Perusahaan Fashion Diduga Terkoneksi Dengan Deforestasi Amazon
Penulis : Aryo Bhawono
Deforestasi
Selasa, 30 November 2021
Editor : Sandy Indra Pratama
BETAHITA.ID - Sejumlah merek pakaian terkenal diduga terkoneksi dengan perusahaan pelaku deforestasi hutan Amazon. Mereka mendapat pasokan bahan pakaian dari perusahaan-perusahaan yang membangun peternakan dengan menggunduli kawasan hutan hujan tropis terluas di dunia.
Laporan Stand.earth, sebuah perusahaan riset rantai pasok, menganalisis hampir 500 ribu baris data bea cukai. Hasilnya, sejumlah merek pakaian terkenal seperti Coach, LVMH, Prada, H&M, Zara, Adidas, Nike, New Balance, Teva, UGG, dan Fendi memiliki banyak koneksi ke industri yang meningkatkan deforestasi Amazon. Industri tersebut bergerak dalam bidang penyamakan kulit dan perusahaan lain yang terlibat dalam produksi kulit dan barang-barang kulit.
Lebih dari 50 merek pakaian memiliki beberapa tautan rantai pasokan ke eksportir kulit terbesar Brasil, JBS, yang diketahui terlibat dalam deforestasi Amazon. JBS baru-baru ini membuat komitmen untuk mencapai nol deforestasi di seluruh rantai pasok globalnya pada tahun 2035, namun kelompok lingkungan menyebutkan angka itu tak cukup.
Temuan Stand.earth ini mengejutkan karena baru-baru ini sejumlah merek yang disurvei telah mengumumkan kebijakan untuk tak terlibat dengan para pelaku bisnis yang berkontribusi terhadap deforestasi. Salah satu peneliti, Greg Higgs, menyebutkan sepertiga perusahaan yang disurvei memiliki komitmen untuk melepaskan hubungan dengan pelaku deforestasi.
“Laju deforestasi meningkat, sehingga kebijakan tidak memiliki efek material,” ucap dia seperti dikutip dari Guardian.
Para peneliti berharap suatu hari dapat memperluas ke industri lain yang sangat bergantung pada kulit, seperti sektor otomotif.
Pada 2019 dan 2020, Brasil menghadapi kritik dari para pemimpin dunia karena tidak berbuat banyak untuk melindungi hutan dari kebakaran hutan. Deforestasi di ekosistem kritis berlanjut pada tingkat yang mengkhawatirkan. Penelitian telah menunjukkan industri ternak adalah pendorong tunggal terbesar deforestasi hutan hujan Amazon dan industri fashion adalah roda penggerak utama dalam mesin ekspor kulit.
Bahkan, proyeksi menunjukkan bahwa untuk tetap memasok konsumen dengan dompet, tas tangan dan sepatu, industri fashion harus menyembelih 430 juta sapi per tahun pada tahun 2025.
Analisis mereka tidak membuktikan hubungan langsung antara setiap merek fesyen dan deforestasi Amazon. Para peneliti menemukan meningkatnya kemungkinan hubungan setiap pakaian berasal dari peternakan sapi di Amazon, sebuah industri yang digambarkan sebagai penyebab deforestasi No 1 di daerah tersebut.
Laporan tersebut mengidentifikasi merek fesyen yang berpartisipasi dalam Leather Working Group atau komitmen lainnya. Saat ini Leather Working Group hanya melacak kulit hingga ke rumah jagal, bukan kembali ke peternakan.
“Tujuannya adalah untuk mengembangkan rencana yang jelas (untuk industri fashion) untuk menutup celah,” kata Wakil Presiden Slow Factory Jungwon Kim.
Slow Factory sendiri merupakan organisasi nirlaba keadilan iklim yang berkolaborasi dalam laporan tersebut.
Dari 84 perusahaan yang dianalisis oleh laporan tersebut, 23 memiliki kebijakan eksplisit tentang deforestasi. Para peneliti percaya bahwa 23 perusahaan tersebut “kemungkinan” melanggar kebijakan mereka sendiri.. Rumah mode LVMH misalnya, memiliki risiko tinggi terkait deforestasi Amazon – terlepas dari kenyataan bahwa awal tahun ini merek tersebut berjanji untuk melindungi wilayah yang rentan dengan Unesco.
Koordinator Eksekutif Aliansi Masyarakat Adat Brasil (Brazilian Indigenous Peoples’ Alliance/ APIB), Sônia Guajajara, mengatakan perusahaan fashion memiliki tanggung jawab moral, pengaruh, dan sumber daya ekonomi untuk menghentikan kerjasama dengan pemasok yang berkontribusi terhadap deforestasi di Amazon hari ini. Tidak dalam 10 tahun, kata dia, bukan pada tahun 2025.
Efek dari kebakaran hutan baru-baru ini di Amazon telah memiliki dampak besar bagi kelompok Pribumi. Presiden Brasil, Jair Bolsonaro, juga secara paksa memindahkan masyarakat adat untuk memberi jalan bagi pertanian, pertambangan, dan kegiatan pembangunan lainnya.
Seorang peneliti investigasi yang mengerjakan penelitian ini, Angeline Robertson, mengatakan kepada Guardian bahwa dia berharap industri mode akan merespons analisis penelitian ini. “Di masa darurat iklim ini, jika industri fesyen ingin relevan, inilah peluangnya,” katanya.
Kepala Eksekutif serta salah satu pendiri Slow Factory, Céline Semaan, mengatakan perusahaan merek seharusnya tidak menggunakan ini sebagai kesempatan untuk berkontribusi terhadap deforestasi di tempat lain, seperti Guatemala atau Meksiko, tetapi berinvestasi dan mengeksplorasi alternatif yang tidak ekstraktif. Industri fashion harus mencari bahan kulit alternatif yang tidak berbahan hewani ataupun plastik. Jangan sampai tas dan sepatu favorit mengorbankan hutan hujan Amazon.