kehidupan satwa. 

“Kami membutuhkan kampanye internasional untuk menyelamatkan burung-burung ini. Jika kita tidak membalikkannya, mereka akan punah,” kata Elliot.